Mulai dari vandalisme yang diduga dilakukan orang Indonesia di Gunung Fuji, Jepang; dukungan beberapa orang Indonesia untuk teroris NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah/ISIS); sampai perbincangan tentang larangan menggunakan atribut keagamaan pada sekolah di Bali.
Mungkin dengan nada sinis kita bisa mengatakan vandalisme di Gunung Fuji belum ada apa-apanya dibandingkan dengan gunung-gunung di Indonesia. Padahal, para pendaki di Indonesia berpandangan, gunung yang mereka daki adalah gunung keramat. Namun, itu tidak membuat gunung tersebut terhindar dari vandalisme dan sampah.
Untuk yang kedua, tentang kelompok teror dan penggunaan atribut keagamaan, sudah sejak lama kelompok teroris dan intoleran mengganggu ruang publik kita. Kita malah punya kesan, ada pembiaran dan pembiasaan di ruang publik. Mengenai atribut keagamaan, sebelum ini kita malah mendengar, tidak dilarang, tetapi diwajibkan, bahkan untuk para peserta didik yang tidak beragama sama seperti mereka yang mewajibkan.
Untuk pelarangan dan pewajiban penggunaan atribut keagamaan, kita lalu menemukan kata yang kerap digunakan untuk menilai sikap seseorang, yaitu islamofobia atau kristianofobia serta mungkin juga perasaan dan sikap anti semit, apabila itu berkaitan dengan sentimen anti Yahudi. Sama halnya seperti ketika kita kerap mendengar isu kristenisasi dan juga seharusnya islamisasi. Keduanya berkaitan dengan fobia yang kita miliki terhadap kelompok yang berbeda keyakinan dengan kita.
Namun, islamofobia, kristianofobia, atau anti semitisme tidak dapat menjelaskan fenomena vandalisme dan menyampah di gunung-gunung. Ada yang dapat menjalin itu semua dalam satu rangkaian refleksi, yaitu hidup bersama. Hidup bersama dengan orang lain membutuhkan semangat dan ruang hidup bersama, selain itu tentu juga penghormatan, menjaga, serta merawat semangat dan ruang itu.
Apa itu hidup bersama?
Hidup bersama tak hanya butuh rasa dan semangat kebersamaan yang mengikat hidup, tetapi juga ruang atau tempat hidup bersama. Secara nyata, ruang menunjuk pada tempat fisik kehidupan bersama. Maka, selain semangat kebersamaan, rasa persatuan, dan gotong royong, hidup bersama juga diwujudnyatakan dalam tempat-tempat dan monumen-monumen fisik kebersamaan. Ada bangunan berupa gedung, lapangan, fasilitas, dan infrastruktur yang memudahkan kebersamaan. Sarana transportasi menjadi contoh nyata. Hidup bersama menunjuk pada kedua entitas berada ini, yaitu semangat dan ruang fisik berada.
Jika untuk hidup bersama ada syarat menerima perbedaan dari mereka yang ingin hidup bersama, pemenuhan syarat ini bukan sekadar tentang ada semangat keterbukaan yang toleran dan tindakan mewujudnyatakan itu. Namun, juga harus ada fasilitas fisik yang memudahkan dan membuat nyaman semua orang yang ingin terbuka dan hidup toleran di ruangan hidup bersama tersebut. Misalnya, kita tidak akan nyaman jika di tempat hidup kita bersama tercium bau sampah yang begitu busuk atau secara visual pemandangan yang membuat kita tidak dapat menikmati semangat dan tindakan kebersamaan kita.
Kesalingan dan kewarasan hidup bersama difasilitasi bentuk-bentuk material yang memungkinkan kita menikmati secara nyaman hidup bersama. Semangat hidup bersama diwujudnyatakan dan dimaterialisasikan dalam keberadaan dan penghormatan secara nyata pada tempat-tempat hidup bersama dan monumen-monumen hidup bersama, termasuk kondisi alam atau lingkungan hidup bersama tersebut. Ada bangunan (rumah- rumah ibadah dan gedung pertemuan), monumen (patung, tugu, dan lain sebagainya), serta tempat-tempat hidup bersama (taman; entah taman kota, taman nasional, dan lain sebagainya).
Kalau itu tidak ada dan tidak dirawat, semangat hanya tinggal kata-kata belaka. Dalam hidup bersama itu, tidak ada mayoritas-minoritas, tetapi kesalingan. Jumlah kecil atau besar tidak dijadikan ukuran karena jika sudah menakar mayoritas-minoritas, berarti sudah ada pamrih untuk merasa paling berjasa.
Hidup bersama itu mengandalkan keterbukaan. Bersedia membuka diri dan memberikan diri untuk hidup bersama. Pengorbanan ditangkap dalam konteks yang sedemikian, bukan menyerahkan seluruhnya sehingga tidak punya kuasa atas dirinya. Ia terbuka untuk diatur dalam rangka hidup bersama, bukan untuk dikuasai.
Aspek pendidikan
Dengan demikian, aksi vandalisme dan menyampah di gunung-gunung, yang merupakan taman hidup bersama, sama berbahayanya dengan sikap-tindak intoleran berbasis atas keyakinan atau agama yang memang berbeda tataran pemahamannya. Keduanya berbahaya bagi kehidupan bersama. Aksi vandalisme terhadap gunung-gunung bisa jadi tersembunyi dari mata keseharian kita. Namun, hal serupa dapat dijumpai dalam aksi vandalisme terhadap bangunan dan fasilitas fisik di sekitar kita. Corat-coret yang tidak semestinya, merusak bangku taman kota, serta sampah yang berceceran dan dicecerkan menjadi aksi biasa yang membuat hidup bersama menjadi tidak nyaman.
Jika Kompas (11/8/2014) dalam laporannya menyatakan bahwa vandalisme di Gunung Fuji yang diduga dilakukan orang Indonesia merupakan cermin kegagalan pendidikan lingkungan di Indonesia, dalam konteks yang lebih luas—sekaligus kita mencoba membaca kecenderungan intoleransi yang terjadi di masyarakat kita—hal itu menjadi cermin kegagalan pendidikan tentang hidup bersama dan juga pendidikan untuk hidup bersama.
Pendidikan pada dasarnya adalah upaya untuk membebaskan seseorang dari ketidaktahuan dan kemasabodohan. Salah satunya membebaskan seseorang dari egosentrisme diri dan juga sektarianisme. Pendidikan membuat seseorang bisa melihat lebih luas dan mewawas berbagai pilihan dalam hidupnya sendiri dan hidup bersamanya. Ia mempunyai pilihan untuk mencintai dan bertoleransi lebih dari sekadar dogma yang diterimanya: mencintai tempat hidup bersamanya dengan menjaga, merawat, dan bertoleransi dengan "yang lain" daripada dirinya.
Antonius Cahyadi
Dosen FHUI; Penggiat Lingkar Studi Pendidikan Progresif
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008415200
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar