Sejak merdeka, Indonesia belum pernah mencapai 30 persen representasi perempuan di parlemen. Pada Pemilu 2014, jumlah keterwakilan perempuan bahkan jeblok lagi di angka 14 persen dibandingkan dengan Pemilu 2009 yang hampir 19 persen. Padahal, sesuai dengan hasil penelitian di negara-negara seluruh dunia, 30 persen adalah angka minimal untuk dapat mengubah kebijakan hingga lebih responsif jender.
Kebijakan itu dikenal dengan affirmative action: kebijakan khusus sementara dengan kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen yang harus diproteksi. Meski kita sudah 68 tahun merdeka dan belum pernah mencapai 30 persen, kelak kebijakan bisa ditinjau ulang bila 30 persen sudah tercapai.
Hari-hari kemarin saya berkabung melihat rekan-rekan berlatar aktivis masyarakat sipil: calon anggota legislatif perempuan berkualitas berguguran. Padahal, mereka harapan besar bagi perubahan proses pembuatan legislasi yang berpihak kepada kaum rentan.
Namun, setelah melihat bahwa jumlah perempuan hasil Pemilu 2014 hanya berkisar 17,5 persen, marah sudah tak terbendung lagi. Akumulasi angka di setiap pemilu yang bahkan tidak pernah mencapai 20 persen. Ini adalah utang bangsa Indonesia kepada kaum perempuan Indonesia. Dampaknya jelas sangat besar, perempuan tak menikmati manfaat pembangunan secara maksimal. Justru kehidupannya semakin buruk setelah produk legislasi yang dihasilkan tidak responsif jender. Lebih dari 250 perda diskriminatif terhadap perempuan di seluruh Indonesia telah dihasilkan parlemen lokal.
Tidak kondusif
Situasi yang tak kondusif bagi perempuan berkiprah di dunia politik semacam di Indonesia sudah diramalkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Salah satu penelitinya, Farzana Bari, dalam risetnya, Women's Political Representation: Issues and Challenges, menggambarkan tantangan yang umumnya dihadapi perempuan ketika ingin terjun dalam dunia politik. Pertama adalah faktor ideologi (misalnya anggapan bahwa perempuan tidak cocok masuk dunia politik); kedua, faktor politik (perempuan susah masuk dalam atmosfer klub patriarkal); ketiga, faktor sosial kultural (tingkat pendidikan perempuan yang lebih rendah, atau beban domestik misalnya); keempat, tiadanya sumber ekonomi untuk modal kampanye (data seluruh dunia menunjukkan perempuan lebih miskin daripada laki-laki).
Empat faktor tersebut diyakini adalah sumber masalah minimnya tingkat partisipasi perempuan di politik. Adapun strategi yang biasanya dikembangkan untuk meningkatkan partisipasi perempuan sehingga berhasil duduk di parlemen dan kemudian menggulirkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kelompok marjinal, antara lain, adalah kuota jender. Sistem pemilu yang dibangun harus memperhatikan adanya tindakan khusus sementara minimal 30 persen yang dikawal hingga pemilu berakhir.
Dalam sistem pemilu di negara-negara lain digambarkan bahwa kursi perempuan tidak dapat diganggu gugat. Bahkan, partai politik tak bisa masuk ke parlemen jika ia tak mempunyai komposisi 30 persen perempuan untuk didudukkan di parlemen. Di negara seperti ini, kuota menjadi bagian dari ambang batas parlemen.
Dalam kasus Indonesia di Pemilu 2014, adanya 37 persen caleg perempuan dalam daftar calon tetap (DCT) ternyata tidak berbanding lurus dengan perolehan suara perempuan yang hanya 14 persen. Artinya, kuota tidak terproteksi dengan baik. KPU sebenarnya memiliki regulasi memproteksi komposisi jumlah caleg perempuan di setiap dapil dengan memberikan sanksi kepada parpol yang tak memenuhi 30 persen caleg perempuan: di dapil tersebut partai itu dicoret.
Kenyataannya, regulasi tersebut tak cukup. Seharusnya KPU memiliki regulasi lebih bahwa hasil pemilu di setiap dapil juga harus memenuhi kuota 30 persen. Caranya dengan memberikan kursi kepada caleg perempuan dengan suara terbanyak di bawah laki-laki. Cara seperti ini mungkin akan menyingkirkan caleg laki-laki dengan suara terbanyak terakhir. Akan tetapi, langkah ini terpaksa diambil jika tidak mau Indonesia disebut negara terbelakang dengan keterwakilan perempuan yang selalu rendah.
Apalagi, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan uji materi untuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur keterwakilan perempuan dalam pemilu legislatif. Dalam putusannya, tersirat MK memprioritaskan keterwakilan perempuan dalam pemilu legislatif. Pasal 215 yang berbunyi "mempertimbangkan" dimaknai jadi mengutamakan keterwakilan perempuan. Meski putusan ini baru diberlakukan pada Pemilu 2019, KPU harus cukup percaya diri menerapkan ini pada pemilu sekarang.
Dua cara di atas adalah contoh proteksi yang bisa dilakukan negara kita dengan berlandaskan pada spirit akan pentingnya tindakan khusus sementara. Soalnya, angka 14 persen adalah kemunduran bagi bangsa Indonesia. Kita seharusnya malu kepada negara yang baru merdeka seperti Timor Leste yang tingkat keterwakilan perempuannya sudah hampir 40 persen. Jaminan kuota itu ada dalam Magna Charta yang tak bisa diganggu gugat laki-laki.
Intervensi program agar semua bisa berjalan adalah keharusan. Perempuan memang tidak bisa dibiarkan terjun bebas seorang diri. Ia harus diproteksi. Tanpa itu, sampai dengan kiamat, Indonesia tak akan pernah mencapai keterwakilan 30 persen. Jika memang sudah ada intervensi program tetapi kemudian upaya afirmasi masih tetap gagal, ini perlu segera dievaluasi. Yang jelas, sistem pemilu yang berjalan saat ini tak mungkin tetap dipertahankan.
Harus ada terobosan baru menjawab semua tantangan di atas. Perempuan Indonesia harus merebut kembali kursi mereka yang hilang di parlemen, sekarang atau tidak sama sekali. Kursi itu adalah suara dan aspirasi kaum yang selama ini terlupakan.
Adriana Venny
Doktor Filsafat UI dan Pendiri Lembaga Partisipasi Perempuan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006784154
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar