Publik penuh harap ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada kampanye presiden 2009-2014 menggunakan slogan yang sangat kuat, "Katakan tidak pada korupsi". Elite partai tampil mengungkapkan pesan partai yang anti korupsi. Sejumlah undang-undang dibuat, sejumlah instruksi presiden dan keputusan presiden dikeluarkan, keputusan menteri ditandatangani. Semangatnya satu: mencegah korupsi dan melawan korupsi!
Pada level institusi, banyak lembaga yang berfungsi mencegah korupsi. Ada Kejaksaan Agung dan kepolisian. Ada inspektorat jenderal, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Badan Pemeriksa Keuangan, Ombudsman Nasional, ada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Pada tataran yang lebih bersifat moral, setiap pejabat mengucapkan sumpah untuk tidak korupsi, sedangkan pada tataran seremonial pakta integritas ditandatangani!
Aturan ada, lembaga pengawas ada, seharusnya korupsi bisa dikurangi. Namun, data statistik penanganan korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan korupsi terjadi secara sistematis, terstruktur, dan masif.
Dari data KPK tahun 2004 hingga Juli 2014, terdapat 75 anggota DPR/DPRD, 18 kepala lembaga/kementerian, 4 duta besar, 7 komisioner negara, 15 gubernur, 41 wali kota/bupati dan wakil, 115 pejabat eselon I/II/III, 10 hakim, 102 pihak swasta, dan 43 profesi lain. Sebagai ilustrasi data KPK, tercatat Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar serta Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik.
Korupsi terjadi melibatkan struktur kekuasaan. Pola korupsinya sistematis dan terpola dengan meminta komisi, kick back, atau uang suap dalam setiap transaksi. Bahasanya disamarkan sehingga muncul istilah apel washington, apel malang, biaya angkutan batubara, atau tunjangan hari raya. Korupsi masif karena terjadi di pusat dan daerah. Pada cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif ataupun anggota komisi negara. Korupsi dilakukan lintas partai politik. Pasangan suami-istri ikut menjadi aktor.
Deskripsi fakta di atas bukan ingin membuat bangsa ini frustrasi. Data di atas memunculkan pertanyaan mengenai peran lembaga pengawas internal, seperti inspektorat jenderal. Sejauh mana fungsi sumpah jabatan? Apakah fakta itu menunjukkan kemandulan lembaga pengawas internal untuk mengendus korupsi? Karena kenyataannya, sejumlah korupsi besar terungkap karena kerja KPK, lembaga di luar pemerintah.
Korupsi masif menjadi pekerjaan rumah pemerintahan baru. Presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla harus memutuskan pola korupsi yang sistematis, terstruktur, dan masif. Langkah radikal harus dilakukan Jokowi-JK. Kegagalan Jokowi-JK memerangi korupsi hanya akan membuat rakyat frustrasi dan kehilangan kepercayaan pada retorika dan pernyataan yang sangat jauh dari kenyataan.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008696521
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar