Namun, tradisi dan ritual keagamaan yang berbeda sering dianggap menyimpang oleh sebagian masyarakat. Apalagi, ada pihak yang belakangan gencar me- ngampanyekan pemurnian agama, bahkan menebarkan ancaman bagi kelompok lain.
Hal itu bertolak belakang dengan fakta bahwa bangsa Indonesia beragam suku, bahasa, dan agama sesuai dengan semboyan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika, semboyan seorang Buddha dari Kerajaan Majapahit, Empu Tantular. Tujuannya waktu itu agar pengikut Hindu-Buddha akur dan hidup harmonis.
Ironisnya, fanatisme terhadap golongan membuat mereka buta tentang arti menghargai perbedaan. Tudingan sesat menyesatkan antar-golongan dan menganggap paling benar aliran yang dianutnya, bahkan sampai membakar tempat peribadatan agama lain yang menurutnya sesat.
Segala bentuk tindak kekerasan dalam beragama dan bernegara seperti ini jelas tidak sesuai dengan yang telah dirumuskan para tokoh nasional dalam perumusan asas dasar negara Indonesia. Para tokoh perumusan asas dasar negara di antaranya (1) Soekarno dengan pemikirannya terkait landasan dasar negara tentang kebangsaan, perikemanusiaan, demokrasi, dan kesejahteraan sosial; (2) Moh Yamin dengan pemikiran perikebangsaan, perikemanusiaan, periketuhanan, perikerakyatan, dan kesejahteraan rakyat; dan (3) Supomo dengan pemikirannya tentang persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir batin, musyawarah, dan keadilan sosial.
Dari yang sudah dirumuskan itu, kemudian terbentuklah Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Tampak jelas bahwa asas dasar negara tidak berlandaskan atas keberpihakan kepada satu golongan, melainkan atas dasar keragaman budaya bangsa. Dengan keberbedaan ini, Indonesia diharapkan mampu menjadi bangsa yang mau menghormati dan menghargai perbedaan serta menumbuhkan sikap peduli terhadap sesama.
Kearifan sosial-agama semacam ini layak jadi pijakan bangsa dalam memupuk persatuan dan kesatuan antaretnis maupun agama seiring dengan munculnya tekanan Islam pada ideologi religio-politik yang menekankan penerapan syariah secara kafah dan khilafah Islamiyah. Penjajahan kultur sering memicu konflik horizontal, penindasan jender, dan tidak adanya sentuhan keserasian serta keselarasan sebagai sesama manusia.
Kehidupan sosial masyarakat yang semakin terdistorsi arus kepentingan berbagai kelompok, serta munculnya isu pemaksaan sistem monokulturalitas, jelas bertentangan dengan kaidah bangsa yang kaya dengan ragam budaya. Karena itu, diperlukan orientasi baru tentang toleransi berbasis pluralitas dan multikulturalitas sebagai upaya menjaga keutuhan bangsa di tengah perbedaan yang semakin kompleks.
Pengaruh Hindu-Buddha
Kehidupan religius masyarakat di Indonesia, khususnya Jawa, sebelum kedatangan Islam bercorak animisme dan dinamisme. Setelah ajaran Hindu-Buddha masuk di tanah Jawa, mereka lebih terbuka menerima agama apa pun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik. Lama-kelamaan kepercayaan animisme dan dinamisme serta budaya Hindu-Buddha terkikis. Mulailah dikenal agama Islam setelah wali sanga datang di tanah Jawa. Mereka kagum dengan nilai-nilai Islam yang begitu besar manfaatnya dalam hidup sehari-hari. Mereka langsung bisa menerimanya dan Islam berkembang pesat sampai saat ini.
Toleransi ajaran wali sanga dapat dilihat dari kesenian wayang. Pengalihan fungsi unsur keagamaan Hindu-Buddha sebagai media dakwah melalui kesenian wayang dirasa efektif dalam penyebaran agama Islam tanpa harus menghilangkan tradisi yang sudah ada. Begitu juga dari segi arsitektur, percampuran budaya terlihat dari bangunan masjid kuno yang menggunakan gapura (budaya Hindu) sebagai pintu masuk serta adanya menara sebagai tempat pemujaan kepada dewa mereka. Ini kemudian dialihfungsikan sebagai media (mengumandangkan azan) mengajak masyarakat berbondong-bondong meramaikan masjid. Bangsa Indonesia tak bisa lepas dari multikulturalisme.
Sebagai contoh, dengan kecerdasan dan kelembutan hati Sunan Kalijaga, ia mampu menciptakan kesenian bersuasana Hindu-Buddha sebagai bentuk toleransi kepada masyarakat waktu itu. Kesenian merupakan sarana efektif dan sangat toleran dalam menyampaikan ajaran Islam terhadap budaya lokal. Sunan Kalijaga berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Masyarakat harus didekati secara bertahap dengan mengikuti sambil memengaruhi masyarakat setempat tanpa harus menghilangkan unsur tradisi dan budaya yang sudah mereka anut.
Tak heran, yang sudah diajarkan Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (perpaduan) dalam mengenalkan Islam. Sunan Kalijaga juga menggubah lagu "Ilir-ilir" sebagai sarana dakwah yang efektif dan mudah diterima masyarakat. Lagu itu mengandung pesan atau makna tentang asal-usul dan tujuan hidup manusia, memberi rasa optimistis kepada orang yang melakukan amal kebaikan demi hari akhir karena kesempatan di dunia harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan.
Lagu "Ilir-ilir" merupakan lagu berbasis geopolitik waktu itu sehingga sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga, di antaranya adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, dan Pajang.
Betapa besar kebijaksanaan dan toleransi antaragama yang ditanamkan para wali sanga dan bukti proses islamisasi bukanlah dengan jalan kekerasan, tetapi dengan kelembutan yang ditawarkan. Islam bisa jadi agama yang berkembang seperti sekarang ini. Ini seharusnya menyadarkan kita bahwa saat menye- barkan ajaran Islam bukan sikap radikal yang ditampakkan hingga menghilangkan substansi Islam yang toleran, melainkan dengan sifat terbuka terhadap budaya yang masuk, melestarikan budaya yang sudah ada, dan implementasi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Bangsa ini harus berani mengambil sikap tegas terhadap isu SARA, membuka wawasan dan memaknai kehidupan sosial yang lebih terbuka, serta bijaksana memahami segala bentuk keragaman budaya sebagai langkah awal membina persatuan dan kesatuan bangsa.
Ulil Absor
Peneliti Moderate Muslim Society (MMS)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar