Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 05 Maret 2014

Menimbang Politik Pendidikan Kita (Ahmad Fuad Fanani)

Oleh AHMAD FUAD FANANI Direktur Riset MAARIF Institute for Culture and Humanity; Pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, banyak yang berharap umat Islam bisa memainkan peran yang signifikan. Mereka berharap agar umat Islam memberikan kontribusi yang positif dalam proses pemajuan kebangsaan dan kenegaraan. 

Kontribusi itu bisa dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, budaya, atau pendidikan. Harapan itu muncul kembali, terutama di tahun 2014 yang dikenal sebagai tahun politik ini. Diharapkan, umat Islam ke depan akan semakin maju dan berkiprah dalam peta kebangsaan di Indonesia. Keinginan agar Islam dan umat Islam bisa memberikan peran positif dan kontributif ini, tentu tidak hanya dilandasi kalkulasi politik dan ekonomi. Namun, ini muncul dengan melihat fakta politis, sosiologis, historis, dan kultural yang selama ini mereka alami. 

Meskipun umat Islam di Indonesia mayoritas, peran-perannya dalam berbagai bidang kebangsaan masih belum meyakinkan. Umat Islam sangat diperhitungkan ketika berbicara tentang dukungan politik dan pengerahan massa, namun sering diabaikan ketika berbicara tentang pembagian peran politik dan penempatan berdasarkan profesionalitas. 

Umat Islam sering hanya berhenti unggul dalam bidang kuantitas, namun untuk kualitas masih perlu kerja keras. Salah satu bidang garap umat Islam yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah soal pendidikan. Pendidikan ini sangat penting sebagai investasi masa depan. Dengan pendidikan yang baik pula, bangsa ini akan bisa maju dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. 

Negara-negara maju yang dekat dengan Indonesia seperti Australia, Singapura, dan Malaysia, sangat menekankan dan memberi perhatian yang serius pada pendidikan. Banyaknya institusi pendidikan Islam yang berkonversi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) di berbagai tempat seperti di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bandung, Riau, Aceh sepatutnya dilihat sebagai upaya umat Islam dalam memajukan dunia pendidikan. Di UIN itu dibuka fakultas-fakultas umum yang selama ini jarang dipelajari para santri di bangku pendidikan formal mereka. 

Tidak Perlu Ada Dikotomi Ilmu 

Dalam peresmian Gedung FISIP UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta beberapa waktu lalu (11/11/2013), cendekiawan muslim yang juga Rektor UIN Jakarta, Komaruddin Hidayat, menyatakan pembukaan fakultas-fakultas umum di UIN harus dimaknai secara positif dan strategis. Fakultas umum itu didirikan sebagai upaya umat Islam untuk ikut menjadi aktor pembangunan bagi bangsa. 

Dengan adanya UIN, umat Islam diharapkan akan memahami peta kebangsaan secara komprehensif untuk kemudian menyumbangkan banyak hal bagi pembangunan bangsa. Umat Islam juga akan memiliki pemahaman yang bersifat teoretis terhadap berbagai persoalan kebangsaan yang mereka kaji secara serius di UIN, guna kemudian melahirkan rumusan-rumusan kebijakan yang berguna bagi masa depan bangsa ini. 

Yang kadang menjadi kendala terhadap sumbangan umat Islam pada persoalan kebangsaan adalah masih adanya anggapan dikotomi ilmu pada sebagian besar masyarakat dan pejabat kita. Di satu sisi, banyak dari kalangan umat Islam yang menganggap bahwa mempelajari ilmu-ilmu umum tidaklah tepat, karena itu hanya urusan dunia. Umat Islam harus berorientasi mempelajari ilmuilmu agama yang berujung pada pengabdian diri pada Tuhan YME. 

Dengan pandangan umum yang berkembang seperti itu, tidak heran jika banyak kalangan santri yang enggan menyekolahkan anaknya lembaga pendidikan umum. Menurut mereka, ilmu umum itu hanya akan menjadikan mereka berorientasi pada dunia dan mengesampingkan urusan akhirat. Bahkan, ada asumsi bahwa ilmu umum adalah ilmunya nonmuslim yang menjadikan umat Islam mundur. 

Tidak heran jika, misalnya ketika KH Ahmad Dahlan dan KH Wahid Hasyim dulu menganjurkan santrinya mempelajari ilmu umum seperti Ilmu Bumi dan Bahasa Belanda, banyak dikafirkan oleh kiai-kiai dan pemuka agama lainnya. Di sisi lain, kalangan nonsantri juga masih banyak yang beranggapan bahwa para santri lebih tepat belajar di sekolah agama dan mendalami ilmu agama. Banyak juga sinisme bahwa para santri itu hanya bisa berdoa dan memimpin pengajian saja. 

Mereka tidak punya kemampuan memimpin negara atau menjadi ilmuwan di bidang umum seperti ilmu politik, hubungan internasional, biologi, kedokteran, teknologi, pendidikan. Padahal, jika kita perhatikan secara saksama, banyak kalangan santri yang menonjol dan suksessebagaipemimpinbangsa ini. Hal itu tampak pada figurfigur seperti Muhammad Natsir, Djuanda, KH Wahid Hasyim, KH Abdurrahman Wahid. 

Dan hari ini pun, kita banyak menyaksikan para pengamat ilmuwan politik (political scientist) kelas internasional yang lahir dari rahim santri, seperti Azyumardi Azra, Bahtiar Effendy, dan Saiful Mujani. Jika kita belajar dari sejarah, akan terlihat bahwa pada masa-masa kejayaan ketika Islam berhasil menjadi garda depan peradaban serta memberikan sumbangan yang besar pada kemanusiaan, tidak dikenal adanya dikotomi ilmu. 

Kejayaan Islam, baik semasa Dinasti Umayyah, Abbasiyah, maupun Turki Ustmani, menggalakkan pengkajian ilmu secara serius pada semua bidang. Saat itu digalakkan tradisi penerjemahan banyak buku babon dari Yunani dan Romawi yang menginspirasi kemajuan dunia. Pada posisi yang demikian itu, kita mengenal para ilmuwan zaman itu yang canggih dalam ilmu agama, sekaligus sangat unggul dalam ilmu umum. 

Menurut Mulyadhi Kartanegara, para ulama zaman keemasan itu sudah membuktikan bahwa integrasi keilmuan bukanlah mitos belaka. Integrasi ilmu saat itu banyak muncul dalam bidang metafisika, fisika, matematika, dan ilmu umum lainnya (Integrasi Ilmu: Sebuah Rekontruksi Holistik, 2005). Jadi, pada era integrasi ilmulah, Islam bisa menjadi pelopor peradaban di muka bumi ini. Hal ini sudah seyogianya menjadi bahan renungan bagi kita semua. 

Perlunya Political Will 

Sebagai negara muslim terbesar di dunia dan sebagai negara demokratis ketiga di dunia setelah Amerika dan India, Indonesia punya peluang dan kesempatan untuk menjadi negara muslim terbesar yang menyumbangkan pada peradaban dunia. Sumbangan itu bisa diawali dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan melalui kebijakan politik (political will) yang tidak mempersoalkan lagi tentang dikotomi ilmu pengetahuan. 

Semua warga negara Indonesia harus diberi kesempatan yang sama untuk mencari ilmu pengetahuan. Anggaran pendidikan yang sebesar 20% pun hendaknya harus diperuntukkan untuk semua lembaga pendidikan, jadi tidak hanya yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan mendorong semua warga negara bisa mengakses pendidikan dan anggaran pendidikan itu, lembaga pendidikan tinggi Islam akan memberikan sumbangan yang signifikan untuk kemajuan bangsa ini. 

Dalam istilah Bahtiar Effendy, kampus Islam seperti UIN bisa menjadi the signature of Islamic legacy di pentas nasional dan global. Politik kesetaraan dalam bidang pendidikan ini perlu dilakukan, karena sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia perlu mendorong lahirnya para pemimpin Islam yang bersikap terbuka, berwawasan luas, berjiwa kosmopolit, teguh pada kemajuan bangsa, serta siap bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya. Wallahu A’lam Bisshawab. ●

Sumber: http://www.koran-sindo.com/node/372616

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger