Secara etik, kampanye hitam dan negatif menjelang Pemilu Presiden 2014 tidak dapat dibenarkan. Lebih-lebih karena kampanye hitam merupakan fitnah sebab tidak didasarkan pada fakta, tetapi kepalsuan dan kebohongan. Tidak kalah memprihatinkan kampanye negatif yang mengacu pada fakta, tetapi dengan sengaja dilepaskan dari pemaknaan dalam konteksnya. Bukan kebenaran yang dicari, melainkan semangat melecehkan.
Tidak jelas siapa yang memulai, kampanye hitam dan negatif begitu marak, saling sahut-sahutan dalam ruang publik dengan menggunakan media. Amplifikasinya berlipat-lipat oleh penggunaan multimedia, termasuk media sosial. Kegaduhannya luar biasa, benar-benar mengusik upaya mencari kebenaran dan kebaikan bersama.
Realitas ini sungguh ironis karena masa kampanye seharusnya menjadi momentum penting untuk membahas secara kritis tentang visi, misi, dan program kerja para calon presiden-calon wakil presiden. Begitu kuatnya kecenderungan melakukan kampanye hitam dan negatif sampai-sampai narasi tentang cita-cita besar soal pembangunan bangsa seperti tenggelam.
Praktis tidak mencolok perdebatan kritis tentang visi, misi, dan program kerja pasangan calon presiden-calon wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Hanya sayup-sayup terdengar suara kaum cerdik cendekia tentang cita-cita dan perjuangan Indonesia lebih baik. Tidak sedikit cerdik cendekia terlibat dalam kampanye hitam dan negatif yang sungguh bertolak belakang dengan upaya mendirikan budaya unggul.
Dampak kampanye hitam dan negatif tidak hanya merugikan para pasangan calon, tetapi juga menyesatkan masyarakat. Suka atau tidak, kampanye hitam dan negatif yang melecehkan akal sehat sangatlah sensitif dan berpotensi menimbulkan ketegangan. Tidak mengherankan, berbagai kalangan sudah mengingatkan bahaya ketegangan, yang dapat saja memuncak menjadi kekerasan, jika kampanye hitam dan negatif tidak segera dihentikan.
Berbagai bentuk kampanye hitam dan negatif tidak hanya menyesatkan dan menjauhi prinsip kebenaran dan kebaikan, tetapi juga bertentangan dengan makna perdamaian yang hendak diperjuangkan dalam pemilihan presiden yang demokratis. Jika pemilihan presiden-wapres dilakukan dalam ketegangan dan kekerasan, Indonesia akan melangkah surut sebagai bangsa berbudaya.
Pemilihan presiden bagaimanapun merupakan pertarungan bermartabat, bukanlah perang, karena tidak ada yang dipersepsikan sebagai musuh yang harus dikalahkan untuk dihancurkan. Siapa pun yang menang dalam pemilihan presiden-wapres 2014 memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan, mendorong Indonesia lebih maju dan terbang lebih tinggi.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006925604
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar