Dalam Twitter, Facebook, berita online, diskusi nirelektronik (ceramah, kegiatan sosial, diskusi kelompok, dan media cetak), makin tajam serangan antarkubu, seperti isu praktik ibadah seorang capres, kepribadian, kehidupan pribadi, bahkan identitas etnis dijadikan bahan menjatuhkan reputasi lawan. Di media kemudian ramai dibicarakan cara menyikapi kampanye negatif. Dalam ruang demokrasi, kampanye negatif perlu dipahami secara proporsional. John Geer (2006) mengatakan, kampanye negatif adalah segala bentuk kritik yang dilancarkan seorang kandidat terhadap lawannya dalam kampanye.
Disebut negatif karena itu dilakukan dalam upaya meningkatkan keraguan tentang lawan, bukan menunjukkan mengapa seorang kandidat layak dipilih. Wujudnya serangan terhadap individu, iklan yang tak adil, iklan yang kasar dan tak pantas, mendiskreditkan seseorang, membuat perbandingan atau membicarakan lawan dengan mengkritik visi dan misinya, pencapaian, kualifikasi, dan lain-lain.
Kotor jangan hitam
Dalam literatur studi ilmu politik, ada yang membedakan kampanye negatif dengan taktik kotor alias kecurangan (David Mark 2009). Contoh kecurangan adalah fitnah dan tipu daya, misalnya skandal Watergate di AS pada 1974, ketika terungkap sebuah unit dalam tim kampanye capres Nixon bertugas menyiarkan kabar bohong serta menyadap dan melakukan operasi intelijen untuk menghancurkan karakter pesaingnya dalam pilpres 1972.
Di Indonesia, mungkin ini setara kampanye hitam meski dalam keilmuan istilah itu banyak dipersoalkan karena mengandung makna kolonial yang prejudis dan menggambarkan dominasi kuasa. Penggunaan kata hitam juga dipersoalkan karena selama ini cenderung diasosiasikan sebagai sesuatu yang buruk (contoh: black magic, black list, black market, dan seterusnya). Komunitas kulit hitam berusaha mendekonstruksi label macam itu. Lebih cocok jika kita menggunakan istilah kampanye kotor untuk merujuk pada praktik yang melanggar hukum dan tidak etis.
Kenyataannya kampanye negatif lebih mudah dikritik daripada dihindari. Jika disinyalir ada pencemaran nama baik atau fitnah, pengadilan yang akan menentukan kebenaran tudingan itu. Pemilu dapat berlalu dulu sampai kemudian ada bukti-bukti yang menguatkan adanya penggunaan taktik kotor. Artinya, sebagai pemilih kita dituntut cerdas membaca situasi dan para pengamat lebih jeli dalam melontarkan komentar dan saran.
Kampanye negatif bisa dilakukan kubu mana pun. Menurut David Damore (2002), ada empat variabel menentukan mengapa suatu kubu memilih melakukan kampanye negatif. Pertama, jarak waktu menuju pilpres. Semakin dekat menuju pilpres, semakin masyarakat akan dibanjiri kampanye negatif karena pada masa-masa itulah kampanye positif mencapai titik jenuh dan pemilih butuh pembedaan konkret antarcalon. Kedua, perilaku lawan di masa sebelumnya. Semakin seorang calon disudutkan di masa awal kampanye, semakin gigih pula ia akan membalas dengan mendiskreditkan lawan. Ketiga, posisi elektabilitas dalam jajak pendapat. Lebih mudah bagi calon yang merasa tertinggal untuk menegasikan prestasi lawan daripada mengangkat isu tertentu yang belum tentu disambut baik pemilih.
Keempat, karakter isu yang dianggap menonjol dan ampuh menggalang dukungan dalam pemilu. Sering kali isu itu adalah isu yang memecah belah kelompok karena pembedaan macam itu pula yang akhirnya membantu melahirkan karakter aliran pendukung bagi parpol-parpol.
Dari empat variabel tadi, kemungkinan pemilih Indonesia dibanjiri kampanye negatif memang tinggi. Dari segi waktu kampanye, durasi kampanye pilpres yang resmi terbilang sangat singkat hanya sekitar 39 hari. Di AS, masa kampanye pilpres resmi dimulai saat primary (pemilu awal) dan makin gencar saat konvensi partai digelar, artinya ada 9-11 bulan. Pada masa-masa itulah keasyikan pemilih membandingkan capres dan cawapres dipupuk. Sekitar sebulan sebelum pilpres, nyaris tak ada lagi diskusi yang produktif di televisi, radio, ataupun jejaring sosial. Yang terjadi saling tuding, saling cerca, serta dengan istilah dan gambar-gambar vulgar bahkan kejam. Sudah beberapa kali pilpres saya lalui di AS dan rata-rata orang memilih tidak menonton televisi dan tidak berdiskusi politik menjelang pilpres karena muak. Bedanya, di Indonesia para pemilih nyaris tak punya pilihan lain karena waktu kampanye telanjur sangat pendek.
Selain itu, demokrasi butuh kedewasaan dalam menanggapi, berpikir, dan bertindak dari para pemilih karena pada akhirnya karakter parpol hanya dapat terbentuk ketika menghadapi isu-isu yang berpotensi memecah keutuhan bangsa. Perpecahan politik sempat memunculkan konflik berdarah di sejumlah negara demokrasi di Eropa dan AS terkait agama, ras, kelompok kaya dan kaum pekerja, kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Hal ini perlu diantisipasi di Indonesia. Yang paling perlu diwaspadai saat ini adalah isu SARA karena parpol di Indonesia "terbelah" secara horizontal dalam politik aliran yang basisnya kaum sekuler/nasionalis versus kaum religius/agamis. Berbeda dengan parpol di Eropa dan AS yang umumnya terbagi dalam garis ideologis yang vertikal antara yang liberal-market dan regulated-market, liberal dan sosialis, kanan dan kiri. Pengalaman berdarah dari demokrasi yang usianya sudah ratusan tahun hendaknya menjadi pelajaran untuk menyikapi masa-masa ini dengan lebih bijak.
Dengan kadar isu yang amat sensitif dalam pemilu kali ini, pertama, aparat keamanan dan intelijen disiagakan mencegah benturan fisik antarkelompok dan menindak tegas kelompok-kelompok yang meresahkan masyarakat karena ancaman ataupun aksi fisik.
Kedua, kampanye negatif dapat digunakan sebagai kampanye positif untuk beberapa isu, misalnya tema pelanggaran HAM. Lembaga-lembaga HAM atau Komisi Nasional HAM dapat mengusulkan kepada pasangan capres-cawapres sebuah peta jalan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Kita lihat setiap kubu mengantongi dukungan dari tokoh HAM dan anti korupsi yang dapat berbicara dengan bahasa yang sama. Dengan demikian, kita juga mengurangi bahaya kampanye negatif yang umumnya membuat banyak orang menjadi golput karena pesimistis dan sinis dengan proses pemilu yang berlangsung.
Ketiga, perlu dibangun wacana perpanjangan masa kampanye agar setiap capres dapat melakukan kampanye positif dengan mempertajam aspek positif visi misi mereka. Masyarakat, khususnya yang belum memutuskan memilih siapa, dapat mencerna rencana-rencana positif setiap kandidat sehingga ketika kampanye negatif terjadi mereka dapat memiliki pertimbangan lebih baik dan rasional. Indonesia harus bisa melalui tantangan demokrasi ini dengan baik demi mencapai praktik demokrasi yang substansial dan bermutu.
Dinna Wisnu
Co-founder dan Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006979962
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar