Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 01 November 2014

TAJUK RENCANA Wajib Belajar 12 Tahun (Kompas)

PROGRAM wajib belajar 12 tahun, yang menurut rencana dimulai tahun ajaran 2015, kita apresiasi sebagai kebijakan yang berfokus akses berkeadilan.
Realisasi program itu, selain menunggu payung hukum, juga kesiapan sarana dan infrastruktur. Tidak hanya mengubah nama, tetapi juga langkah strategis obyektif berikut inisiatifnya sebagai panduan. Dari sisi dana, tampaknya tak ada masalah. Tersedia dana pendidikan APBN 2015 sebesar Rp 400 triliun lebih, 20 persen dari total anggaran Rp 2.000 triliun.

Selain untuk pembiayaan fasilitas fisik, dana itu juga ditujukan untuk sarana pelengkap lain, di antaranya guru. Oleh karena itu, moratorium penerimaan calon pegawai negeri sipil selama lima tahun, dalam konteks program prioritas ini, perlu dikecualikan. Tidak hanya pemenuhan jumlah dan mutu, tetapi juga pembenahan lembaga pendidikan tenaga kependidikan.

Keinginan memperpanjang rentang waktu wajib belajar menjadi 12 tahun sudah kita rasakan, sejalan dengan yang disuarakan organisasi masyarakat peduli pendidikan. Payung hukum yang dibutuhkan adalah Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, dari 9 tahun menjadi 12 tahun, dari minimal lulusan SMP menjadi minimal SMA/SMK.

Akses berkeadilan terpenuhi tidak hanya didorong oleh era globalisasi pasar bebas Asia, menjamin kita memetik manfaat bonus demografi, tetapi juga atas dasar kesamaan hak asasi dalam memperoleh layanan pendidikan. Berdasarkan indikator pencapaian angka partisipasi murni SD setara dengan angka partisipasi kasar SMP, program wajib belajar 6 tahun yang dimulai 1984 dan wajib belajar 9 tahun yang dimulai 2009 itu sudah menyasar 95 persen warga berusia pendidikan SD dan SMP.

Sejauh data itu benar, kita apresiasi pemerintah sebelumnya. Dengan alokasi anggaran kurang dari 20 persen, dengan tidak menempatkan wajib belajar sebagai akses berkeadilan, pun bisa sukses, apalagi dalam lima tahun ke depan dengan pemerintahan yang menempatkan asas berkeadilan sebagai prioritas kerja. Kepedulian, keseriusan kerja, transparansi proses, dan ketersediaan dana, niscaya menjadi faktor-faktor pendukung.

Untuk keberhasilan salah satu kegiatan humanisasi ini, termasuk di tingkat pendidikan tinggi, tidak ketinggalan faktor kelembagaan birokrasi. Yang perlu diperbaiki, jangan sampai program dan rencana terstruktur bagus di atas kerja, tetapi kedodoran di lapangan. Kementerian pendidikan kapan pun tidak pernah lekang dari kritik. Reformasi birokrasi yang mendekonstruksi cara kerja business as usual perlu ditinggalkan.

Akses berkeadilan mengharuskan semua warga bangsa memperoleh hidup layak, terutama kebutuhan minimal perumahan, kesehatan, dan pendidikan: sehat, pintar, sosial. Kita jaga dan ingatkan jangan sampai program-program bagus kedodoran di lapangan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009818132
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger