Tak hanya menteri yang ingin digapai, kalau mungkin presiden sekalian. Benarkah jabatan menteri bisa dicapai melalui parpol?
Zaman Bung Karno dan Bung Hatta dulu, orang bisa jadi menteri karena selain profesional, berilmu, juga berpartai politik. Kadang-kadang ada juga orang yang tak berpartai politik tetapi berilmu luas. Ketika Bung Hatta meninggalkan Bung Karno, maka—pada zaman Bung Karno sendirian ini—yang bisa jadi menteri ada yang dari tentara. Tampaknya Bung Hatta punya pandangan bahwa yang bisa jadi menteri adalah orang berpartai politik tetapi berilmu luas, ahli di bidangnya. Jadi, bukan amatiran: asal jadi ketua partai lalu mencalonkan diri jadi calon menteri bahkan calon presiden. Atau, dengan mengikuti keinginan UUD 1945 (asli), seorang menteri haruslah mengetahui seluk-beluk pekerjaan kementerian yang dipimpinnya.
Menteri zaman demokrasi liberal
Landasan berilmu bagi pemimpin atau orang parpol amat penting karena mereka bisa dimungkinkan jadi pemimpin rakyat dan negara, baik sebagai menteri apalagi presiden. Berilmu berarti punya kedalaman pengetahuan dan keahlian mengenai bidang pekerjaan yang bakal dilaksanakan dalam kementerian yang dipimpinnya. Itu sebabnya, ketika Bung Hatta masih memperkuat dwitunggal, hasil maklumat yang ia keluarkan sebagai wakil presiden dan perdana menteri dikenal istilah zakenkabinet. Pada kabinet zaken ini setiap kementerian negara dipimpin menteri yang ahli dan tahu seluk-beluk bidang kementerian pimpinannya dan menonjol sifat kenegarawanannya.
Oleh karena mementingkan keahlian dan kenegarawanan ini, adakalanya orang yang ahli tetapi tak masuk parpol tertentu bisa diminta duduk dalam kabinet dan memimpin kementerian negara. Orang tak berpartai tetapi ahli dan berilmu luas serta memiliki sifat kenegarawanan adalah Djuanda, Sultan Hamengku Buwono IX, Bahder Djohan, dan Moh Yamin. Mereka berulang kali diminta menjadi menteri.
Ketika pemerintahan dikelola secara demokrasi liberalistik, peran parpol memang amat besar saat itu. Karena itu, di dalam pemerintahan eksekutif ataupun legislatif, orang-orang sipil dari parpol ini berkiprah sangat menentukan. Semua menteri orang sipil yang berasal dari parpol. Sebenarnya kalau saat itu prinsip demokrasi dijalankan secara baik seperti keinginan Bung Hatta, dan Bung Karno tak keburu nafsu tampil berkuasa serta membungkam beda pendapat dan paham dengannya, barangkali pelajaran pemerintahan demokratis yang sipilian bisa diwariskan kepada generasi berikutnya.
Sayang, Bung Karno berselisih paham dengan Bung Hatta dan kemudian Bung Karno menangkapi lawan-lawan politiknya yang berbeda paham dengannya. Maka, jalannya demokrasi kita telah menyimpang jauh dari ajaran demokrasi dan masyarakat sipil. Bung Hatta dengan kebesaran jiwa rela meninggalkan pemerintahan dari suatu negara yang dicintainya dan hubungan pribadinya dengan Bung Karno tak pernah berubah sampai ia berpulang.
Mulailah Bung Karno mengundang tentara bisa bersamanya memimpin pemerintahan dan negara. Pemerintahan Bung Karno semakin otoriter, lawan-lawan politiknya dipenjarakan, dan tentara jadi alat kekuasaan yang menakutkan rakyat sipil. Cara-cara Bung Karno memerintah ini kelak ditiru pemerintahan Orde Baru yang penuh dengan rekayasa politik. Mulailah tentara memimpin kementerian, punya hak istimewa tanpa dipilih, punya jatah wakil di DPR dan MPR. Tak hanya di pemerintahan pusat tentara ikut memerintah, tetapi sampai ke tingkat pemerintahan daerah di bawah sekalipun.
Orang-orang sipil dari parpol pelan-pelan mulai terpinggirkan. Tokoh-tokohnya banyak yang masuk penjara, tak sempat lagi mendidik kader dan mewariskan tatanan sistem demokrasi yang sipilian. Perbedaan pendapat, ideologi, dan politik mulai dijadikan pemisah yang dalam di antara kita. Parpol reputasinya mulai menurun dan dijauhi rakyat. Lebih parah lagi, pada pemerintahan Orde Baru, reputasi parpol dibuat amat tercela. Situasi seperti ini tak menguntungkan bagi lahirnya pemerintahan sipil yang kelak dikenal dengan istilah pemerintahan madani.
Zaman Orde Baru ini zaman malaise bagi parpol. Pada zaman ini jabatan menteri dicapai melalui tentara golongan politik yang tidak mau disebut parpol meski bermain politik. Salah satunya bisa melalui konglomerat dan orang-orang dekat istana. Parpol yang jumlahnya hanya dua gelintir itu tak punya harapan kapan bisa dipasang sebagai menteri yang bergelimang glamor anggaran melimpah.
Pada mulanya memang atas kebaikan penguasa, ada menteri yang berasal dari parpol. Setelah itu tak ada harapan bagi parpol yang dua itu ikut di dalamnya. Dua parpol selama pemerintahan Orde Baru berada di pinggiran, tak bisa bermain apa-apa kecuali menunggu kucuran anggaran sebagai belas kasihan penguasa untuk biaya menjalankan partai. Biaya belas kasihan itu akan ditambah kalau waktu pemilihan umum tiba. Maka, semua anak bangsa ini cita-citanya ingin jadi tentara supaya bisa masuk lapangan kerja di pemerintahan dan jadi menteri atau presiden. Kalau tidak jadi tentara, ya, jadi pengusaha yang bisa dekat-dekat istana agar bisa menjadi menteri.
Amat tercela
Pada zaman Orde Baru reputasi parpol dibuat amat tercela. Dengan parpol, rakyat terpecah belah jadi keping-keping anak bangsa yang membahayakan persatuan. Dengan parpol, bangsa ini tak sempat membenahi diri membangun negara. Dengan parpol, kesejahteraan rakyat tidak sempat diratakan dan keadilan tak pernah diwujudkan. Pendeknya, parpol tak berjasa bagi bangsa ini. Tamatlah riwayat parpol saat itu. Peran mereka diganti dengan kerja keras berslogan kekaryaan. Pembangunan negara dan bangsa ini bisa dilakukan dengan karya yang besar melalui Golongan Karya. Tampillah kelompok bukan parpol tetapi ikut bermain politik dengan menggelar pemilu lima tahun sekali dan rekayasa untuk selalu menang.
Maka, setiap lima tahun, yang bisa jadi menteri bukan lagi dari parpol, melainkan dari golongan kekaryaan. Mereka yang tergolong mengutamakan kekaryaan itu profesional, berilmu luas, ahli, zaken, dan tahu seluk-beluk pekerjaan kementeriannya. Mereka dikenal sebagai teknokrat.
Di negara demokrasi yang telah maju seperti Jerman, AS, Jepang, dan Australia, yang bisa diangkat jadi menteri terindikasi jadi anggota, fungsionaris, pendukung, kader, dan simpatisan parpol. Maka, parpol merupakan kendaraan tumpangan orang yang mau bepergian menuju kabinet atau pejabat politik seperti menteri, gubernur, ataupun wali kota. Mereka yang dari parpol itu ternyata kompetensi individualnya dalam bidang tertentu amat menakjubkan. Orang dari parpol yang kompeten dan berilmu luas memang layak jadi menteri atau presiden atau perdana menteri.
Di Inggris, menteri adalah anggota kabinet dan semua menteri itu harus anggota parlemen. Jika ada seseorang yang diperlukan menduduki jabatan menteri bukan anggota parlemen, dia harus disetujui atau memenangi suara ketika dipilih anggota parlemen. Jadi, seorang menteri dalam kabinet di Kerajaan Inggris harus dari parpol. Ia harus pula berbobot, kompeten, dan berkualitas memahami fungsi serta tugas departemen yang bakal ia pimpin. Demikian pula yang terjadi di Australia.
Jerman dengan tegas mengatakan bahwa negaranya yang demokratis dan berdasarkan hukum tak bisa berjalan tanpa parpol. Parpol melalui pemilihan langsung memilih wakilnya di lembaga perwakilan dan memilih kepala negaranya. Menteri diangkat berasal dari wakil parpol yang berkoalisi membentuk pemerintahan. Dengan sendirinya, karena tingkat kemajuan pendidikan di negaranya, maka selain dari parpol, kompetensi individu calon menteri amat menentukan.
Ketua atau kader partai
Berdasarkan pengalaman selama ini, ada baiknya keinginan Bung Hatta dalam membangun pemerintahan sipil yang demokratis bisa digunakan menentukan kriteria pengangkatan seorang menteri di dalam kabinet presidensial. Pertanyaannya sekarang, menteri berasal dari ketua partai atau kader partai? Seorang menteri merupakan jabatan politik dan dipilih presiden dari kelompok parpol koalisinya, atau diangkat presiden berasal dari orang bukan anggota partai. Hal itu merupakan hak prerogatif presiden. Dasar pemilihannya adalah kompetensi, keahlian, berakhlak mulia, dan berilmu pengetahuan luas. Bukan semata-mata karena ketua atau pemimpin parpol atau kader parpol.
Begitu seseorang sudah menduduki jabatan menteri, orang tersebut berbakti untuk negara, bukan untuk partainya lagi. Menteri merupakan jabatan politik yang negarawan, bukan pejabat negara yang loyal kepada partai politik. Identitas berpolitik dan jadi pendukung, simpatisan, anggota, serta fungsionaris parpol tak bisa dihindarinya. Namun, begitu memangku jabatan menteri, orang parpol yang jadi pejabat negara harus mengakhiri kekaderan parpolnya.
Menteri bekerja untuk negara dan rakyat secara keseluruhan, bukan untuk parpolnya lagi. Urusan parpol ditinggalkan dulu. Selesai jabatan menteri, ia boleh kembali ke partai. Inilah perilaku dan sikap negarawan yang high politic. Ini bisa dicapai untuk mendewasakan pemerintahan yang demokratis.
Keahlian, basis ilmu pengetahuan yang luas, kompetensi, profesional, dan berakhlak mulia merupakan bekal yang dimiliki negarawan calon menteri. Ini terlihat dari penampilan dan riwayat hidupnya. Keterlibatan rakyat memberikan penilaian calon menteri sangat penting.
Miftah Thoha
Guru Besar (ret) Ilmu Administrasi Publik UGM
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008697351
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar