Pertama kali dalam sejarah kita, kabinet dilantik dengan semua menteri mengenakan baju batik. Setidaknya ini dapat jadi sinyal awal tentang makin kentalnya perhatian terhadap kekayaan nasional kita yang merupakan warisan budaya bangsa.
Salah satu potensi besar budaya bangsa adalah jamu, yang sejak berabad-abad lalu sudah digunakan untuk berbagai bentuk pemeliharaan kesehatan. Ada pendapat bahwa pengobatan tradisional dapat ditelusuri pada relief candi, sementara istilah jamu, djampi oesada, mungkin juga dapat ditelusuri pada peninggalan tulisan zaman dulu, seperti Gatotkacasraya (Mpu Panuluh), Serat Centhini, dan Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi Jawi.
Sampai kini jamu tetap bagian penting kehidupan kita. Data Riset Kesehatan Dasar 2013, suatu penelitian kesehatan berskala na- sional yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 30,4 persen rumah tangga di Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional. Di antaranya 77,8 persen rumah tangga memanfaatkan jenis pelayanan kesehatan tradisional keterampilan tanpa alat dan 49,0 persen memanfaatkan ramuan.
Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, 59,12 persen penduduk Indonesia di atas usia 15 tahun menyatakan pernah minum jamu dan 90 persen di antaranya menyatakan adanya manfaat minum jamu.
Dari kacamata kesehatan internasional, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sepakat memajukan pemanfaatan pengobatan komplementer dan tradisional untuk kesehatan, lalu mendorong pemanfaatan keamanan dan khasiat pengobatan tradisional melalui regulasi. Ada lima segi dalam pengembangan jamu dan tanaman obat: saintifikasi jamu, pengembangan kekayaan tanaman obat Nusantara, pemanfaatan tanaman obat keluarga, wisata kesehatan, dan aspek internasional nilai budaya bangsa.
Saintifikasi jamu
Untuk menjamin tersedianya jamu yang aman, berkhasiat, dan bermutu, telah dilakukan pendekatan ilmiah modern dalam bentuk studi etnofarmakologi, formulasi, kajian laboratorium, dan uji klinik yang sahih. Jamu saintifik yang dihasilkan dari program ini digunakan untuk terapi komplementer pada fasilitas pelayanan kesehatan dan dijadikan pilihan masyarakat.
Dewasa ini tersedia dua jamu saintifik, yakni untuk hipertensi ringan dan gangguan akibat asam urat. Penelitian saintifikasi jamu tahun mendatang akan meliputi 24 formula jamu: 19 formula untuk uji klinik pre-post dan 5 formula untuk uji klinik multisenter. Dalam pelaksanaannya, program saintifikasi jamu dikelola Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan yang melibatkan dokter dan apoteker yang secara berkala dilatih. Program ini memberikan landasan ilmiah penggunaan jamu empiris.
Selain jamu saintifik, dikenal juga istilah obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji prakli- nik dan bahan bakunya telah distandarkan. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi. Sampai Desember 2014 ada 41 obat herbal terstandar dan enam fitofarmaka yang ada dalam daftar BPOM.
Hal kedua yang bisa didapat dari program jamu dan tanaman obat adalah kekayaan tanaman obat di Nusantara, yang tentu dapat dikembangkan menjadi bahan baku obat yang biasa digunakan dalam ilmu kedokteran sekarang ini. Menurut WHO, sekitar 25 persen obat modern atau obat konvensional berasal dari tumbuhan obat.
Kekayaan Indonesia dalam hal ini amatlah luas. Riset Tumbuhan Obat dan Jamu I Kementerian Kesehatan tahun 2012 memperoleh data 1.889 spesies tumbuhan obat, 15.671 ramuan untuk kesehatan, dan 1.183 penyembuh atau pengobat tradisional dari 20 persen etnisitas (209 dari total 1.128 etnis) Indonesia non-Jawa dan non-Bali. Riset ini akan dilanjutkan dan dituntaskan untuk mencakup 100 persen etnisitas kita.
Tanaman obat keluarga
Aspek ketiga dari pengembangan jamu dan tanaman obat adalah pemanfaatan taman obat keluarga. Program itu kini dilengkapi penyuluhan tentang cara memanfaatkan tumbuhan obat yang baik dan benar untuk pemeliharaan kesehatan, kebugaran, dan pengobatan terhadap penyakit sehari-hari. Pengembangan tanaman obat keluarga juga dapat diperluas menjadi kegiatan untuk menambah penghasilan keluarga, misalnya dengan memproduksi minuman sehat, seperti minuman jahe merah, wedang secang, beras kencur, teh temu lawak, dan teh pelangsing.
Aspek keempat kekayaan jamu dan tanaman obat Indonesia adalah potensi wisata kesehatan. Selain jamu yang dikonsumsi, potensi wisata lain adalah indahnya perkebunan tanaman obat di berbagai ketinggian dari permukaan laut, seperti yang sekarang ada di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan di Tawangmangu, Jawa Tengah.
Di tingkat diplomasi internasional, kini sedang dibahas konsep genetic resources, traditional knowledge, folklore (GRTKF). Topik yang tercakup tentu amat luas, meliputi kekayaan budaya negara anggota PBB. Dari kaca mata kesehatan, jamu serta tanaman obat pasti tercakup pula dalam genetic resources, serta juga mungkin traditional knowledge. Pembahasan di tingkat PBB di Geneva, Swiss, masih cukup ketat dan membutuhkan waktu panjang. Diplomat kita di sana memegang posisi penting. Pengakuan internasional pada budaya bangsa melalui konsep GRTKF jelas makin mempertegas posisi keragaman kekayaan nasional kita, termasuk jamu dan tanaman obat.
Dalam lima tahun ke depan, kita harus menguasai teknologi yang mampu menghasilkan sediaan jamu yang aman, berkhasiat, bermutu, dan praktis. Melalui gabungan program kesehatan konvensional dan tradisional, perlu diwujudkan pelayanan yang mampu menyembuhkan secara holistik, body-mind-spirit, untuk mencapai kualitas hidup orang Indonesia yang lebih baik.
Tjandra Yoga Aditama
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010836952
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar