Kasus ini meruntuhkan citra panti asuhan di Indonesia. Pertanyaannya: benarkah kasus ini penyebab "runtuhnya" citra panti asuhan ataukah akibat tak efektifnya sistem pengendalian kualitas dan kuantitas panti asuhan? Untuk itu, kita perlu berpikir jernih dan memahami kondisi panti asuhan di Indonesia.
Panti asuhan merupakan lembaga sosial paling populer di mata awam di antara berbagai jenis lembaga sosial di Indonesia. Ini, antara lain, karena keberadaan panti asuhan di Indonesia sudah lebih dari 180 tahun. Menurut Kementerian Sosial, yang dikutip pemberitaan koran, jumlah panti asuhan yang dibantu pada 2013 sekitar 5.000 dan diperkirakan masih lebih dari 1.000 unit yang belum terdata.
Panti asuhan pada zaman sebelum kemerdekaan Indonesia disebut sebagai rumah miskin. Pada awal kemerdekaan, ia berganti nama menjadi panti asuhan. Pada 1985, Departemen Sosial (sekarang Kemsos) mengganti nama panti asuhan menjadi panti penyantunan anak (PPA), kemudian diganti lagi menjadi panti sosial asuhan anak (PSAA), dan sekarang: lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA). Alasan peng- gantian nama adalah meningkatkan citra panti asuhan.
Pergantian nama rupanya tak diikuti dengan pembinaan kinerja dan sosialisasi nama. Tujuan- nya tidak tercapai optimal karena pada kenyataannya masyarakat lebih akrab dengan nama panti asuhan daripada nama lainnya.
Rehabilitasi sosial
Panti asuhan dikenal selaku lembaga sosial yang mengasuh dan menyantuni anak yatim piatu dan sebagai tempat beramal sedekah. Tak banyak orang tahu atau peduli terhadap apa yang sebenarnya dilakukan di panti asuhan. Mereka menyangka panti asuhan hanya memberikan kebutuhan dasar hidup anak-anak asuhnya. Padahal, panti asuhan berperan sebagai tempat rehabilitasi sosial bagi anak-anak telantar akibat disfungsi sosial keluarga, dalam arti peran sosial orangtua/keluarga tidak berfungsi sehingga terhambatlah perkembangan anak, baik jasmani, rohani, maupun sosialnya secara wajar.
Ketidaktahuan ini membuat masyarakat beranggapan bahwa mengelola panti asuhan itu mudah. Pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan perundangan terkait dengan panti asuhan, tetapi penerapannya di lapangan masih belum efektif (karena bukan saja penyelenggara panti asuhan, aparat instansi sosial di daerah pun banyak yang tak tahu adanya peraturan perundangan ini).
Penyelenggara panti asuhan dituntut mengetahui tata cara pengelolaan panti asuhan dan sering dipersalahkan karena dianggap tidak mampu melakukan pelayanan dengan baik. Sementara itu, upaya pemerintah dan pemerintah daerah membina panti asuhan dapat dikatakan hampir tak ada. Program pelatihan pengelolaan panti asuhan diganti dengan pemberian bantuan dalam bentuk barang/natura. Buku panduan atau pedoman tentang pengelolaan panti asuhan tak pernah sampai di tangan pengurus panti asuhan karena pencetakan dan distribusinya terbatas.
Sewaktu masih ada kantor wilayah Departemen Sosial, informasi dan peraturan dari Departemen Sosial bisa langsung disebarluaskan dengan pemahaman yang sama. Namun, sejak dihapuskannya kantor wilayah Departemen Sosial, informasi dan peraturan disebarluaskan melalui kantor dinas sosial dengan pemahaman yang berbeda-beda serta disesuaikan dengan kepentingan setiap daerah.
Sering terjadi, mutasi aparat di daerah dan penempatan pejabat yang tak memiliki kompetensi sesuai dengan jabatannya. Ini mengakibatkan pelaksanaan peraturan di daerah sering berbeda dengan isi, jiwa, atau semangat peraturan dari pusat.
Memang diakui, masih banyak panti asuhan yang belum mampu memenuhi standar pengelolaan dan pelayanan yang ditetapkan Kemsos. Mereka kebanyakan belum mengetahui adanya standar pengelolaan dan pelayanan panti asuhan. Selain itu, kemampuan sumber daya manusia dan sumber dana mereka juga terbatas sehingga mereka baru mampu memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup anak-anak asuh, belum menjangkau penuntasan masalah sosialnya.
Tidak mengherankan apabila banyak orang berpendapat panti asuhan belum dikelola secara profesional. Namun, peran panti asuhan tak bisa diabaikan karena apabila rata-rata 1 panti asuhan mengasuh 20 anak, dalam 5.000 panti asuhan terdapat lebih dari 100.000 anak-anak telantar yang tersantuni dan mendapat kesempatan meraih masa depan yang lebih baik.
Maka, jadikanlah kasus Panti Asuhan Samuel ini pelajaran bagi kita semua. Kejadian itu tanggung jawab bersama para pemangku kepentingan: penyelenggara panti asuhan, pemerintah, dan masyarakat—ya, kita semua.
Sarsito N Sarwono, Ketua Asosiasi Pilar Kesejahteraan Sosial Indonesia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005221701
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar