ROMLI ATMASASMITA Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung/ Ketua Mahupiki
Pengakuan itu terutama oleh para wakil rakyat yang duduk di Komisi II tempo hari yang ikut membahas RUU Tipikor Tahun 1999/2001 dan pemerintah era reformasi yang dipimpin oleh Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati; bahkan SBY dengan keluarnya inpres percepatan pemberantasan korupsi.
Tidak ada yang meragukan keluarbiasaan korupsi, karena secara nyata sejak Orde Baru sampai saat ini perbuatan korupsi telah menghabiskan 30–35% dari APBN/APBD Indonesia. Perbuatan itu juga secara nyata telah langsung atau tidak langsung merampas hak-hak ekonomi dan sosial 250 juta rakyat Indonesia. ***
Jika ada perubahan pandangan terhadap sifat extraordinarydari korupsi, pandangan tersebut hendaknya dipertanggungjawabkan kepada 250 juta rakyat dari aspek sosial, politik, dan yuridis. Namun, mengapa pertanyaan atau keraguan sifat keluarbiasaan ini muncul di paruh kedua pemerintahan SBY?
Penyebab utama adalah semakin tajamnya kuku Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghujam banyak orang, baik pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, juga pihak swasta/pihak ketiga terkait. Kekhawatiran mereka terhadap sifat keluarbiasaan korupsi diperkuat oleh kinerja KPK sejak tahun 2012 yang telah menggalakkan upaya ”pemiskinan koruptor” melalui UUTPPU 2010, yang sepatutnya dikaji kembali karena ada cacat hukum penggunaan wewenang KPK dalam penuntutan TPPU di dalamnya.
Cacat hukum kewenangan KPK ini kemudian disahkan oleh majelis hakim pengadilan tipikor, sekalipun dua hakim adhoc telah menyatakan ”dissenting”. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, hakim merupakan faktor penentu dalam memutus suatu perkara. Namun di era reformasi dan kebebasan informasi dan pengawasan publik saat ini, tidak dapat dinafikan kenyataan bahwa opini publik merupakan faktor yang sangat memengaruhi kinerja aparatur penegak hukum tidak terkecuali hakim, termasuk hakim tipikor.
Selain itu, ada masalah integritas hakim yang lemah dan tak berdaya menghadapi cara-cara Komisi Yudisial (KY) mengawasi kinerja hakim. Kinerja aparatur hukum termasuk hakim dalam menerapkan UU TPPU yang sering salah kaprah ini, dikuatkan ahli akademisi yang teganya melacurkan keilmuannya demi panggung popularitas semata-mata dan tega berselingkuh dengan kebenaran keilmuannya. Kondisi ini membuat saya miris, dan tentunyaanggotaMasyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) tidak akan berani melakukan perbuatan tercela seperti itu. ***
KPK Jilid I dan II masih tetap pada khitahnya, yaitu pemberantasan korupsi. Akan tetapi, KPK Jilid III telah memberanikan diri dengan menambah pemberantasan TPPU. Sikap berani ini masih harus dikaji dari sudut historis, sosiologis, yuridis, dan filosofis pembentukan KPK.
KPK saat ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi dan TPPU bukan ranah KPK lagi, sehingga fakta yang terjadi adalah kuku tajam KPK telah memasuki ruang-ruang kamar pribadi pelaku korupsi bahkan kehidupan pribadi, yang tentu aib dipertontonkan kepada publik. Mengutip pendapat Braithwaite (1989), KPK telah menjalankan ”disintegrative shaming” sebagai lawan ”reintegrative shaming” terhadap pelaku korupsi dan keluarganya dan rekan/ sahabatnya.
Cara KPK saat ini cocok dengan pendapat Braithwaite yang mengatakan, ”Shaming is the most poten weapon of social control unless it shades into stigmatization” karena menurutnya, ”formal criminal punishment is an ineffective weapon of social control.” Namun, Braithwaite juga mengingatkan bahwa, ”reintegrative shaming controls crime; stigmatization pushes toward criminal subculture.”
Dalam masyarakat yang berkarakter komunalitas dan kolektivitas seperti Indonesia, tentu cara KPK ini dianggap berhasil. Akan tetapi, cara ini tidak dapat diharapkan untuk jangka panjangdapatmengubahkeadaan koruptif dalam masyarakat menjadi keadaan tanpa korupsi. Karena itu, semua bergantung pada sistem politik yang dianut apakah masih tetap pada sistem otoritarian, semi-otoritarian, ataupun demokrasi atau demokrasi transisi.
Mengapa sistem politik menjadi penting karena berkaitan dengan kekuasaan dan partai pendukungnya? Apalagi sistem politik Indonesia tidak mengenal oposisi; kebanyakan proposisi, disposisi, dan rekomendasi atau abstain bergantung pada seberapa besar kompensasi yang diterimanya.
Semangat antikorupsi tidak dapat dibangun dalam satu hari, teteapi sangat bergantung pada selain sistem politik, juga sistem hukum dan sosialbudaya yang telah diwariskan oleh generasi masa lalu. Karena selama belum ada pemisahan generasi masa lalu yang korup, selama itulah korupsi merupakan warisan budaya yang tidak ada berujung. ***
Percayalah, KPK dengan caracara sebagaimanadinyatakanoleh Braithwaite, tidak akan menghasilkan buah ranum dan matang yang dapat dinikmati generasi penerus, kecuali buah dendam berkepanjangan sebagaimana kita rasakan dendam-dendam politik dan kekerasan lainnya di tengah kehidupan kita saat ini sebagai akibat kinerja masa Orde Baru dan Orde Lama. Bagaimana KPK harus bersikap?
Jawabannya sederhana, kembali pada khitahnya, pemberantasan korupsi! Bagaimana dengan hasil korupsinya? Biarkan UU TPPU diubah dan dibentuk Komisi Pemberantasan TPPU sendiri, tidak bergantung dan merecoki kewenangan KPK dengan ketentuan yang cacat hukum. Dalam kaitan inilah, saya melihat bahwa pemberantasan korupsi setelah berlakunya UU TPPU 2010 masih diselimuti kabut tebal.
Apakah saat ini KPK berhasil memberantas korupsi atau TPPU? Tidak jelas, ibarat melihat gunung dari kejauhan tertutup awan tebal sehingga kita tidak dapat melihat jelas keberhasilan sesungguhnya, apakah pemberantasan korupsi tipikor atau TPPU? Apakah tujuan pengembalian kerugian Negara atau mempermalukan koruptor dan keluarganya?
Tujuan awal pemberantasan tipikor adalah pengembalian kerugian keuangan negara dan tipikor harus dibuktikan terlebih dulu, tidak dapat hanya diduga atau dipersangkakan, karena jelas-jelas jika seperti itu merupakan pelanggaran hak asasi tersangka/ terdakwa.
Jika hakim mewajibkan terdakwa membuktikan harta kekayaan yang terkait tindak pidana korupsi tanpa pembuktian kesalahannya, cara itu benar jika ketentuan tentang tindak pidana memperkaya diri sendiri secara tidak sah atau illicit enrichment telah merupakan ketentuan UU; ketentuan Pasal 77 dan 78 UU TPPU 2010, bukan illicit enrichment! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar