Kerusakan pembangkit bahkan mengakibatkan pemadaman berminggu-minggu. Kondisi ini bukan baru sekali terjadi. Secara nasional, pasokan dan keandalan pembangkit dan jaringan transmisi masih jadi masalah besar. Pertumbuhan pasokan jauh di bawah kebutuhan.
Terbengkalainya investasi ketenagalistrikan beberapa tahun terakhir membuat defisit ini semakin lebar, bahkan sampai tahap mengancam investasi dan menyandera pertumbuhan. Tak sedikit investor asing hengkang atau menunda investasinya akibat tak adanya pasokan listrik.
Pemadaman jadi hal rutin di sejumlah provinsi sehingga konsumen rumah tangga dan industri dirugikan. Krisis listrik juga mengancam keberlangsungan proyek infrastruktur lain. Mengapa kita tak kunjung bisa keluar dari krisis kronis listrik? Akar penyebab sudah sering dibahas, yang jadi persoalan keseriusan untuk mengatasinya.
Kita terus tertatih-tatih menutup gap karena kendala investasi ketenagalistrikan tak kunjung dibenahi. Inefisiensi pembangkit dan jaringan transmisi tak pernah diatasi secara serius. Bahkan, untuk sistem Jawa-Bali yang vital, kita masih mengandalkan pembangkit tua. Akibatnya, begitu ada gangguan pada pembangkit, sistem jadi rawan. PLN sendiri menjadi sumber penting inefisiensi ini.
Diversifikasi dan konservasi juga lebih banyak hanya slogan. Dibandingkan banyak negara tetangga, elektrifikasi dan konsumsi listrik kita sebenarnya masih rendah. Bagaimana beberapa tahun ke depan, dengan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita yang juga terus meningkat?
Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 20 tahun ke depan 6,9 persen dan pertumbuhan penduduk 1,4 persen per tahun, diperkirakan pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik 9,5 persen per tahun. Beberapa tahun terakhir bahkan di atas 10 persen. Artinya perlu tambahan daya 7.816 MW dan investasi 9,621 miliar dollar AS per tahun.
Dan ini tak mungkin hanya dari PLN. Maka, peluang investasi harus dibuka untuk swasta. Sayangnya, dalam pelaksanaan masih banyak kendala, termasuk pembebasan lahan. Keinginan mengejar kuantitas juga menyebabkan kualitas cenderung diabaikan. Banyak pembangkit yang dibangun swasta rusak seperti pada kasus Sumut sehingga konsumen dan perekonomian daerah dirugikan.
Kelambanan juga terjadi pada proyek pemerintah. Proyek percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap I sampai kini belum tuntas. Tahap kedua juga molor. Melihat kondisi ini, tampaknya kita belum akan bebas dari krisis listrik. Banyak pihak menuding ketidakjelasan arah kebijakan energi nasional sebagai biang kerok. Kebijakan di sini tak hanya menyangkut pasokan dan transmisi, tetapi juga tarif, subsidi, dan langkah diversifikasi/konservasi.
Hingga kini, kita masih sulit lepas dari belitan subsidi dan ketergantungan pada energi fosil. Tanpa terobosan dan keseriusan mengatasi bottleneck, sulit bicara pertumbuhan, lapangan kerja, daya saing dan Indonesia 2050.
Sumber: Kompas Cetak Edisi 26 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar