Salah satu proposal yang diajukan adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD, baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota. Usul terakhir ini sangat kuat didukung oleh Koalisi Merah Putih, aliansi baru dalam altar politik Indonesia yang awalnya terbentuk untuk mengusung pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Isu tentang cara pemilihan kepala daerah termasuk masalah yang telah memunculkan pro kontra selama proses pembahasan RUU Pilkada. Awalnya, draf pemerintah mengintroduksi dua hal: gubernur dipilih DPRD dan bupati/wali kota dipilih langsung oleh rakyat. Alasan yang mengiringi proposal gubernur dipilih DPRD antara lain biaya pemilihan gubernur terlalu mahal, padahal kewenangannya terbatas. Ada pula alasan soal konflik horizontal yang dipicu oleh pilkada.
Usul pemerintah tersebut mengundang kritik. Kalau soalnya biaya, mengapa bukan bupati/wali kota saja yang dipilih DPRD, karena jumlah bupati/wali kota yang harus dipilih hampir 500 orang, sedangkan gubernur hanya 33 (kini 34 setelah Kalimantan Utara ditetapkan sebagai provinsi baru). Demikian pula soal konflik horizontal, justru pemilihan bupati/wali kota yang lebih berpotensi memicu konflik horizontal di masyarakat karena teritorial yang lebih sempit serta jarak antara kandidat dan calon yang lebih dekat. Lalu soal terbatasnya fungsi gubernur, bukankah jalan keluarnya dengan memperkuat kewenangannya dalam revisi UU Pemerintahan Daerah, bukan meniadakan pemilihan langsung.
Merespons kritik tersebut, haluan pun berbalik. Pemerintah merevisi usulan menjadi gubernur yang dipilih langsung, sementara bupati/wali kota dipilih oleh DPRD. Proposal ini juga didukung sebagian ahli yang berpendapat banyak kabupaten/kota belum siap ber-pilkada. Bisa dikatakan, belum ada usul untuk menghapuskan sama sekali pemilihan langsung kepala daerah.
Gugatan konstitusionalitas
Kini, dengan munculnya Koalisi Merah Putih, pemilihan langsung yang telah diperjuangkan komponen masyarakat sejak 2002—saat itu Centre for Electoral Reform (Cetro) mengampanyekan pemilihan langsung menjelang Pilkada DKI Jakarta—hendak dihapuskan sama sekali.
Imajinasi Koalisi Merah Putih mudah ditebak. Dengan perkiraan penguasaan mayoritas di DPRD-DPRD seluruh Indonesia, sangat mudah bagi aliansi yang terdiri dari Partai Golkar, Gerindra, PPP, PAN, PKS, dan Demokrat ini untuk merenggut posisi kepemimpinan daerah sepanjang koalisi solid. Pertanyaan tentang soliditas itu penting dikemukakan karena PKS ternyata tidak ikut dalam barisan penyokong pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Soalnya bukan apakah Koalisi Merah Putih akan menyapu bersih pilkada, melainkan pemilihan oleh DPRD itu akan memunculkan gugatan konstitusional. Bagi sebagian ahli konstitusi, pemilihan oleh DPRD bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 memang menyatakan bahwa pemilihan dilakukan secara demokratis, tidak eksplisit dipilih secara langsung.
Namun, jangan lupa, pasal tersebut disepakati pada Perubahan Kedua (2000) UUD 1945, sebelum kesepakatan pemilihan langsung presiden pada Perubahan Ketiga (2001). Apabila kesepakatan pemilihan langsung presiden telah dirumuskan terlebih dulu, ceritanya bisa lain.
Alotnya perdebatan tentang pemilihan langsung presiden di antara fraksi-fraksi di MPR telah membuat perumusan pemilihan kepala daerah sengaja digantung dengan frasa "dipilih secara demokratis". Padahal, kalau diperhadapkan mana yang lebih demokratis antara pemilihan langsung dan pemilihan tidak langsung, tentu saja yang pertama yang lebih demokratis.
Sejak 2004, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 telah ditafsirkan sebagai pemilihan langsung. Hal itu merupakan perkembangan tafsir yang bisa dipandang lebih sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yang kita anut.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan di level nasional dipilih melalui pemilu, tidak oleh parlemen seperti dalam sistem parlementer. Hal yang sama tentu berlaku pula untuk pemilihan kepala pemerintahan di level lokal.
Masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014 tinggal berbilang hari. Pada 1 Oktober nanti para anggota DPR yang baru akan mengangkat sumpah.
Bisa dikatakan ritme kerja anggota Dewan saat ini sudah memasuki masa transisional. Mereka yang masih terpilih lagi mungkin akan memanfaatkan fase sekarang untuk evaluasi diri. Mereka yang tidak terpilih, bisa jadi, mulai melirik lahan lain pengabdian. Pada situasi seperti ini sangat tidak bijak memaksakan pengesahan RUU Pemilihan Kepala Daerah. Terlebih masih ada hal substansial dan krusial yang belum disepakati.
Tolak pengesahan
Kalaupun ingin dipaksakan pengesahan RUU Pilkada, lebih baik dilakukan perubahan terbatas atas pasal-pasal pilkada dalam UU No 32/2004. Cukup disepakati penyesuaian terhadap aturan-aturan pemilu yang sudah berkembang dan diterima dalam praktik pemilu setelah disahkannya UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pembentukan undang-undang apa pun harus berada di ruang yang terang, tidak boleh di lorong gelap sebagaimana kesan kejar tayang RUU Pemilihan Kepala Daerah. Kemajuan demokrasi yang sudah dicapai hendaknya terus ditingkatkan dengan memperbaiki pranata berpemilu dari waktu ke waktu, tidak lantas mundur alias setback karena kepentingan jangka pendek untuk sekadar menguasai kursi kepala daerah.
Oleh karena itu, melalui mimbar ini, saya ingin mengajak kita semua untuk menolak proposal pilkada oleh DPRD!
Refly Harun
Pakar/Praktisi Hukum Tata Negara dan Pemilu
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008776025
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar