Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 06 Juni 2014

TAJUK RENCANA Infrastruktur Ibu Kota Negara (Kompas)

POTENSI kegagalan proyek pembangunan mass rapid transit (sarana transportasi massal cepat/MRT) Pemprov DKI Jakarta kita nilai serius.
Selain MRT yang berurusan dengan sarana transportasi, untuk mengembangkan Kota Jakarta ke depan sebagai megapolitan, perlu dipersiapkan secara konseptual dan terealisasi, termasuk kesiapan infrastruktur lainnya.

Ironis ketika penyebab keterlambatan sarana MRT di Lebak Bulus, Jakarta, adalah pemerintah pusat. Apalagi selain Lebak Bulus, lima megaproyek DKI lain juga tersendat karena keterlambatan kebijakan pemerintah pusat. Padahal, semua merupakan infrastruktur dan sarana membenahi Jakarta, ibu kota provinsi sekaligus ibu kota negara.

Keterlambatan pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi MRT di antaranya terkendala belum terbebasnya lahan di sejumlah area penting. Selain menyangkut harga dan lemahnya pengawasan, yang barangkali perlu negosiasi lebih alot, berbeda dengan kendala kelambanan oleh pemerintah pusat.

Tersendat keluarnya keputusan pusat seharusnya lebih mudah dibereskan dibandingkan kendala lain. Dibutuhkan satu tone (nada) yang sama antara kepentingan pusat dan Jakarta. Rumitnya proses administratif mencerminkan belum adanya kesamaan nada soal Kota Jakarta.

Gagasan Jakarta dipimpin pejabat setingkat menteri, lebih tinggi daripada gubernur, memperoleh momentum baru saat ini. Dengan itu tidak perlu tersendat dan berlarut-larut proyek-proyek besar dan strategis terkendala oleh pusat.

Berbagai terobosan dilakukan, antara lain Pemprov DKI menjalin kerja sama dengan kementerian dan gubernur tetangga. Hasilnya tidak akan maksimal dan cepat, berbeda kalau kepemimpinan Kota Jakarta ada di satu tangan seorang menteri.

Gagasan itu mendesak dikaji kembali. Dengan penambahan jumlah kendaraan, per 2013 mencapai 16 juta unit, dengan keluasan lahan yang tetap, dengan urbanisasi dan pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali, Jakarta semakin keberatan beban.

Ketika gagasan tak berlanjut, termasuk memindahkan ibu kota negara ke wilayah lain, beban itu terus mengimpit sampai pada gilirannya Jakarta mandek. Armageddon, kiasan kehancuran Jakarta, tinggal tunggu waktu.

Mengubah undang-undang, Jakarta dipimpin seorang menteri, butuh proses pembahasan panjang. Apalagi perhatian terfokus pada masalah politik, padahal keenam megaproyek Pemprov DKI tak bisa ditunda-tunda. Butuh program darurat.

Kepada tiga kementerian terkait enam megaproyek, perlu didesakkan perhatian ekstra. Perlu kesamaan nada bahwa Jakarta dan masa depannya harus diselamatkan, antara lain ketersediaan infrastruktur dan sarana sebuah megapolitan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007040697
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger