Wacana publik tampaknya kurang diisi oleh dua domain pemerintahan yang nonkabinet, yaitu menyangkut sektor pertahanan dan keamanan. Untuk sektor pertahanan, agaknya TNI tidak akan banyak berubah. Usul lama mengenai transformasi Panglima TNI menjadi Kepala Staf Gabungan hanya menjadi wacana jangka panjang.
Lain halnya dengan Polri. Jika sektor pertahanan memiliki analis ("pengamat militer") yang jumlahnya belasan sehingga memadai sebagai counterparts TNI, Polri sangat kekurangan analis seperti itu. Akibatnya, rezim baru gamang melakukan perubahan karena tak punya basic knowledge tentang domain kepolisian.
Misalnya, kurangnya pengetahuan publik mengenai status Polri sebagai institusi sipil, dan polisi adalah pegawai negeri sipil dengan status khusus. Akibatnya, publik masih selalu membuat perbandingan Polri dengan TNI. Padahal, dengan status sipil ini, perspektif perbandingan dengan militer dalam manajemen pemerintahan sudah tidak relevan lagi. Polisi sendiri masih gamang dengan status yang baru disandang selama satu setengah dekade terakhir ini.
Contohnya, apakah dalam urusan SDM polisi masih mengacu pada UU No 2/2002 tentang Polri atau UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Jika mengacu pada UU Polri, usia pensiun 58 tahun. Namun, jika mengacu pada Aparatur Sipil Negara, pensiun pada umur 60. Kapolri Jenderal Pol Sutarman agaknya tidak mau berpolemik karena takut dikira ingin memperpanjang masa dinasnya. Namun, kegamangan ini tidak boleh dibiarkan berlarut.
Isu kedua menyangkut kedudukan Polri dalam tata pemerintahan. Banyak proposal supaya Polri tidak lagi berada langsung di bawah Presiden seperti sekarang. Yang luput dari kritik terhadap kedudukan Polri di bawah Presiden adalah filosofi dari tugas dan fungsi polisi. Secara konstitusional ataupun hasil konsensus politik, Polri menyandang tugas dan fungsi sebagai "penegak hukum" sekaligus "pelayan masyarakat".
Fungsi pertama menempatkan Polri sebagai instrumen negara di bawah cabang kekuasaan yudikatif dalam tata negara demokratis. Adapun fungsi kedua meniscayakan Polri sebagai instrumen pelayanan publik di bawah cabang kekuasaan eksekutif. Jadi, pada yang pertama Polri menginduk ke Presiden sebagai kepala negara, sedangkan pada yang kedua Polri menginduk pada Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Isu-isu ikutan dari kurangnya pengetahuan publik mengenai status dan kedudukan Polri membuat penataan arsitektur kepolisian seperti memasuki labirin. Secara kebetulan, dalam minggu-minggu terakhir Agustus dan awal September, Polri melakukan mutasi sejumlah pos strategis, termasuk 16 perwira tinggi yang bergeser posisi.
Mutasi itu seolah menjawab tantangan dan kegamangan rezim serta publik. Yang promosi adalah generasi baru Polri. Saat ini, pimpinan Polri diisi banyak perwira generasi Akademi Kepolisian (Akpol) 85, termasuk Kapolda Metro Jaya yang baru. Namun, sebagian angkatan yang lebih senior juga mendapat promosi strategis, seperti Irwasum (Akpol 82), Asisten SDM (Akpol 82), Kapolda Sulawesi Selatan (Akpol 83), dan Kapolda Jawa Timur (Akpol 84). Sebagian dari mereka penyandang Adhi Makayasa atau lulusan terbaik Akpol.
Angin segar
Naiknya generasi 85 ke bawah ditandai pendidikan umum yang lebih baik. Kini tidak ada perwira tinggi pejabat Mabes Polri yang hanya S-1. Bahkan ada yang menyandang S-3 dari universitas terkemuka, termasuk luar negeri. Kasus Asrena (Akpol 87) fenomenal karena kariernya melesat cepat, antara lain ditunjang latar belakang S-2 dari Inggris dan S-3 dari NTU Singapura.
Sama halnya, hampir tidak ada pimpinan Polri yang tidak mengalami pendidikan dan pelatihan profesi di luar negeri. Umumnya mereka belajar reserse kriminal di BKA Jerman, community policing di NPA Jepang, lalu lintas di Breda Belanda, dan lain-lain.
Gerbong mutasi kali ini lebih baik karena merestrukturisasi jarak cohort perwira tinggi paling senior dan yunior. Sebelum ini, setiap telegram Kapolri (berisi keputusan mutasi) pada level perwira tinggi sering menimbulkan kekecewaan internal karena selalu ada yang nyodok ke atas, padahal penilaian peer buruk. Restrukturisasi cohort memberi kesempatan "urut kacang" bagi senioren yang memang cakap. Regenerasi angkatan pun tertata.
Namun, pada saat yang sama, Polri didera problem klasik di sektor kultur. Kasus demi kasus muncul sehingga menurunkan kepercayaan publik, yang menurut grand strategy Polri seharusnya sudah selesai pada tahun ini. Nyatanya, kepercayaan publik masih kedodoran. Apalagi saat muncul kasus-kasus seperti perwira Polda Kalimantan Barat yang ditangkap polisi Malaysia.
Dengan demikian, mutasi kali ini, selain membawa angin segar dan harapan baru akan kinerja Polri yang lebih baik, sekaligus juga menimbulkan curiosity dan waswas. Apakah generasi baru Polri ini bisa membuktikan korelasi positif antara pendidikan yang semakin tinggi dan profesionalisme yang membaik? Jika jawabannya positif, apakah gerbong baru di bawah nakhoda yang sama (Jenderal Pol Sutarman) ini bisa membuktikan bahwa kasus perwira makan rekening judi online, terlibat narkoba, dan seterusnya, hanyalah casus belli sehingga tidak bisa dipakai sebagai landasan pengambilan keputusan jangka panjang?
Tanpa bukti nyata melalui kinerja pimpinan Polri generasi baru, rezim Jokowi-JK akan misleading di dalam labirin yang sama. Jangan-jangan karena ada perwira yang main narkoba dan doyan duit judi online, diambil keputusan strategis menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri, atau malah disetarakan dengan satpol PP dan pramuka.
Hermawan Sulistyo
Profesor Riset LIPI
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008777969
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar