Sejak desentralisasi dan otonomi daerah, pengendalian kelahiran mengalami hambatan. Proyeksi penduduk tersebut sebetulnya telah diterbitkan pada Oktober 2013, tetapi baru boleh diketahui khalayak umum akhir Januari tahun ini.
Tidak perlu dimungkiri bahwa data statistik kependudukan memiliki nilai politis tinggi. Penduduk merupakan suara, misalnya. Ada kalanya jumlah penduduk yang lebih tinggi dari yang diperkirakan berarti tambahan beban pada anggaran dan kemungkinan penurunan pelayanan publik. Sebaliknya, ada pula pemerintah daerah yang menghendaki jumlah penduduk lebih besar karena akan meningkatkan alokasi anggaran dari pusat yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk.
Hasil SP 2010 mengejutkan
Proyeksi penduduk ini didasarkan pada hasil Sensus Penduduk (SP) 2010. Ketika hasil SP 2010 diumumkan, komunitas demografi dan kependudukan agak terperangah. Bagaimana tidak? Jumlah penduduk Indonesia yang diumumkan pada Agustus 2010—tidak lama setelah pelaksanaan SP yang demikian kolosal, melebihi yang diperkirakan—sebesar 237,6 juta orang. Proyeksi penduduk berdasarkan SP 2000 menghasilkan jumlah penduduk sebesar 234,1 juta untuk tahun 2010. Proyeksi menengah PBB (2008) yang banyak dipakai ketika membahas bonus demografi mencatat jumlah lebih rendah lagi, sebanyak 232,5 juta orang.
Tentu saja ada yang akan berpendapat bahwa perbedaannya tidak terlalu besar. Hanya 3,5 juta atau 5,1 juta orang, sebanyak 1,5-2,0 persen. Namun, akibat lanjutan membebani usaha pembangunan. Negara harus menanggung beban lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya dan perbedaannya makin melebar. Di samping itu, hal tersebut juga berdampak terhadap harapan yang telah banyak didengung-dengungkan, bonus demografi, walau juga menghadapi tantangan belakangan ini. Masalahnya, jumlah penduduk suatu bangsa pada suatu waktu tertentu merupakan hasil perilaku rakyatnya di masa lampau yang membawa pengaruh jangka panjang. Anak sekarang menjadi remaja dan dewasa kemudian hari; ada yang menjadi pekerja berpendidikan atau tidak, sehat atau tidak, dan makin berumur, ada yang menjadi lansia dalam keadaan sehat atau tidak, ada yang tetap tinggal dan ada yang meninggalkan Tanah Air.
Adalah pola fertilitas, mortalitas, dan migrasi masa lampau yang akan menentukan, baik komposisi maupun besar penduduk kita di masa akan datang. Karena itu, para demograf membuat proyeksi penduduk dengan memperkirakan pergerakan pola fertilitas, mortalitas, dan migrasi ke depan berdasarkan pola masa lampau. Adalah perubahan dalam dinamika perkembangan penduduk yang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk melebihi perkiraan sebelumnya. Lebih tingginya kenyataan dari perkiraan merupakan pertanda fakta tidak secerah perkiraan. Secara khusus, yang dimaksud adalah fakta dan perkiraan mengenai perkembangan fertilitas dan mortalitas.
Indonesia pernah menjadi model dan tempat berguru untuk program Keluarga Berencana. Keberhasilan BKKBN pernah menjadi kebanggaan Indonesia. Inilah program yang memungkinkan orangtua merencanakan keluarganya, menjauhi kehamilan yang terasosiasi dengan tingginya kematian ibu dan anak, yaitu ketika ibu terlalu muda atau terlalu tua, atau ketika kehamilan terjadi terlalu sering dan berjarak terlalu dekat. Data berbicara. Angka fertilitas total (TFR) yang dihitung berdasarkan data sensus penduduk 1971, 1980, dan 1990 menunjukkan penurunan cukup tajam dari 5,61 menjadi 4,68, kemudian 3,33 anak per perempuan usia reproduktif 15-49. Jika ditambah data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1993, kecenderungan penurunan ini terus berlanjut hingga 3,02 anak per perempuan 15-49 tahun. Hal ini menunjukkan penurunan angka kelahiran 54 persen.
Namun, amat disayangkan bahwa sejak reformasi yang dibarengi dengan desentralisasi dan otonomi daerah, indikator sosial tak banyak beranjak ke perbaikan, peningkatan kesejahteraan. Selama ini berbagai hasil survei, khususnya rangkaian SDKI 2002-2003, 2007, dan 2012, menunjukkan TFR konstan pada tingkat 2,6 anak per perempuan 15-49 tahun. Penurunan fertilitas biasanya didahului penurunan mortalitas. Pola serupa ditunjukkan untuk kematian anak; menurun cukup mengesankan hingga pertukaran abad, tetapi melambat sejak itu hingga sekarang. Hal ini benar untuk kematian neonatus (kelahiran hingga 1 bulan), bayi (dari lahir hingga 1 tahun), dan anak balita (di bawah lima tahun). Selama dasawarsa 1990-an, angka kematian neonatus menurun 38 persen, kematian bayi turun 49 persen, dan kematian anak balita turun 53 persen. Namun, seperti halnya fertilitas, sejak awal abad ini angka kematian neonatus hanya turun 5 persen, kematian bayi turun 9 persen, dan kematian anak balita turun 13 persen (SDKI 2012).
Apa yang terjadi? Memang ketika itu kejayaan BKKBN redup. Desentralisasi dan otonomi daerah berarti bahwa fungsi pemerintahan, termasuk pelayanan oleh BKKBN, seharusnya dilanjutkan oleh pemerintah daerah. Rupanya, menemukan pemerintah daerah di antara lebih dari 500 provinsi dan kabupaten/kota yang menaruh perhatian pada pentingnya pemberian pelayanan KB bagi rakyatnya bukanlah hal yang mudah. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sepatutnyalah hal tersebut disebut "kelalaian".
Dampak "kelalaian"
Telah disinggung di atas bahwa salah satu dampak dari "kelalaian" tersebut adalah lebih besarnya jumlah penduduk dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini tentu saja akan membawa dampak jangka panjang, dalam arti proyeksi penduduk berdasarkan SP 2010 makin besar penyimpangannya dari proyeksi sebelumnya yang ditandai pandangan optimistis bahwa pelayanan dan keadaan kesehatan serta KB makin baik sehingga fertilitas dan mortalitas terus menurun mengikuti pola abad lalu sebelum desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini berdampak pada angka beban ketergantungan menjadi lebih tinggi. Awal Adioetomo mengungkap bonus demografi didasarkan proyeksi menengah PBB berperspektif optimistis tentang penurunan fertilitas dan mortalitas berkelanjutan 1950-2050 menunjukkan angka beban ketergantungan (ABK) 44 penduduk usia 0-14 dan 65+tahun per 100 orang usia produktif 15-64 tahun. Akibat "kelalaian" perlambatan penurunan fertilitas dan mortalitas sejak desentralisasi dan otonomi, ABK hasil proyeksi terakhir lebih tinggi menjadi 47 per 100 penduduk usia 15-64 tahun, atau 8 persen lebih tinggi, perbedaan yang cukup berarti.
Dan, tentu saja "kelalaian" tersebut berdampak terhadap jumlah penduduk yang menjadi lebih besar daripada perkiraan sebelumnya. Kalau SP 2010 "hanya" 3,5 juta orang lebih banyak dari perkiraan berdasarkan SP 2000, pada 2015 perbedaannya menjadi 7,3 juta orang, tahun 2020 menjadi 9,5 juta, dan tahun 2025 menjadi 11,2 juta orang. Dampaknya tentu cukup berarti pada, misalnya, anggaran pendidikan dan kesehatan. Ketika Indonesia berusaha meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, penambahan penduduk mungkin sekali menghambat harapan tersebut. Demikian pula di bidang kesehatan, ketika kita ingin memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi semua, peningkatan penduduk meningkatkan kebutuhan pendanaan untuk jaringan kesehatan nasional. Suatu kelalaian yang mahal.
Mayling Oey-Gardiner, Demograf Anggota KIS-AIPI dan Guru Besar FEUI
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005250601
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar