Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 08 Maret 2014

Pemimpin , Rekam Jejak, dan Waktu untuk Sukses (Frans H Winarta)

Oleh FRANS H WINARTA, Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia mempunyai segunung persoalan. Sebut saja antara lain infrastruktur, keamanan, perumahan, banjir, kemiskinan, kemacetan lalu lintas, transportasi publik, sampah yang menggunung, kesehatan bagi sebagian penduduknya terutama kalangan bawah.

Belum lagi masalah pelayanan kesehatan yang memadai dan berkualitas juga bagi kalangan bawah, masalah pertamanan dalam area kependudukan yang super-padat, kurangnya ruang umum untuk rekreasi dan olahraga, kurangnya area perparkiran, tempat hiburan, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Untuk menghadapi masalah yang kompleks tersebut, diperlukan figur kepemimpinan yang tegas, rasional, merakyat dan mau mendengar aspirasi masyarakatnya.

Joko Widodo atau lebih dikenal dengan sebutan Jokowi mempunyai kualitas tersebut. Figurnya sangat diharapkan masyarakat Jakarta untuk dapat melakukan perbaikan secara masif di segala bidang. Hanya, patut disayangkan berita yang berkembang mengenai pencalonannya sebagai presiden dari PDIP untuk Pemilu 2014 yang akan datang.

Dikhawatirkan gonjang-ganjing pencalonannya oleh PDIP sebagai calon kuat capres 2014 menyebabkan fokus kinerjanya dalam membangun dan memperbaiki Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia menjelang Pemilu 2014 menjadi terganggu. Maklum godaan pencalonan sebagai capres serta santernya pertanyaan mengenai pencalonan sebagai capres yang ditanyakan dalam setiap kesempatan baik oleh pers maupun masyarakat, ditakutkan akan memecah konsentrasi Jokowi dalam menghadapi masalah pelik yang menggunung di Jakarta.

Miskinnya calon presiden yang berbobot karena lemahnya kaderisasi di masa lampau oleh partai politik dan suasana pemerintahan yang autokratik telah menutup peluang untuk tumbuh kembangnya calon-calon pemimpin yang berkualitas baik, teruji, ulet, konsisten, terlatih dan tegas. Pada umumnya calon pemimpin kita miskin ide, gagasan, dan jauh dari sikap reformis dan egaliter.

Malahan banyak yang mengidap karakter primus interpares (first among equals), sebagai sikap ingin dilayani dan bukan melayani rakyat. Menjadi Gubernur Jakarta adalah posisi sentral yang maha-penting dalam ketatanegaraan Indonesia. Sebagai ibu kota, maka Jakarta adalah wajah Indonesia. Demikian pula posisi Gubernur Jakarta sangat prestisius sampai- sampai Ali Sadikin di masa hidupnya pernah mengklaim lebih terkenal dari semua menteri di kabinet Orde Baru.

Dan klaim itu benar adanya. Selama sepuluh tahun memerintah di Jakarta, dia adalah Gubernur Jakarta yang paling populer dan disegani yang pernah ada, tanpa mengurangi jasa-jasa gubernur lainnya. Wibawa Gubernur Ali Sadikin sedemikian rupa sampai dapat mengajak Gubernur Jawa Barat yang dijabat Solihin GP waktu itu untuk mengembangkan tata ruang Jabotabek, mengatasi banjir bersama dan masalah kependudukan.

Ternyata hal ini tidak dil a n j u t k a n oleh penerusnya sehingga mengakibatkan masalah yang bertumpuk sekarang ini seperti banjir, kemacetan lalu lintas, sampah yang bertumpuk, kemiskinan, transportasi publik, serta masalah infrastruktur Jakarta lainnya.

Keberhasilan sebagai Modal Utama Capres

Bisa dibayangkan jika dalam lima tahun masa pemerintahannya Jokowi berhasil membawa perubahan kepada Jakarta, mengatasi masalah utama, kemacetan lalu lintas, membangun infrastruktur MRT, monorel dan transportasi publik lainnya.

Dan juga bisa membereskan dan mengatasi sampah yang menggunung, menciptakan pelayanan kesehatan publik yang memadai dan berkualitas, mengatasi banjir dengan menggunakan teknologi mutakhir, mengatasi kemiskinan, kejahatan, premanisme, serta masalah kronis lainnya, maka ini akan menjadi modal berharga Jokowi dalam menuju posisi RI 1.

Pengalaman Jokowi memimpin selama lima tahun di Jakarta akan menjadi modal dan batu loncatan menuju posisi eksekutif tertinggi di tahun 2019. Ali Sadikin mempunyai kualitas tersebut tetapi sistem ketatanegaraan dan politik waktu itu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Andaikan kesempatan itu datang pada waktu itu, akan memberi warna tersendiri bagi dunia perpolitikan dan demokrasi di Indonesia.

Gagasan-gagasannya tentang gelanggang olahraga, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Fair, Kemeja Batik sebagai pakaian resmi dan budaya Indonesia, penghargaan terhadap olahragawan berprestasi, budayawan, seniman, Jakarta sebagai kota tertutup, judi untuk pembangunan, Taman Impian Jaya Ancol sebagai tempat rekreasi umum, dan lain-lain tentu saja tidak dapat dilupakan.

 Menentukan Karier Politik Sendiri

Sekarang adalah waktunya bagi Jokowi untuk menentukan karier politiknya. Berada di persimpangan jalan di tengah kegaduhan politik tentang calon presiden berbagai partai dan pada saat yang sama memerintah Jakarta, akan mengganggu konsentrasi dirinya memimpin Jakarta dan akibatnya tidak akan fokus menanggulangi dan mengatasi berbagai masalah pelik kota Jakarta.

Dilema di persimpangan jalan ini harus cepat diselesaikan sebelum terlambat. Dalam sistem multipartai, siapa pun presiden Republik Indonesia akan sulit memerintah dan menjaga stabilitas. Karakter pemerintahan koalisi adalah kompromi dengan koalisi untuk memperoleh dukungan, sehingga sering kali pemerintahan menjadi tidak efektif dan efisien.

Sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bukti konkret bagaimana pemerintahan koalisi sering kesulitan memperoleh dukungan partai politik lain dalam koalisi. Jokowi harus menentukan sendiri karier politiknya dan tidak menyerahkan kepada para patron di PDIP. Dengan sikap itu, Jokowi akan dapat fokus memimpin Jakarta dan tidak terpecah konsentrasinya untuk menjadi pemimpin ibu kota atau pemimpin nasional.

Perjalanan politik seorang pemimpin memerlukan pengalaman, rekam jejak positif dan waktu yang cukup untuk mengasah diri sebagai calon pemimpin nasional yang akan datang. Figur seorang Jokowi saat ini diperlukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Yang pasti, keputusan untuk menjadi calon presiden akan mengecewakan para pemilih Pilkada DKI Jakarta yang lalu, karena kepercayaan yang diberikan tidak diemban selama periode lima tahun masa jabatan secara tuntas. ●

Sabtu 08 Maret 2014

Sumber: http://m.koran-sindo.com/node/373364
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger