Niskala ini melekat dalam kearifan Jawa (dan universal) saat menjumpai keadaan merisaukan. Dalam perlawanan terhadap kedangkalan hidup bermasyarakat dan bernegara, selalu muncul pribadi-pribadi menyebal, menentang pakem bobrok, kemudian bertindak dan memandu normanya sendiri.
Satria Piningit, para bangsawan pikiran dan tindakan itu, tentu saja tidak lahir seketika. Mereka umumnya menempa diri dari suasana kemelut tak berujung. Inilah jenis pemimpin the doer: aktif memecahkan masalah dan mewujudkan tujuan, serta peka menangkap sikap masyarakat. Jenis pemimpin semacam ini juga mahir memengaruhi, penuh aksi, dan mudah mendapatkan kepercayaan.
Karakteristik lain, sangat antusias mempromosikan ide, bergerak cepat, serta memiliki keyakinan kuat memilah mana yang benar dan yang salah. Ketabahan melekat pada prinsipnya. Jika the doer memutuskan sesuatu perlu dilakukan demi kepentingan publik, ia akan melakukannya tanpa peduli pujian dan kecaman. Mereka kualifikasi pemimpin yang disebut John C Maxwell mumpuni, yakni manakala sebuah pekerjaan diselesaikan, orang-orang yang dipimpinnya mengatakan: kami melakukannya bersama-sama.
Gelombang pertama
Berakhirnya patronase politik Orde Baru menumbuhkan selapis pemimpin formal tipikal the doer yang menjanjikan meskipun bagian terbesarnya tetap bercorak predatorik-koruptif. Mereka gencar menginisiasi partisipasi publik dalam aneka best practices sekaligus menjentikkan virus pemberdayaan sebagai sumbu perubahan.
Kecambah kepemimpinan otentik gelombang pertama muncul awal tahun 2000-an di sebagian penjuru negeri, di antaranya Jusuf Serang Kasim (Tarakan, Kalimantan Timur), Masriadi Martunus (Tanah Datar, Sumatera Barat), Untung Wiyono (Sragen, Jawa Tengah), dan Rustriningsih (Kebumen, Jawa Tengah). Mereka menginspirasi para kepala daerah lain untuk mengambil-oper, mengadopsi program, dan menyempurnakannya. Sragen tahun 2002 adalah daerah pertama yang menerapkan inovasi pelayanan satu atap (one stop services) berbasis teknologi informasi dan menggiatkan pinjaman bergulir usaha kecil-menengah dengan penjamin pemerintah daerah.
Generasi kedua pemimpin daerah, seperti Joko Widodo (Solo, Jawa Tengah), Tri Rismaharini (Surabaya, Jawa Timur), Nurdin Abdullah (Bantaeng, Sulawesi Selatan), Azwar Anas (Banyuwangi, Jawa Timur), menggebrak dengan pertaruhan risiko besar melawan birokrasi gemuk, lamban, dan politik korup. Sejajar dengan tingginya harapan publik, tokoh-tokoh itu beroleh simpati masyarakat (public darling) dan media (media darling). Otonomi dan pers juga berperan besar mendorong keberhasilan politis daerah dalam "melahirkan" Jokowi sebagai produk "massa" dan daerah, menyisihkan bangsawan asali (darah biru), bangsawan pemikir, dan elite militer.
Para pemimpin pilihan "massa" ini ikhlas menunda kenikmatan (delayed gratification), konsisten menjadi teladan dengan memberi suntikan gairah, energi, dan nurani serta punya kemampuan untuk terus bertumbuh dan belajar menjadi pemimpin sejati. Merujuk Umar Kayam (Sang Priyayi, 1992), merekalah priayi dalam makna sesungguhnya: yaitu pribadi-pribadi yang merangkak dari bawah dan fokus mendarmabaktikan hidupnya di jalan pengabdian.
"Beyond material"
Transformasi Satria Piningit mencapai kematangan akan ditentukan kesanggupannya mengelola hal-hal yang bersifat beyond material pada urusan peradaban dan lingkungan. Yang pertama bersangkut paut dengan pendidikan dan kebudayaan, sedangkan yang kedua pada kemampuan membangun basis creative capital untuk mendorong kapasitas bangsa mencapai batas tertinggi kemampuannya.
Pendidikan dan kebudayaan tak sebatas menyiapkan peta jalan menuju bangsa berkepribadian, keseriusan menangani rekayasa pendidikan formal, dan internalisasi perubahan paradigma. Pendidikan semestinya mengantarkan pada jalan pembebasan, kemampuan untuk terus-menerus memupuk tugas-tugas hakiki manusia pada setiap generasi.
Penghormatan atas manusia dan kemanusiaan serta kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat beserta hak-hak kemajuannya membutuhkan pembuktian setelah sekian lama negara lalai dan membiarkan pelanggaran HAM terus berulang. Pemimpin yang meremehkan martabat rakyat dan defisit belas kasih tidak akan pernah mendapatkan legasinya.
Di lapangan kompetisi kemajuan, sekurang-kurangnya diperlukan 100.000 doktor (sekarang baru terdapat sekitar 23.000 doktor) dengan basis riset cemerlang untuk membangkitkan gairah inovasi dan kreasi. Tujuannya untuk mendorong negara ke status innovation driven sekaligus mengikis mentalitas bangsa konsumen. Lapangan kreativitas tidak mungkin tumbuh berkembang tanpa memperhatikan kecukupan manusia kreatif dan cerdas untuk mengarungi dan menghadapi geoekonomi global.
Pemberantasan korupsi juga tidak mungkin terus-menerus melalui pendekatan ad hoc, menguras energi, riuh rendah, tetapi tidak juga mengurangi kualitas dan kuantitasnya. Perkara ini adalah pertaruhan besar terhadap hidup-mati peradaban, di tengah pengingkaran kerusakan parah mentalitas aparat dan birokrat.
Pemimpin sejati tahu benar tugas esensialnya, yakni membangun persenyawaan hakikat antara cara dan tujuan. Mementingkan kelangsungan daripada ketergesaan, mengutamakan kedalaman struktur ketimbang terpukau standar-standar fisik dan numerik simplistis. Lebih memuliakan rakyat ketimbang penghormatan dan pesona popularitas.
Pemimpin paripurna memahami jawaban kerinduan rakyatnya untuk bebas dari tirani kekuasaan dan belenggu kapital yang terus melanggengkan kemiskinan struktural pada bagian terbesar rakyat. Pemimpin ini cakap menempatkan harga diri rakyatnya agar tak terkepung keserakahan modal dan permainan bengis kekuasaan.
Penyair besar Kahlil Gibran mengejawantahkan cintanya pada kemanusiaan dan kehidupan lewat puisi. Pemimpin besar berpuisi melalui perbuatan-perbuatan besar yang menerbitkan harapan sembari mengenyahkan beban utang kemanusiaan dan peradaban, baik yang diperbuatnya maupun oleh rezim-rezim sebelumnya.
Suwidi Tono
Koordinator Forum Menjadi Indonesia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010855206
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar