Namun, berita Kompas: "Kemajemukan Terusik, Sekelompok Orang Serang Acara Doa Bersama di Sleman" (31/5/2014, hal 15) harus diterima sekaligus menyadarkan bahwa ini mencerminkan kondisi bersama yang memprihatinkan. Dengan membiarkan berlarut-larut bukan mustahil Indonesia akan punya sejenis Boko Haram nantinya.
Sekelompok orang menyerbu, merusak rumah, dan menganiaya hanya karena ada acara berdoa dan latihan paduan suara Kristiani. Secara demonstratif, pelaku mengenakan pakaian yang secara stereotip menggambarkan kelompok Islam. Kekerasan dalam interaksi antarumat beragama ternyata tak surut meski kalangan Islam yang mendukung kemajukan berbangsa tak henti menyerukan perlunya saling menghargai. Polisi memang bergerak cepat, tetapi ada yang perlu dicatat dari berita Kompas:
"Kepala Polda DIY Brigadir Jenderal (Pol) Haka Astana mengatakan, polisi sudah menangkap satu orang berinisial Kh yang diduga terlibat penyerangan. Kh ditangkap di rumahnya yang tak jauh dari lokasi kejadian.
Haka menambahkan, pihaknya belum bisa menyimpulkan motif penyerangan. Namun, dia menjamin warga tak perlu takut menjalankan kegiatan yang tak bertentangan dengan aturan. 'Namun, kami berharap, jika ada kegiatan bersama-sama, mohon polisi diberi tahu,' kata dia".
Pernyataan "jika ada kegiatan bersama-sama, mohon polisi diberi tahu", tidak pelak menimbulkan kesan tentang pendekatan menghadapi keamanan warga. Ini paralel dengan sikap polisi jika ada perampokan nasabah bank. Seolah kesalahan pada korban karena "...kalau mengambil uang di bank dalam jumlah besar, minta pengawalan polisi untuk pengamanan".
Pengamanan, keamanan
Bayangkan jika setiap pengajian agama dalam komunitas harus memberi tahu polisi, apakah polisi akan mengawalnya? Berapa banyak polisi yang harus menunggui mengingat banyaknya majelis taklim, persekutuan doa, atau ibadah bersama oleh penganut agama-agama yang ada di Indonesia. Begitu juga dengan pengambilan uang di bank. Bukan soal jumlah besar atau kecil perlu pengamanan. Uang Rp 5 juta sangat berharga bagi nasabah kecil. Jika dana miliaran dirampok, mungkin tidak jadi soal bagi korporasi yang mengasuransikan setiap asetnya. Karena itu, bukan pengawalan spesifik orang per orang yang diperlukan karena pastilah yang kaya akan mendapat prioritas.
Jika pengamanan yang diperlukan, setiap orang akan membentuk dan membiayai pengawal pribadi. Kelompok agama akan punya pasukan sendiri. Korporasi harus menyewa satuan pengamanan terlatih. Ini semua mencerminkan hilangnya kepercayaan kepada negara, khususnya kepada aparatur untuk fungsi keamanan. Di Youtube ada klip Presiden Obama berjalan kaki menyapa orang di jalanan (http://www.youtube.com/watch?v=gZR1CvSQntE). Di situ terlihat pengamanan yang tak mencolok, tak ada aparat berpakaian seragam, tidak ada serdadu yang menyingkirkan warga yang dilewati. Jika memang ada keamanan, buat apa pengamanan spesifik yang berlebihan?
Keamanan di ruang publik (public-sphere) dalam parameter birokratis adalah dari statistik penangkapan pelanggar hukum. Namun, bagi warga, yang lebih penting rasa aman. Bagaimana disebut ada keamanan jika saat sekadar berdoa bersama merasa waswas, khawatir akan diserbu.
Pendekatan operasionalisme (Peursen, CA van, 1976, Strategi Kebudayaan, BPK Gunung Mulia -Penerbit Yayasan Kanisius, Jakarta-Yogyakarta) kiranya perlu tetap dirujuk guna menghindari pendekatan jangka pendek dalam kubangan struktur institusi sendiri. Banyak hal harus disesali ketika setting zaman dan eksistensi diri berubah. Seorang prajurit merasa sukses dalam struktur kerjanya saat dapat mematikan musuh, bahkan membuat satu kampung tak hancur. Namun, saat keberadaan diri akan jadi negarawan, ketegasan saat berperang digugat sebagai kekejaman. Cara pandang hanya dalam lingkup kerja struktural dapat mengabaikan kepentingan mendasar warga yang harus dilayani.
Kemajemukan yang terusik
Dengan pendekatan pengamanan, kemajemukan niscaya tak bermakna apalagi jika disebut (sekadar terusik). Persoalan mendasar adalah pembiaran terhadap tindakan kekerasan dalam kehidupan publik. Ruang publik merupakan zona yang memerlukan keamanan berdasarkan rasionalitas. Warga tak perlu pengamanan fisik satu per satu pribadi atau kelompok manakala ruang publik merupakan zona aman. Peristiwa terakhir di Yogyakarta yang berada di daerah istimewa merupakan tonjokan telak bagi publik Yogyakarta. Bagaimana mungkin di wilayah ini tindak kekerasan terjadi? Bahkan, beberapa waktu lalu terpajang dengan masif ucapan terima kasih kepada tentara yang membunuh warga sipil.
Betapapun warga yang dibunuh itu preman, gali, bromocorah, atau apa pun sebutannya tak ada rasionalitas bagi tindakan pembunuhan. Hukuman mati lewat pengadilan pun perlu proses pengujian (dengan rasionalitas) bertingkat, tidak dengan kemarahan atau kebencian. Akar sikap anti kekerasan adalah rasionalitas dalam melihat kenyataan diperlukan dalam seluruh aspek kehidupan bersama di ruang publik. Nah, wong Yogya boleh menatap dirinya sendiri.
ASHADI SIREGAR
Peneliti Media; Pengajar Jurnalisme di LP3Y, Yogyakarta
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007001464
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar