Hakim konstitusi adalah negarawan dan bukan karyawan Mahkamah Konstitusi. Tugasnya berat karena apa yang mereka putuskan, semua orang harus hormat dan patuh. Putusannya: final dan mengikat. Karena itu, undang-undang mensyaratkan hakim konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi.
Akan tetapi, pertanyaannya, apakah negarawan itu bisa diperlakukan seperti karyawan? Diminta melamar, diminta membuat makalah, diwawancarai tim pakar, dan dipilih Komisi Hukum DPR. Komisi Hukum akan mengusulkan dua nama terpilih untuk menggantikan bekas Ketua MK Akil Mochtar yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dan Harjono yang pensiun.
Memang terasa ada yang mengganjal dalam proses itu. Seperti pernah ditulis dalam kolom yang sama pada harian ini, agak susah mendapatkan negarawan dengan cara seperti melamar pekerjaan. Kekhawatiran itu terbukti dengan sedikitnya peminat, 12 orang (satu orang mundur) yang merasa dirinya negarawan untuk melamar menjadi hakim konstitusi.
Kritik sejenis disampaikan ahli hukum tata negara, Irman Putra Sidin. "Mencari negarawan, kok, disuruh mendaftar. Sudah begitu disuruh membuat makalah dan ditanya-tanya secara terbuka," kritik Irman. Kita sependapat dengan kritik Irman. Pintu pendaftaran boleh saja dibuka, tetapi upaya pencarian sendiri oleh tim pakar harus dilakukan.
Tim pakar perlu turun ke lapangan untuk mencari negarawan sejati, menangkap rekam jejak mereka dalam urusan konstitusi, ideologi, kenegarawanan, dan kebangsaan. Negarawan tidaklah terbentuk secara instan. Negarawan terbentuk sesuai dengan perjalanan waktu. Khusus untuk hakim konstitusi, yang dicari adalah negarawan yang menguasai konstitusi. Sosok yang memahami semangat kebatinan penyusunan konstitusi serta memahami pemikiran konstitusionalisme dan pemikiran hukum yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
Rekam jejak calon hakim konstitusi harus bisa dilacak ke belakang. Apakah memang rekam jejak perilaku tercela atau pandangannya yang tak sesuai dengan pandangan konstitusi. Jika ditemukan indikasi itu, sosok tersebut tak layak menjadi hakim konstitusi. Sejauh mana sosok itu menempatkan kepentingan kelompok dan golongan dibandingkan dengan kepentingan bangsa? Kondisi itu harus dilihat dalam fakta, bukan dalam retorika.
Kita menyarankan tim pakar mau membuka jalur lain untuk mencari sosok negarawan, tetapi tak mau mendaftar karena berbagai alasan, seperti merasa tak punya dukungan politik ataupun traumatis dengan model uji kelayakan dan kepatutan DPR. Hakim konstitusi adalah sosok negarawan, bukan karyawan. Kegagalan DPR mencari negarawan akan menyulitkan MK bangkit dari keterpurukan.
Sumber: Kompas cetak edisi 1 Maret 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar