Dua pertanyaan segera mengemuka. Pertama, kalau sudah merasa tidak ada korupsi di tubuh TNI, seperti yang diklaim sendiri oleh Panglima TNI, mengapa repot-repot ikut deklarasi dan penandatanganan zona integritas (ZI) dan zona wilayah bebas korupsi (WBK)?
Kedua, deklarasi dan penandatanganan ZI dan WBK ini seriuskah atau sekadar formalitas memenuhi latah? Pertanyaan kedua dipicu oleh pengalaman, ada banyak deklarasi (internasional dan nasional) yang kemudian mangkrak dan hanya menghasilkan bangkai deklarasi. Artinya, deklarasi itu tak diikuti aksi lanjutan sehingga tidak implementatif, apalagi menghasilkan dampak positif.
Prevalensi korupsi di tubuh TNI
Betulkah tak ada korupsi di tubuh TNI? Kalau melihat data prevalensi korupsi di tubuh TNI mungkin benar. Dalam 10 tahun terakhir hanya ada satu kasus korupsi yang mengemuka dan menjadi perhatian publik. Bandingkan, misalnya, dengan kasus korupsi yang terjadi di tubuh dan melibatkan anggota parlemen, kejaksaan, kehakiman, kepolisian, kementerian, dan lain-lain. Ada satu kasus korupsi di tubuh TNI yang menyedot perhatian publik, yaitu kasus korupsi yang melibatkan Djaja Suparman. Kasus ini diselesaikan dengan baik oleh oditur dan mahkamah militer. Djaja terbukti bersalah melepas aset TNI berupa lahan untuk kepentingan pribadi. Ia kemudian divonis empat tahun penjara.
Penyelesaian kasus ini memberikan kesan kepada publik bahwa TNI tidak melakukan pembiaran terhadap kasus korupsi yang terjadi dalam organisasinya. TNI justru proaktif menyelesaikan kasus ini secara hukum. Sekalipun begitu, langkah proaktif ini tidak membungkam kepenasaran: apakah memang ini satu-satunya kasus korupsi yang terjadi di tubuh TNI? Mengapa hanya kasus Djaja yang diperkarakan? Mungkin ia jalan sendirian. Kalau korupsinya terstruktur, sistemik, dan masif, bisa jadi ceritanya akan lain.
Kalau prevalensi korupsinya rendah, lalu apa yang menggerakkan Panglima TNI mengembangkan ZI dan WBK di tubuh TNI? Besar kemungkinan Moeldoko terpengaruh oleh laporan hasil studi Transparency International (TI) tentang indeks korupsi militer yang dirilis Januari 2013 di Taiwan. Studi ini merupakan bagian dari kerja-kerja TI dan organisasi anti korupsi lainnya dalam mengadvokasikan terbentuknya rezim internasional baru, yaitu institusi militer, industri dan perdagangan senjata yang bersih dan bebas dari korupsi.
Studi ini membagi risiko korupsi ke dalam enam kategori: sangat rendah (Band A), rendah (Band B), moderat (Band C), tinggi (Band D), sangat tinggi (Band E), dan kritis (Band F). Risiko korupsi yang dianalisis mencakup lima jenis, yaitu risiko politik, risiko keuangan, risiko personalia, risiko operasional, serta risiko pengadaan barang dan jasa. Unit analisisnya negara. Ada 82 negara yang disurvei. Belanja militer di 82 negara tersebut sekitar 84 persen dari total belanja militer dunia senilai 1,87 triliun dollar AS.
Menurut hasil studi tersebut, risiko korupsi di tubuh TNI tergolong sangat tinggi (Band E). Dari sisi peringkat, risiko korupsi militer kita pun masuk kategori (E), kedua terbawah. Risiko korupsi militer kita sekelas dengan Afganistan, Bahrain, Pantai Gading, Iran, Irak, Maroko, Nigeria, Oman, Filipina, Qatar, Arab Saudi, Sri Lanka, Tunisia, Uganda, Uzbekistan, Venezuela, dan Zimbabwe. Malaysia dan Singapura risiko korupsinya setingkat lebih baik daripada Indonesia (Band D). Australia dan Jerman paling baik, risiko korupsinya sangat rendah (Band A). Kasus korupsi yang melibatkan Djaja Suparman mengonfirmasi hasil studi ini bahwa memang risiko korupsi di tubuh TNI itu ada dan manifes.
Risiko korupsi di tubuh TNI berpotensi melemahkan kemampuan TNI menjaga kedaulatan nasional, keamanan negara dan warga negara. Karena itu, upaya mengelola risiko korupsi di tubuh TNI—dengan membentuk ZI dan BWK—bukan semata-mata mencegah kebocoran dan inefisiensi sumber daya manusia dan anggaran, melainkan juga harus dilihat sebagai upaya membangun kesejahteraan tentara, meningkatkan kedaulatan negara dan keamanan warga. Selain itu, bisa dilihat juga sebagai upaya membangun keperkasaan dan kedigdayaan militer kita. Senang dan membanggakan juga kalau militer kita lebih superior dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, atau Australia, misalnya. Dalam konteks inilah inisiatif Panglima TNI membangun ZI dan BWK menemukan momentumnya.
Meraih dua indikator
Kita tak bisa mengetahui sekarang apakah deklarasi itu serius atau sekadar latah. Kita harus sabar menunggu dan melihat langkah-langkah strategis apa yang kemudian akan diambil Panglima TNI. Kalau melihat beleid-nya, yaitu Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 20/2012 tentang Pedoman Pembentukan Zona Integritas dan Zona Bebas Korupsi, langkah substansial berikutnya yang harus diambil adalah bagaimana memenuhi indikator mutlak dan indikator operasional sehingga TNI layak menyandang predikat sebagai zona berintegritas dan bebas korupsi.
Indikator mutlak adalah persyaratan minimum yang harus dipunyai, yaitu nilai minimum indeks integritas, nilai kepuasan minimum konsumen/pengguna/masyarakat, jumlah maksimum temuan ketidakefektifan, jumlah maksimum temuan inefisiensi, jumlah staf yang mendapatkan hukuman indisipliner karena penyalahgunaan wewenang dalam manajemen keuangan, persentase maksimum komplain masyarakat yang tidak terselesaikan, dan persentase maksimum staf yang terbukti bersalah melakukan korupsi.
Selain memenuhi indikator mutlak, TNI juga harus bisa memenuhi indikator operasional yang terdiri dari indikator utama dan indikator pendukung. Indikator utama berbobot 60 persen, terdiri dari penandatanganan dokumen pakta integritas, laporan kekayaan pejabat negara, akuntabilitas kinerja, laporan keuangan, kode etik, whistle blower system, program pengendalian gratifikasi, penanganan konflik kepentingan, inisiatif program anti korupsi, kebijakan purnakarya, dan laporan transaksi keuangan yang mencurigakan. Adapun yang masuk kategori indikator pendukung adalah transparansi promosi jabatan, transparansi perekrutan pegawai, mekanisme penanganan keluhan publik, e-procurement, pengukuran kinerja individual, dan akses publik pada informasi. KPK, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, BPK, dan Ombudsman adalah instrumental , baik dalam pemberian bantuan teknis maupun pengawasan pencapaian semua indikator itu. Itulah mengapa mereka hadir dan ikut serta dalam acara deklarasi dan penandatanganan dokumen fakta integritas yang dilakukan Panglima TNI.
Jelaslah, ke depan, kerja-kerja Menteri Pertahanan, Panglima TNI dan jajarannya dalam memenuhi semua indikator tersebut sangat berat dan menantang. Sulit memang, tetapi bukan berarti tidak bisa. Akan tetapi, kalau TNI serius, semua indikator itu bisa sukses diraih. Lebih jauh tentu ini akan mentransformasikan postur pengelolaan TNI menjadi lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel. Kasus korupsi yang melibatkan Djaja Suparman sebenarnya tidak perlu terjadi kalau TNI sudah memiliki tata kelola aset yang transparan dan akuntabel. Demikian juga dugaan keterlibatan oknum TNI dalam membeking kejahatan dan korupsi sumber daya alam, khususnya pertambangan dan perdagangan kayu ilegal, tidak akan muncul kalau TNI lebih transparan.
Bangun kontrol politik dan publik
Membentuk ZI dan BWK memang harus kalau TNI ingin berwujud menjadi institusi yang bersih dan bebas dari korupsi. Namun, itu tidak cukup. Sebenarnya zonasi kawasan berintegritas dan kawasan bebas korupsi itu satu pendekatan partikular. Kita tak mungkin mencegah dan memberantas korupsi secara menyeluruh dan sekaligus karena itulah zonasi dilakukan. Upaya mencegah dan memberantas korupsi dimulai dari zona-zona kecil. Kalau zona-zona kecil berintegritas dan bebas korupsi tersebut sukses terbentuk, diharapkan ada efek menular sehingga zona-zona lain dalam satu institusi juga berintegritas dan bebas dari korupsi.
Karena itulah upaya pembentukan ZI dan WBK harus dibarengi upaya lain. Pertama, meningkatkan kemampuan
parlemen melakukan kontrol politik terhadap kebijakan, perilaku, tata kelola, dan anggaran TNI. Sebab, tingginya risiko korupsi di institusi militer terkait dengan lemahnya kontrol politik dari parlemen. DPR baru hasil Pemilu Legislatif 2014 harus mengambil langkah untuk memperkuat kontrol politik ini. Kalau DPR baru nanti sukses melakukan peran dan fungsi ini, itu pertanda membaiknya supremasi sipil dalam lanskap sistem demokrasi kita.
Kedua, tingginya risiko korupsi di tubuh TNI juga terkait dengan masih lemahnya kontrol publik. Di sinilah kita merasakan pentingnya memperbaiki dan memperkuat efektivitas kontrol publik. Meningkatkan keterlibatan dan kemampuan organisasi masyarakat sipil seperti LSM, media massa, atau organisasi profesi dalam memantau kebijakan dan tata kelola TNI menjadi penting. Termasuk di antaranya adalah memantau dan menagih implementasi pembentukan ZI dan WBK yang baru dideklarasikan dan ditandatangani Panglima TNI. Mangkrak-nya berbagai deklarasi ditengarai akibat absennya pemantau dan penagih dari kalangan organisasi masyarakat sipil.
Kalau ZI dan WBK sukses terbentuk, kontrol politik dari parlemen plus kontrol publik kuat dan efektif, kita patut optimistis akan mendapati TNI yang bersih dan bebas dari korupsi. Dengan demikian, optimalisasi keamanan warga, kesejahteraan prajurit, efisiensi dan efektivitas anggaran , serta kedaulatan negara akan relatif terjamin.
Dedi Haryadi
Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008448463
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar