Lobi dan silaturahim politik lintas partai bergulir kencang. Program dibincangkan, visi-misi disama-persepsikan agar nanti solid dalam pelaksanaannya lima tahun ke depan. Namun, coba periksa program partai politik itu, nyaris hanya menyentuh isu-isu domestik, seperti ekonomi, lapangan kerja, pendidikan, dan kesehatan.
Bisa dimengerti karena isu ini dianggap seksi untuk mendulang suara konstituen. Memang, tak ada yang salah dengan gejala ini. Hanya masalahnya kemudian adalah bagaimana menempatkan semua program domestik ini dalam bingkai hubungan ekonomi luar negeri? Galibnya penganut ekonomi terbuka, Indonesia tidak bisa menafikan tarikan arus globalisasi dalam perekonomiannya. Oleh karena itu, kebijakan domestik yang diunggulkan tersebut harus dikait-laraskan dengan politik luar negeri.
Inilah tugas berat pelaksana diplomasi dan politik luar negeri: menciptakan koneksitas antara program domestik dan politik luar negeri. Bagaimana caranya? Mari tengok program calon-calon presiden yang ada. Dengan pertimbangan idealisme dan garis politik partai atau alasan taktis untuk mendulang suara, program calon-calon presiden berorientasi kepada rakyat dan ekonomi kerakyatan.
Diplomasi kerakyatan
Untuk menjamin koneksitas antara politik luar negeri dan program pro rakyat, tak ada cara lain kecuali "membumikan" politik luar negeri agar memberikan manfaat nyata bagi rakyat. Setidaknya ada dua tataran yang dapat dijadikan basis untuk membuat politik luar negeri membumi dan bermanfaat bagi rakyat.
Pertama, tataran orientasi kebijakan. Tantangan bagi pelaku diplomasi dan politik luar negeri lima tahun ke depan adalah menerjemahkan komitmen politik yang pro rakyat tadi. Kata kunci dalam konteks ini adalah "ekonomi kerakyatan", yang per
definisi diartikan sebagai kebijakan yang berorientasi pada sebanyak-banyaknya kepentingan rakyat.
Akan tetapi, dalam banyak kasus, ekonomi kerakyatan kerap dimispersepsikan sebagai kebijakan yang tidak pro bisnis, tidak ramah terhadap modal asing, dan bahkan anti kapitalisme. Sejatinya ekonomi kerakyatan tak perlu diperlawankan dengan ekonomi kapitalis (yang dengan demikian dianggap anti modal dan tak pro bisnis) karena keduanya memang dua hal yang berbeda.
Kapitalisme adalah paham, sementara ekonomi kerakyatan adalah orientasi kebijakan. Keduanya tak perlu didikotomikan. Ekonomi kapitalis juga dapat berorientasi kerakyatan, seperti menggelontorkan modal secara masif untuk mengembangkan potensi petani dan nelayan. Industrialisasi pertanian dan perikanan adalah sedikit dari banyak contoh bagaimana modal tak memusuhi ekonomi kerakyatan dan bagaimana ekonomi kerakyatan tidak anti modal.
Bagaimana tafsir diplomasi dan politik luar negeri atas ekonomi kerakyatan? Ajaran dasar hubungan internasional mengatakan: politik luar negeri adalah cerminan politik dalam negeri. Seturut itu, politik luar negeri adalah subordinasi dari politik nasional. Jika politik nasional pro rakyat, diplomasi dan politik luar negeri juga harus berorientasi rakyat dan ekonomi kerakyatan.
Dalam bingkai pikir semacam ini tak salah jika pelaksanaan politik luar negeri harus mengedepankan diplomasi ekonomi yang memberikan manfaat langsung bagi rakyat: diplomasi ekonomi kerakyatan. Diplomasi semacam ini harus mempromosikan hubungan ekonomi perdagangan dan investasi yang menyentuh langsung potensi rakyat dan yang membuka lapangan kerja. Menarik investasi asing dan mengarahkannya untuk sektor pertanian, perikanan, peternakan, infrastruktur, industri manufaktur berbasis desa, dan menggenjot ekspor produk yang dihasilkan kalangan bawah dapat dirujuk sebagai model diplomasi ekonomi yang membumi dan memberi manfaat bagi rakyat.
Imbas kerakyatan
Kedua, pilihan isu dalam diplomasi juga dapat menentukan apakah politik luar negeri memberikan manfaat langsung bagi rakyat. Secara umum ada kesan di kalangan rakyat bawah bahwa politik luar negeri dan diplomasi itu elitis dan mendunia. Mungkin rakyat bertanya apa manfaat isu nuklir, G-20 atau perubahan iklim bagi peningkatan harkat hidup mereka. Dalam perspektif rakyat, isu itu "jauh tinggi di awan", tak tergapai. Untuk ikut terlibat di dalamnya dalam kehidupan sehari-hari, mereka pun tak mampu karena tak berpijak.
Alhasil, dalam situasi seperti ini posisi rakyat bagaikan "menggapai awan tak sampai, menginjak bumi pun tak menjejak". Di sinilah, sekali lagi, terasa ada keperluan untuk menciptakan koneksitas antara apa yang diperjuangkan diplomat dan kebutuhan rakyat. Harus diakui bahwa keterlibatan Indonesia dalam deliberasi isu-isu global dapat mendongkrak citra sebagai negara yang memikirkan kemaslahatan umat manusia.
Namun, dalam upaya membumikan diplomasi dan politik luar negeri baik, kiranya jika segala komitmen dan kepemimpinan Indonesia di forum perubahan iklim, misalnya, dapat berimbas pada kehidupan rakyat. Komitmen dan target pengurangan emisi karbon yang signifikan yang sudah dideklarasikan dapat menjadi credentials bagi Indonesia untuk mendapat dukungan internasional, baik dalam bentuk dana, teknologi, maupun peningkatan kapasitas dalam program adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim bagi petani dan nelayan. Dengan cara ini komitmen global Indonesia mampu menciptakan imbas kerakyatan bagi golongan menengah bawah.
Peran aktif di forum pembangunan sosial dunia harus berimbas pada pemberdayaan perempuan di pedesaan dan remaja putus sekolah. Kepedulian terhadap nasib TKI bermasalah di luar negeri mungkin bisa dirujuk juga sebagai pelaksanaan diplomasi dan politik luar negeri yang membumi dan berdampak langsung terhadap kepentingan rakyat kecil. Untuk menjamin agar program pro rakyat benar-benar dapat dilaksanakan dalam tataran operasional diperlukan diplomasi berjemaah yang melibatkan semua pemangku kepentingan politik luar negeri.
Darmansjah Djumala
Diplomat, Saat Ini Bertugas di Polandia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006740187
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar