Para bakal calon presiden pun cukup bervariasi, mulai dari pemimpin daerah sampai mantan jenderal serta pengusaha kelas kakap dan mantan pejabat tinggi. Kita belum tahu secara mendetail bagaimana gagasan para bakal calon ini tentang isu internasional dan hubungan Indonesia dengan pihak luar, boleh jadi perbedaannya besar. Pihak luar juga mengamati dari dekat siapa yang akan dipilih oleh rakyat Indonesia, serta orientasi kepemimpinannya.
Namun, siapa pun yang menjadi presiden mendatang, satu ciri utama dari kebijakan luar negeri Indonesia dipastikan tetap sama: Indonesia takkan memiliki sumber daya yang memadai untuk mendukung gagasannya pada jangka pendek ataupun jangka menengah.
Kenapa begitu? Sedangkan ekonomi Indonesia bertumbuh pesat, rata-rata 5,7 persen per tahun selama satu dasawarsa terakhir menurut data Bank Dunia sehingga Indonesia berhak masuk G-20. Keberhasilan transisi demokratisasi sejak 1998 juga berpotensi menjadi aset diplomasi, khususnya dengan negara yang sedang mengalami transisi dan negara demokrasi lain.
Namun, harus diingat, kalaupun sumber daya yang dimiliki Indonesia terus meningkat, proses ini mulai dari titik awal yang rendah. Selama ini Indonesia belum terlalu berpengaruh di bidang ekonomi sehingga kita lebih sering dengar keluhan dari para diplomat bahwa diplomasi politik Indonesia tidak membuka akses pasar yang baru, daripada mereka membicarakan bagaimana kekuatan ekonomi Indonesia menjadi alat pengaruh politik.
Program bantuan luar negeri milik Indonesia—sebuah bentuk soft power yang lain—juga tak sebanding dengan negara-negara emerging economy yang lain. Menurut perkiraan OECD, Indonesia membelanjakan sekitar 10 juta dollar AS sebagai bantuan luar negeri pada tahun 2010. Sementara untuk China, angkanya adalah sekitar 2 miliar dollar AS, Brasil 500 juta dollar AS, India 640 juta dollar AS, dan Afrika Selatan 118 juta dollar AS.
Pertumbuhan ekonomi juga memungkinkan peningkatan belanja militer. Namun, target 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) tak tercapai. Kenyataannya belanja militer tetap di bawah 1 persen. Belanja total Indonesia sekitar sepertiga dari anggaran pertahanan Australia setiap tahun, dan juga di bawah angka Singapura. Dengan demikian, tak mengherankan jika Dewi Fortuna Anwar menyimpulkan tahun lalu pada jurnal Europe's World, "Dalam hal kekuatan ekonomi dan militer... Jakarta terutama harus mengandalkan proyeksi soft power".
Tak punya pengaruh nyata
Lantas seperti apa kebijakan luar negeri Indonesia dalam konteks keterbatasan sumber daya ini? Pada praktiknya, Indonesia memiliki agenda diplomasi yang luas, tetapi agenda ini termasuk berbagai masalah yang dalam kenyataan sulit dipengaruhi oleh Indonesia.
Hal ini terjadi karena di satu sisi masyarakat berharap Indonesia memiliki pengaruh yang luas dan bangsa Indonesia juga beraspirasi jadi pemain global. Namun, di sisi lain, pembuat kebijakan luar negeri juga sadar atas keterbatasan sumber daya.
Perbenturan dua faktor ini terlihat jelas dalam diplomasi Indonesia menyikapi konflik-konflik di Timur Tengah. Konflik ini mendapat tempat menonjol dalam agenda diplomasi Indonesia—seperti komentar Yudhoyono tentang kebijakan luar negeri dalam pidato kenegaraan tahun lalu menyangkut Suriah, Palestina, dan Mesir. Namun, Indonesia tak memiliki pengaruh nyata pada situasi-situasi konflik ini. Hal ini diakui Yudhoyono sendiri dalam kasus Suriah, pada keterangan pers di Rusia tahun lalu.
Saat itu Amerika Serikat menyiratkan akan meluncurkan operasi militer terhadap Suriah untuk merespons penggunaan senjata kimia. Indonesia berpendapat lain, menginginkan gencatan senjata serta intervensi masyarakat internasional dengan mandat Dewan Keamanan PBB.
Namun, Yudhoyono mengaku, Indonesia tak bisa langsung memengaruhi keadaan di Suriah, sikap negara besar ataupun Dewan Keamanan PBB, kalaupun hal ini dinginkan masyarakat. Yang bisa dilakukan, kata Yudhoyono, adalah diplomasi aktif, menyampaikan pikiran dan saran Indonesia.
Hal ini—masih menurut Yudhoyono—telah ia lakukan dalam berbagai forum multilateral, termasuk kepada Sekjen PBB serta duta khusus Liga Arab. Demikian halnya dengan konflik Palestina. Publik menginginkan Indonesia berperan, dan diplomasi Indonesia terbilang aktif. Namun, berbagai upaya Indonesia tak memberikannya pengaruh signifikan pada aktor kunci dalam konflik, dan Indonesia juga tak mampu memainkan peran mediasi.
Sekali lagi, presiden mendatang mungkin punya gagasan tersendiri dalam diplomasi luar negeri, tetapi akan tetap terikat oleh keterbatasan sumber daya ini. Membaca opini ini, mungkin ada yang bertanya, jika pengaruh Indonesia memang betul seperti digambarkan di sini, kenapa tahun lalu Indonesia menerima kunjungan beberapa pemimpin dunia ke Jakarta, termasuk Xi Jinping, Manmohan Singh, dan Shinzo Abe.
Kunjungan ini mencerminkan antisipasi negara lain atas potensi pengaruh Indonesia pada masa depan, bukan kekuatannya saat sekarang. Dalam jangka pendek dan bahkan jangka menengah, Indonesia akan paling berpengaruh pada isu internasional jika erat kerja samanya dengan negara mitra.
Dalam hal ini, antisipasi negara lain atas potensi jangka panjang Indonesia menjadi keuntungan bagi diplomasi Indonesia sekarang. Justru pada saat Indonesia butuh mitra, negara lain juga mencari kesempatan bekerja sama dengannya.
Dave McRae, Visiting Fellow, Australian National University
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005222801
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar