Oleh RAKHMAT HIDAYAT Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan UniversitÈ LumiËre Lyon 2 France
Analisis Michel Foucault dalam bukunya, Folie et DÈraison Histoire de la folie ‡ l’‚ge Classique (1961), yang menjelaskan berdirinya rumah sakit jiwa pada abad 17 di Prancis mengingatkan kita pada berita beberapa daerah dalam menyiapkan layanan khusus berupa konsultasi, terapi intensif, hingga perawatan bagi para calon legislatif (caleg) yang mengalami tekanan mental maupun kejiwaan akibat kejutan-kejutan sepanjang pesta demokrasi yang berlangsung pada April 2014.
Pemilu legislatif hanya tinggal menghitung hari. Seluruh caleg dipastikan sudah melakukan kampanye setahun terakhir. Awal tahun ini frekuensi turun ke lapangan atau blusukan ke dapil konstituennya semakin meningkat untuk menggenjot elektabilitas dalam pertarungan di dapilnya. Seluruh cara dan strategi dilakukan para caleg untuk meraih dukungan politik dari konstituennya. Salah satu efek dari hasil pemilu legislatif adalah kegagalan mantan caleg menembus kursi wakil rakyat.
Tekanan jiwa, depresi, atau gangguan kejiwaan merupakan efek psikologis dari kegagalan tersebut. Inilah yang direspons sejumlah daerah dengan melakukan berbagai kesiapan. Di Bengkulu misalnya Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat (RSJKO) Provinsi Bengkulu menyiapkan 200 tempat tidur untuk para calon anggota legislatif (caleg) yang gagal menjadi anggota Dewan dan mengalami depresi.
Berdasarkan pengalaman di Bengkulu, selalu muncul caleg depresi yang kalah bertarung dalam pemilu dan pilkada sebelumnya. Merujuk pada pengalaman di Bengkulu, dalam setiap pemilu setidaknya terdapat 10 hingga 20 orang caleg yang depresi. Cara ini juga sepertinya bakal dilakukan beberapa daerah lain seiring ancaman depresi para caleg yang kalah dalam pertarungan Pemilu Legislatif 2014.
Kesiapan beberapa daerah tersebut bukanlah hal yang dianggap konyol atau main-main, melainkan sebagai sebuah respons sosial psikologis di kalangan masyarakat kita yang menempatkan politik sebagai sebuah pilihan yang instan, bukan politik sebagai sebuah panggilan (calling).
Politik dipahami sebagai ruang terjadi mobilitas sosial vertikal dengan menempatkan indikator sosial ekonomi sebagai variabel signifikan tanpa membangun filosofi politik yang mumpuni dengan dukungan idealisme dan kesejahteraan rakyat.
Politik Biaya Tinggi
Masalah kejiwaan dan depresi para caleg dalam pileg sejatinya bukan hanya masalah psikologis, melainkan juga menjadi masalah sosial-ekonomi yang memberikan kontribusi muncul masalah tersebut. Ancaman sakit jiwa adalah representasi dari ketidakmampuan seorang calon anggota legislatif (caleg) dalam memobilisasi sumber daya ekonomi dalam kontestasi politik dan tersingkir dalam dunia sosial yang menghukumnya.
Dengan kata lain, masalah kejiwaan, stres, dan depresi bukan masalah instan yang muncul dari seseorang, melainkan menggambarkan akumulasi dan kegagalan seseorang dalam mengapitalisasi faktor ekonomi, sosial, politik, hingga psikologis. Masalah kejiwaan yang dialami mantan caleg menunjukkan posisi sosial yang ‘’berbeda’’ dari kesadaran sosial personal mantan caleg tersebut dengan ruang sosial di mana dirinya berada.
Kesadaran sosial dalam relasi ini memiliki makna kesesuaian dirinya dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat. Kesadaran sosial inilah yang hilang dalam diri mantan caleg tersebut. Bisa dibayangkan, seorang caleg yang sudah bertarung habis-habisan dengan menghabiskan biaya besar dan akhirnya tersingkir dengan kandidat lain-nya, dia harus mempertaruhkan nama dan kredibilitasnya di tengah masyarakat sekitarnya.
Jika latar belakang ekonomi mencukupi, modal politik tentu tak masalah. Tetapi, jika modal ekonomi didapatkan dengan berbagai cara yang instan, mari kita lihat bagaimana seorang kandidat legislatif harus bersaing merebut (1) satu kursi di tingkat DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Dari berbagai sumber yang didapatkan untuk terpilih ke Senayan, seorang calon harus mengeluarkan biaya paling murah sekitar Rp500 juta hingga angka Rp1 miliar.
Tidak sedikit, di atas angka itu, modal dikeluarkan lebih dari Rp1 miliar hingga Rp6 miliar. Biaya ini mencakup biaya kampanye hingga biaya lobi-lobi politik lain. Modal untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota akan lebih kecil dibandingkan dengan DPR RI. Inilah sebuah risiko sosial yang harus diterima di tengah politik biaya tinggi yang berlangsung dalam sistem politik Indonesia.
Menekan Biaya Politik
Ancaman kejiwaan termasuk risiko bunuh diri bisa direduksi dengan menempatkan politik sebagai sebuah panggilan idealisme, bukan sebagai pilihan pragmatisme. Sebagai sebuah idealisme, proses pencalonan dalam pileg tidak dilakukan dengan instan seperti membalikkan telapak tangan. Tetapi, dia dibangun dari proses dan kerja-kerja politik yang membumi danpanjang.
Kerja politik yang dilakukan pada dasarnya dilakukan ketika seorang caleg mulai terlibat dalam keanggotaan partai politik. Dia mulai membangun jejaring dan kapasitas yang mendukung dirinya. Perlahan-lahan dengan keterlibatan di partainya dan daerah asalnya, dia bisa mengapitalisasi jaringannya yang mendukung dalam penguatan dapil di basis konstituennya.
Kerja politik seperti ini bisa menekan biaya politik yang tinggi. Pada dasarnya caleg dengan latar belakang aktivis atau penggiat lembaga swadaya masyarakat bisa dengan mudah melakukan kerja politik seperti ini karena dia sudah terbiasa dengan kerja-kerja akar rumput yang berbasiskan jaringan. Dari segi finansial, mereka memang tak memiliki modal lebih, tetapi dengan rekam jejak dan pengalaman cara kerjanya, dia memiliki kesempatan untuk bersaing menuju kursi legislatif.
Hal penting lain adalah mendekonstruksi mainstreampolitik dalam kontestasi politik yang masih mempertahankan politik uang. Tidak mengherankan jika setiap pencalonan seorang caleg harus mengeluarkan berbagai dana yang diberikan kepada masyarakat di dapil konstituennya. Dana tersebut diberikan dalam berbagai bentuk seperti uang transportasi, uang makan, uang rokok, uang kopi, uang lelah, uang bensin, dan berbagai kategori lain.
Selagi masyarakat kita berekspektasi dengan berbagai varian dana-dana tersebut, biaya politik akan tetap tinggi karena masyarakat selalu mengharapkannya. Semakin tinggi biaya yang diharapkan masyarakat, peluang caleg tersebut akan semakin besar. Inilah transaksi pragmatisme politik yang menggerus visi dan nilai politik yang diperjuangkan dalam masyarakat.●
Sumber: Koran Sindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar