Dalam pertemuannya dengan relawan pada halalbihalal Partai Nasdem, Jumat (22/8), Jokowi secara eksplisit meminta mereka jangan bubar dulu. Masih ada pekerjaan strategis lain: memantau jalannya pemerintahan di pusat dan daerah. Seriuskah Jokowi berbicara atau ia sedang mencari kanal sebagai balas budi politik kepada para relawan?
Saya lebih cenderung menempatkan ide mengaksentuasi peran relawan dalam konteks mem- perkuat dan mengakselerasi pencegahan dan pemberantasan korupsi (PPK). Problem korupsi kita dalam dan kompleks. Legislasi, kebijakan, anggaran, pemilihan wakil rakyat, pemilihan kepala daerah, dan penunjukan atau pengangkatan pejabat dari pusat sampai daerah sudah lama dibajak politisi dan pebisnis hingga merugikan kepentingan publik.
Demikian juga penegakan hukum dari penyelidikan, penyidikan, pengadilan, sampai lembaga pemasyarakatan telah banyak diselewengkan. Skandal Akil-gate di Mahkamah Konstitusi menunjukkan betapa akut problem penegakan hukum kita. Barangkali hanya KPK yang masih baik dan dapat diandalkan. Sumber utama problem koruptif adalah asimetri relasi kekuasaan antarorganisasi (legislatif, eksekutif, yudikatif, organisasi bisnis, institusi militer) dan antarorang dalam organisasi. Resep anti korupsi yang mengabaikan problem asimetri relasi kekuasaan akan berakhir pada kegagalan.
Upaya memperkuat dan mempercepat PPK dihambat adanya problem defisit pranata sosial anti korupsi. Apa itu defisit pranata sosial anti korupsi? Di negara demokrasi liberal, ada lima pranata sosial yang memungkinkan prevalensi korupsi ditekan ke tingkat minimum. Kelima pranata sosial itu adalah institusi pengadilan yang bebas dan mandiri, pergantian pemerintah secara tertib dan teratur, partai politik oposisi yang kuat dan efektif, institusi media yang bebas dan mandiri, serta gerakan sosial anti korupsi yang kuat dan efektif.
Dari kelima pranata sosial itu, kita baru punya dua: pergantian pemerintah secara tertib teratur dan institusi media yang bebas mandiri. Munculnya pemimpin seperti Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, dan Tri Rismaharini; kompetisi politik yang sengit dan terbuka dalam pilpres kemarin; serta terbatasnya peluang pemerintahan SBY menjadi rezim koruptif disumbang dan dimungkinkan ada dan ajeknya pranata pemerintah secara tertib dan teratur. Disklosur dan publikasi sejumlah kasus korupsi secara terbuka dan luas juga sangat dimungkinkan oleh adanya pranata media yang bebas dan mandiri.
Saat ini kita defisit pada tiga pranata sosial: institusi peradilan yang bebas dan mandiri, partai politik oposisi yang kuat dan efektif, serta gerakan sosial anti korupsi yang kuat dan efektif. Persistennya defisit ketiga pranata sosial itu menjadikan upaya PPK stagnan. Ini tecermin dari mandeknya indeks persepsi ko- rupsi (IPK) kita yang bercokol pada angka 32 (dari skala 0 sampai 100) dalam tiga tahun terakhir. Nah, reaksentuasi gerakan relawan itu sebaiknya diletakkan dalam upaya kita menutup defisit absennya gerakan sosial anti korupsi yang kuat dan efektif.
Gerakan sosial anti korupsi
Gerakan sosial anti korupsi merupakan tindakan kolektif yang—meminjam istilah pemilu—terstruktur, sistematis, dan masif guna mendorong perubahan dari masyarakat koruptif ke masyarakat anti koruptif. Dengan definisi itu, gerakan anti korupsi kita saat ini jangankan kuat dan efektif, mewujud sebagai gerakan sosial saja belum—apalagi—terstruktur, sistematis, dan masif.
Ciri sekaligus kelemahan gerakan anti korupsi sekarang ini: (1) elitis dan hanya melibatkan segelintir orang; (2) pendekatannya proyek, bukan program sehingga begitu proyek selesai, habislah semangat dan sumber daya mencegah dan memberantas korupsi; (3) secara finansial, organisasi masyarakat sipil sangat bergantung pada hibah lembaga donor yang biasanya dari luar negeri sehingga habis dana hibah, habislah etos dan epos kepahlawanan berantas korupsi itu; (4) secara manajerial, advokasi anti korupsi tak terorganisasi dengan baik, sporadis, tersebar, kecil-kecil, dan bergerak sendiri-sendiri; (5) rasa kepemilikan terhadap upaya PPK rendah, hanya segelintir yang risau dan hirau kalau upaya PPK melempem; dan (6) karena semua itu, keberlanjutan upaya PPK tak terjamin.
Ciri dan karakteritisk itu harus ditransformasikan sehingga upaya PPK (1) berbasis masyarakat, organisasi, dan profesi seluas mungkin; (2) pendekatannya lebih sistemik dan programatik; (3) mobilisasi dan penggunaan sumber daya lokal; (4) lebih terorganisasi dan terkelola dengan baik sehingga upaya PPK itu seperti orkestra filharmonis; (5) rasa kepemilikan terhadap upaya PPK harus seluas mungkin kelompok masyarakat, organisasi, dan profesi; dan (6) upaya PPK harus terus berkelanjutan melampau batas usia rezim pemerintahan.
Ada banyak kerja politik, kebudayaan, dan pendidikan yang harus dilakukan untuk transformasi itu, seperti mendorong lahirnya UU dan peraturan pembuktian terbalik, penghapusan rezim sekretif, pengembangan kapasitas masyarakat, pengorganisasian dan pengembangan jaringan kerja, kampanye anti korupsi, dekonstruksi dan rekonstruksi nilai yang mendukung anti korupsi, penggalangan dan pengelolaan sumber daya, penggabungan kerja advokasi media arus utama dan media virtual.
Untuk mengerjakan semua itu, kita tidak berangkat dari nol. Elemen dan keadaan yang mendukung gerakan sosial anti korupsi sudah ada, tinggal mengorkestrasi hingga lebih terstruktur, sistematis, dan masif. Tipe relawan macam apa yang dibutuhkan kerja tersebut?
Kita butuh relawan brain intensive. Mereka proaktif dan kreatif mencari dan mendefinisikan peran yang mereka mainkan. Mereka berinisiatif, bergerak, memobilisasi sumber daya, dan mengelolanya sendiri.
Lihatlah kesuksesan fenomenal yang dicapai Ainun Najib dkk dalam mengembangkan kawalpemilu.org. Ia tidak hanya mengembangkan inisiatif dengan hemat biaya dan berdampak tinggi, tetapi juga memberikan contoh baik mengelola 700 relawan secara virtual. Tanpa disuruh siapa pun, mereka sekarang bergerak lagi mengembangkan kawalpilkada.org.
Mandiri dan bebas dari hubungan dan pengaruh Jokowi-JK menjadi faktor penting bagi gerakan sosial anti korupsi ini. Ini menghindari kemungkinan dikooptasi yang bisa berakibat pada stagnan atau melemahnya gerakan anti korupsi itu sendiri. Kita harus menyadari sejak awal bahwa Jokowi-JK dan orang-orang di sekitarnya tidak imun terhadap risiko korupsi.
Gerakan sosial anti korupsi ini harus diabadikan dan diabdikan untuk bisa melampau batas usia satu rezim pemerintahan. Ia bukan perpanjangan tangan Jokowi-JK, melainkan satu pranata sosial sekaligus subsistem yang memang harus ada dalam sistem demokrasi yang anti korupsi. Benarlah pernyataan Band Slank, salah satu kelompok relawan dan pendukung kuat Jokowi, bahwa mereka tidak hanya mengambil jarak, tetapi juga akan mengontrol dan mengkritik bila Jokowi menjadi presiden.
Adakah peluang menutup dua defisit lain? Ya. Kepemimpinan nasional Jokowi-JK dan lanskap konstelasi politik baru sesudah Pilpres dan Pileg 2014 memberi peluang dan harapan besar.
Kapolri baru, partai oposisi
Korupsi di lembaga peradilan dapat dikurangi dengan keputusan Jokowi-JK mengangkat kepala Polri dan jaksa agung baru yang memiliki kepemimpinan, profesionalisme, integritas, dan komitmen kuat mencegah dan memberantas korupsi. Tak mudah mencari kepala Polri dan jaksa agung seperti itu karena stok kepemimpinan di kedua institusi itu terbatas. Kepada Kapolri dan Jaksa Agung baru, Jokowi-JK bisa memerintahkan membentuk unit gugus tugas khusus yang berwenang mencegah dan memberantas korupsi di luar dan di tubuh kepolisian/kejaksaan.
Meski KPK bukan bawahan presiden, Jokowi-JK bisa mengorkestrasi desain kemitraan dan sinergi baru antara kejaksaan, kepolisian, dan KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi. Nota kesepahaman ketiga institusi itu sekarang ini masih belum sanggup mengatasi problem ego sektoral di antara ketiganya. Persaingan dalam penanganan kasus korupsi di antara ketiga institusi itu masih sangat kuat.
Dari sudut pandang perlu ada dan ajeknya partai politik oposisi yang kuat dan efektif, niat dan intensi partai-partai Koalisi Merah Putih menjadi dan membangun oposisi tangguh terhadap pemerintah Jokowi-JK perlu kita sambut gembira. Posisi partai oposisi ini akan menjadikan relasi kekuasaan lebih seimbang. Dalam keadaan seperti ini, dipercaya bahwa distorsi kebijakan prosedur, tata kelola, dan alokasi sumber daya bisa ditekan ke tingkat minimum.
Optimistislah bahwa pergantian rezim pemerintahan dari SBY-Boediono ke Jokowi-JK bisa menutup defisit pranata sosial anti korupsi dengan baik.
Dedi Haryadi
Deputi Sekjen Transparency International Indonesia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008775052
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar