Kemacetan parah, ratusan kendaraan melawan arus, melanggar marka seenaknya, mengendarai motor dengan lebih dari dua penumpang, atau pengangkut umum yang menjadi algojo jalanan, misalnya, terjadi bahkan persis di depan kantor polisi yang dengan mentereng tetap memajang slogan "Siap Melayani Anda".
Ketidaksantunan berlalu lintas macam di atas hanyalah representasi kecil dari dilanggarnya keadaban hidup kita—baik berbasis hukum formal, adat/tradisi, atau agama—dalam hidup (hiper-)pragmatis kita sehari-hari. Sejumlah cara berpikir dan berperilaku baru kita adopsi begitu saja, tanpa pengendapan secukupnya, lalu menjadi nilai yang semula bersifat personal kemudian berkembang menjadi norma yang bersifat komunal, bahkan nasional. Di tingkat ini, tidak peduli ia negatif atau destruktif, konsensus normatif sesungguhnya juga sudah menjadi sebuah produk kebudayaan.
Maka, kita pun melihat, menjadi saksi hidup, bahkan mungkin ikut mempraktikkan situasi kaotis pada level dasar kebudayaan itu, pada kehidupan pribadi kita di keluarga/rumah tangga, di pergaulan lingkungan, di tempat kerja, dalam birokrasi, bahkan instansi-instansi negara yang sesuai dengan obligasinya harus menjadi pembela atau penegak nilai-nilai luhur, mulia, positif, dan konstruktif.
Seorang menteri di kabinet Susilo Bambang Yudhoyono saat ini mencemaskan pemerintahan mendatang mengalami kegagalan fundamental ketika harus berhadapan dengan aparatus (birokrasi) yang nilai personal dan komunalnya, bahkan norma-norma umumnya, tidak hanya negatif dan destruktif, tetapi juga menggerakkan involusi yang laten. Sinyalemen, bahkan telah dibuktikan oleh banyak peneliti, bagaimana anggaran belanja negara digerogoti lebih dari 50 persen oleh pangreh praja alias aparatus birokrasi dengan nilai dan norma baru yang tak lain pelanggaran dan pengkhianatan pada etos dan etika kepegawaian.
Bahkan, seorang ahli administrasi negara yang disetujui rekan ahli hukum tata negara menyatakan dibutuhkan lebih dari dua generasi mereparasi mentalitas dan rasionalitas destruktif dari birokrasi, mulai dari pegawai pemerintah daerah, pusat, hingga lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan, kehakiman, hingga kepolisian. Itu pun jika niat, usaha, dan stamina beberapa pemerintahan yang menjalankan perbengkelan manusia itu terjaga kekuatan dan keberlanjutannya.
Artinya, apakah situasi kaotis secara mental-rasional bahkan spiritual itu mendapatkan jalan buntu, atau melingkar tak henti seperti tong setan atawa siklus nasib manusia Sisyphus dalam absurditas Albert Camus? Tak mengherankan jika kebanyakan masyarakat (kecil dan menengah, terutama) mengilusikan munculnya pemimpin baru yang Satrio Piningit, dalam arti ia tak muncul dari "lingkaran setan" kaum elite yang berposisi sebagai patron bagi para kliennya. Mengimajinasikan sebuah revolusi ketika perubahan radikal da- pat terjadi tanpa kita menunggu buyut kita lahir atau kita kehilangan rezeki menjadi saksi atau mendapat berkahnya.
Betapa hidup kita sebagai manusia bahkan berbangsa sesungguhnya, hingga hari ini, paling tidak separuhnya, masih juga ditentukan spekulasi yang irasional, supranatural, bahkan mistis dan magis.
Revolusi ikutan
Secara jernih, kita semestinya memafhumi yang kita bayangkan dari "revolusi" sebenarnya satu hak yang ilusif atau mustahil (lagi) terjadi. Apabila yang diimajinasikan dari lema atau term itu sebuah perubahan radikal—menuju keadaan yang lebih baik, tentu saja—di semua level sosial, kultural, hingga spiritual, secara legawa kita sebaiknya menerima hal itu sudah menjadi sejarah, menjadi monumen, sekurangnya seabad yang lalu. Bukan hanya di negeri ini, melainkan juga dunia.
Apabila dipaksakan signifikansinya, revolusi mungkin pernah terjadi pada masa setengah abad yang lalu, ketika puluhan negara baru lahir sebagai rentetan perang (merebut) kemerdekaan dari kolonialisme oksidental (Eropa). Signifikansi revolusi macam ini dipaksakan lantaran yang terjadi sebenarnya bukanlah perubahan radikal di semua level dan dimensi kehidupan di atas, tetapi semata pemindahan kekuasaan (formal) dari pemerintah kolonial ke pemerintah lokal.
Apakah secara mental, intelektual, spiritual, bahkan fisikal semua rakyat dan bangsa itu sudah merdeka? Bahkan secara sistemis dan struktural mereka telah mampu berdaulat di tanah airnya sendiri? Bermacam buku, karya seni, hingga demonstrasi belakangan ini menggambarkan betapa sebenarnya revolusi kemerdekaan itu bukanlah revolusi hidup dan kemanusiaan yang sesungguhnya kita, masyarakat dunia, bayangkan.
Dalam 50 tahun belakangan, "revolusi" boleh jadi masih terjadi, tetapi hanya dalam satu dimensi (produk) kebudayaan saja: sains. Terutama ketika produk intelektual itu disertai implementasi teknologisnya berupa mesin komputasi, transportasi, dan informasi-komunikasi. Harus diakui, revolusi dalam dimensi ini telah menyeret perubahan radikal (bahkan revolusioner) di bagian hidup lainnya. Yang kita rasakan, alami, dan produksi belakangan ini dalam semua lapangan kehidupan, ikhlas atau tidak, sesungguhnya hanya menjadi impak dan dampak dari capaian sains dan teknologis di atas.
Persoalannya: revolusi ikutan di atas ternyata menciptakan pergeseran, bahkan perubahan yang sangat signifikan dari sikap mental, intelektual, bahkan fisikal kita. Tak lain, kita bergerak—secara sadar dan tak—hanya menjadi konsumer, tepatnya korban, dari produk-produk teknologis dan segala jenis industri (kapitalistis) yang membonceng di belakangnya. Di titik ini kita kehilangan kepribadian kita, identitas, hingga tingkat nilai-nilai dasar (juga primordial) yang selama ini mengonstitusi keberadaan atau eksistensi kita. Kita pun menjadi makmum atau pengikut sukarela dari diseminasi cara hidup dan berpikir atau rezim budaya yang menjadi struktur dan sistem dasar di dalam sains serta teknologi (notabene) oksidental itu.
Di sinilah titik penjelas tercipta chaos budaya yang tergambar di awal tulisan ini. Jika muncul urgensi atau gagasan untuk dimulai upaya melakukan "revolusi (dalam arti perubahan berangsur yang tetap dan progresif) mental", kita pun mendapat argumentasi logis—bukan spekulatif—nya di sini. Namun, mungkinkah terjadi "revolusi mental" yang logis itu?
"Revolusi" budaya
Frasa akhir paragraf di atas sebenarnya sudah mengindikasikan "revolusi mental" itu tak mungkin terjadi atau terjalani tan- pa diiringi revolusi intelektual (yang logis). Harus ditambahkan lagi dalam logika ini, revolusi semacam itu juga mau tak mau harus mengintegrasikan dua revolusi lain: fisikal dan spiritual. Tiga dimensi ma- nusia-ilahiah ini sebenarnya sejak mula tak terpisahkan, tetapi kebudayaan manusia yang dipengaruhi realitas geografis telah menceraiberaikannya: rasio, mental-spiritual, dan fisikal.
Tiga dimensi itulah yang sesungguhnya bekerja, tidak simultan, tetapi integratif sehingga manusia memiliki semacam daya cipta, kapasitas ilahiah yang kita sebut kreativitas. Kapasitas melahirkan kebudayaan dan produk-produknya. Artinya, sebuah perubahan yang kontinu, progresif, dan positif dalam harapan kita bersama di atas, tidak bisa tidak harus terjadi pada level atau fondasi kebudayaan.
Revolusi—baiklah kita gunakan lema ini betapapun biasnya—kebudayaan tidak hanya mengubah mentalitas kita, tetapi juga pola pikir kita sampai pada sikap keber- agamaan kita, hingga secara fisis ia maujud dalam perilaku pragmatis kita sehari-hari. Semua itu bukan cuma soal politik, ekonomi, ilmu, atau agama saja, tetapi itu soal kebudayaan. Dan, kebudayaan di sini secara sederhana kita pahami sebagai sebuah nebula atau gugusan abstrak (ke)manusia(an) yang ingin mempertahankan eksistensi spesiesnya lewat produk-produk idealnya dalam lima tingkat: nilai, norma, moralitas, etika, dan estetika.
Inilah gugusan abstrak yang dengan keringat tubuh kita jadi produk atau artifak ketika bukan keberlangsungan spesies saja yang terjaga, kenyamanan hidup kita juga tercipta. Sebuah revolusi selaiknya terjadi dalam prosesus kultural di atas, bermula dari nilai-nilai—di tingkat personal—yang luhur dan mulia, kita terima dan internalisasi dalam diri hingga kemudian jadi masif dan mencipta sebuah norma yang juga luhur dan mulia. Dari norma yang positif, sebagai arsenal ampuh melawan negativitas kultural di sisi lainnya, moralitas (umum) dalam arti kebaikan dan/yang juga kebenaran sekaligus dapat dihasilkan secara kolektif.
Di tingkat aturan dasar, tingkat analitik, semua itu akan jadi kitab etika yang jadi penuntun keadaban dan kesantuan, serta estetika, yang jadi acuan dalam mengapresiasi semua produk kebudayaan kita. Bagi pengemban amanah rakyat dan konstitusi Indonesia mendatang, praksis dan internalisasi prosesus ini tak terelakkan harus terejawantahkan dalam sistem pengajaran (universal) yang mengikutkan seluruh elemen kebangsaan kita, ketika pendidikan formal salah satu garda depannya.
Dalam sistem ini, bukan hanya pengajar di sekolah-sekolah formal, ustaz di masjid, orangtua di rumah, sesepuh adat, pelatih atau penatar yang mendapat imperasi keras untuk bukan hanya menjadi acuan moral, melainkan juga contoh perbuatan, juga mereka yang menjadi bos, komandan tempur, pejabat negara dan publik, kepala organisasi, pangreh praja, dan semua yang mendapat amanah, tanggung jawab atau titipan kekuasaan mesti mampu menjadi guru bagi murid/bawahannya.
Bagi pemimpin tertinggi, betapa berat dan luar biasa imperasi budaya pengajaran ini. Setidaknya untuk memperlihatkan bagaimana revolusi kultural itu sudah terjadi padanya. Tak perlu kita terjebak dalam spekulasi mistis lagi, tentang satrio piningit misalnya, karena secara jernih rasionalitas hakim-hakim MK telah membuat keputusan akhirnya. Joko Widodo, presiden konstitusional terbaru kita, sekurangnya telah membuktikan yang selama ini jadi proposi saya secara personal: struktur paternalistik atau patron-klien yang digemborkan para orientalis itu sebenarnya tak berlaku di negeri ini, sekurangnya dalam soal yang imaterial, dalam soal moral-kultural. Dalam soal ini, wong cilik lebih kerap menjadi guru kita.
Radhar Panca Dahana
Budayawan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008701819
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar