Oleh MUDJI SUTRISNO SJ Guru Besar STF Driyarkara & Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, Budayawan
Paradoks adalah keadaan bertentangan entah jalan pikiran, perilaku, atau watak yang bila ditelusuri penyebabnya secara rasional tidak akan mendapatkan jawaban masuk akal yang tuntas.
Paradoks hidup dan dihayati oleh kita sebagai orang maupun bangsa Indonesia yang membutuhkan penelitian sejarah mentalitas yang menjadi akarnya (untuk mereka yang berobsesi mengenai akar dan esensiali mengenai inti esensi). Namun untuk yang berpikir secara akal sehat biasa atau common sense, cukup memberikan atau menuliskannya sebagai fenomena atau gejala dalam masyarakat. Maka membeberkannya sebagai fenomena-fenomenamerupakandeskripsidalam membahasnya.
Gejala Paradoks Pertama
Terpapar dua macam komunikasiparadoksal, dimanayang pertama bila temu resmi atau sidang koreksi terbuka yang pesertanya berjenjang dan tidak setara, kalau direktur atau kepala meminta kritik terbuka pada bawahan, maka hampir semua memuji secara baik atau bahasa security militer-nya dikatakan aman! Namun, begitu komunikasi di luar yang resmi maka saling membicarakan sisi negatif dan keburukan dipergunjingkan.
Fenomena paradoksal pertama ini membagi komunikasi kita dalam dua ruang. Ruang resmi, ya dan iya semua beres, sedang ruang tak resmi sebaliknyalah diwacanakan. Pernah dalam sebuah sidang resmi untuk perjenjangan akademik di mana tradisinya untuk subjek yang mau ”dipromosikan dengan santun dipersilakan keluar ruangan dahulu”, agar koreksi dan penilaian bisa diberikan kepada yang bersangkutan tertutup berlangsung tetapi terjadi penyikapan untuk yang dipersilakan di luar itu menolak pergi.
Ia beralasan agar bisa mendengar langsung siapa mengevaluasi dirinya, seperti apa terus terang mata berhadapan mata terbuka. Paradoks terjadi karena dicari kompromi agar sidang koreksi orang lain tetap berjalan, namun yang bersangkutan tetap bersiteguh ingin mendengar terbuka. Hasilnya, evaluasi baik dan baik tiada kritik saat yang dipromosikan tetap ada di ruangan.
Sementara hasil lain yang langsung dibuat hari lain ”tanpa kehadiran yang bersangkutan” ternyata berbeda tajam. Ruang komunikasi harus disadari dengan budi bahwa mengalami ”hambatan” keterusterangan manakala yang berkomunikasi tidak setara atau berjenjang.
Oleh karena itulah, untuk sampai ke ”kebenaran fakta” yang diungkap dengan kata-kata berdata dan bermakna benar (alias tidak bohong demi menyenangkan si bos), jalan satusatunya untuk meng-counter-nya adalah dengan inspeksi mendadak atau ”blusukan”: turun ke lapangan dan bukan menunggu laporan dari dan di meja dalam rapat-rapat resmi?
Gejala Paradoks Kedua
Berhadapan dengan yang menentukan kedudukan kerja saya atau yang menentukan ”hidupmatinya” aku entah dalam relasi kerja, relasi kuasa wewenang apalagi hubungan dengan ekonomis, kita dengan lancar akan membuatkan senang, akan memberi pujian bila perlu dalam ekspresi apa adanya ”menjilat pantatnya”.
Namun, sikap itu akan berubah bila kita berhadapan dengan mereka-mereka yang tidak menguntungkan kita atau para ”nobody” terhadap kita. Apresiasi atau sikap hormati minimal sebagai sesama makhluk pun kerap minimal sekali.
Penelitian kultural salah satunya menunjuk pada sebab kolonialisme yang kini menjadi gejala pascakolonialisme di mana akibat disubordinasi terusmenerus dan dibatinkan bahwa si penjajah atau penguasa intelektual koloniallah yang selalu lebih cerdas, maka apresiasi hormat menjadi vertikal ke atas ke ungkapan ”ya tuanku” atau ”daulat tuanku”.
Oleh karena endapan sikapsikap mentalitas merasa diri hamba, atau budak ini sudah ”kronis” dan mengendap hidup dalam bawah sadar, maka hanya pendidikan penyadaran atau konsientisasi sebagai orang merdeka (baca: bangsa merdekalah) yang evolutif akan mengikis paradoks kedua ini. Mengapa? Lihatlah fenomena-fenomena di depan mata kita yang tanpa sadar maupun ”sadar”, kita paling susah mengapresiasi hasil kerja dan prestasi anak bangsa sendiri.
Lebih mudah kita hargai, mudah dicocok hidung kita oleh merekamereka yang atas nama modal besar, pasar makro ekonomi, cendekiawan multidimensional. Apresiasi yang kecil bahkan dipuncakkan dengan mengecilkan sesama dan membesarkan diri dan kepentingannya sendiri. Tidaklah kita ingat salah satu bentuk ”kekerasan kata miskin apresiasi” saat Habibie meluncurkan pesawat terbang dalam industrinya yang dinamai TETUKO (diplesetkan sebagai ”sing teko ora tuku, sing tuku ora teko” artinya: yang datang tidak beli dan yang mau beli tidak datang.
Kita sedih menjumpainya sekaligus merasakan tragisnya fenomena paradoksal kedua ini. Inikah yang oleh para pendiri bangsa sejak awal disadarkan pada kita bahwa hanya melalui pendidikan mentalitas kemartabatan lah kita belajar menjadi bermartabat dengan memulai menghargai talenta yang dipunyai masing-masing saudara kita dan berusaha toleransi dengan menempatkan diri di posisi mereka dan bukan mengadili dari posisi kita!
Bukankah pendidikan budi pekerti mengajari kita di mata Tuhan sebagai gambaran- Nya yang berharkat: pria gambaran agung-Nya dan perempuan citra ayu-Nya? Bukankah kita-kita ini sama-sama khalifah Allah di dunia ini?
Gejala Paradoks Ketiga
Bangsa yang ramah mudah lupa dan karena itu ”pemaaf” terhadap orang luar atau bangsa lain. Namun, paradoksnya kita pendendam di antara saudara sebangsa, seprofesi, sekawanan bahkan secita-cita luhur religius. Mengapa? Pertama, kita menjadi pendendam bila harkat, derajat kita dilukai disakiti.
Dalam siri, harkat dihina, dipermalukan maka balasannya adalah mata diganti mata dan gigi diganti gigi. Dalam kalkulasi impas 10 nyawa dibunuh lawan maka 10 nyawa pula harus dibalaskan. Yang kedua, dendam yang sudah dihaluskan lewat kesantunan kultural di Jawa kebudayaan Jawa dibalaskan dengan sikap menganggap ”lawannya” tidak ada, tidak eksis lagi. Maka ia dijothak = didiamkan tidak diajak bicara sampai impas ada pengakuan maaf bagi yang bersalah.
Sulitnya, keduanya bergengsi tinggi tidak merasa salah dan memandang lawannyalah yang bersalah. Untuk kedua pertanyaan ”mengapa” di atas, sebenarnya peradaban kasih mengampuni meski harus adil tetap forgive but not forget yang semestinya dibawa oleh religusitas dari religireligi keyakinan bahwa Allah adalah Sang Penghidup dan menjadi sumber life culture atau budaya kehidupan, bisa menjadi ranah-ranah transformasi sikap pendendam ini.
Bukankah ramah sebagai sikap hidup dan pemaaf bagi orang asing atau bangsa lain semestinyamulai dari dalam (from within)? Namun, sejarah dendam antara Sultan Ternate dan Tidore memang mencatat pihak ”ketiga” yang secara licik terus mengadu dan memprovokasi untuk penguasaan rempah-rempah. Sama analoginya secara kultural selalu ”diadu” antara Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta oleh Belanda dengan VOCnya, padahal asal awalnya dari satu Mataram baru yang sama.
Sejarah pemerdekaan dari transformasi mentalitas pulalah yang membuktikan bahwa kita sampai hari ini masih terus belajar dan belajar agar ”tanah” dengan mineral kekayaan di dalamnya serta ”air” dengan kekayaan laut di dalamnya tidak dijual murah oleh mereka-mereka yang ramah, namun culas sehingga hari ini 85% makanan kita berasal dari impor.
Mengenali tiga gejala paradoksal terutama yang terakhir, dengan gagalnya setiap kali bahasa hukum komisi rekonsiliasi dan bahasa pengakuan dengan rendah hati, bahwa masingmasing kita adalah pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap sesama bangsa sehingga yang muncul di tahun politik 2014 bukannya pengakuan kita sekaligus pelaku dan korban, namun malah rasionalisasi dan pembenaran- pembenaran diri bersih dari dosa sejarah?
Sudah saatnya menapaklah kita di jalan kultural rekonsiliasi dan bukan terus mendua tampil pahlawan, padahal yang sejati sebagai pahlawan adalah mereka yang bernama rakyat, satunya kata dan tindakan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dengan keadilan dan pemerataan.
Tanpa ini, paradoksparadoks kita akan muncul terus di panggung Indonesia yang seolah- olah seakan-akan ”berbagi panggung”, padahal secara nyata saling mengerkah berebut panggung. ●
Dalam KBBI daring--dalam jaringan (online) maupun luring--luar jaringan (offline), pa·ra·dok·sal a seolah-olah bertentangan (berlawanan) dng pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. JADI ASUMSU Mudji Sutrisno salah sejak awal.
BalasHapus