Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 26 Desember 2014

Renaisans (Daoed Joesoef)

PARA politisi dan partai politik di Indonesia kelihatan semakin menderita democratosis, suatu peradangan yang terjadi bila resistensi alami dari badan politika rapuh terhadap tekanan fulus dan tak peduli pada ide serta pandangan baru.
Gejala-gejalanya meliputi inkonsistensi dan inkontinuitas retorika dari para elite parpol dan peningkatan tingkat iritasi di kalangan politikus petahana ketika keseimbangan harmonial dari sistem politik terganggu. Para politikus cenderung menanggapi setiap strategi politik baru sebagai ekuivalensi sipil dalam mengusulkan perang ideologis. Sementara itu, para pemimpin parpol merasa tersinggung berhubung perubahan politik yang fundamental dianggap gugatan terhadap kepakaran yang mereka pupuk selama ini tentang bagaimana pengelolaan kepartaian.

Virus fulus
Virus itu mula-mula tampil ketika sehabis pesta besar demokrasi—pilpres, pileg, dan pilkada—mengungkapkan ada aneka cara berbeda menangani kompleksitas dari pilihan-pilihan demokratis. Sementara itu, rakyat dilatih percaya bahwa sistem multipartai paling efektif untuk memasok banyak pilihan sekaligus menyaring pemenang tulen yang bakal dipercaya memimpin negara di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dan, itu tak harus berupa suatu konsensus sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila.

Lalu, yang kalah dalam pemilu berusaha menyelamatkan muka dengan membersihkannya dari kotoran fulus-pembeli suara rakyat sambil menuding pihak pemenang bermain curang. Mereka tidak segan menghujani lawannya dengan tuduhan aneka dosa elektoral, padahal mereka sendiri belum tentu bersih dari dosa-dosa yang mereka kutuk itu. Dengan kata lain, the alleged Indonesian faith in the multi-party system tidak mengindahkan analisis dan kenyataan empiris.

Virus tampil semakin jelas dalam semua dinamika internal yang terjadi di kalangan PPP dan Golkar. Begitu destruktif dinamika itu hingga rumah kepartaian masing-masing terbelah dua. Jika sebuah rumah terbagi atau dibagi tanpa kehendak rumah itu sendiri, bangunannya menjadi goyah. Tentu banyak sebab yang saling menunjang ke arah itu. Namun, apabila ditelusuri dengan teliti dan jujur, akan ketahuan bahwa sebab utamanya—yang jadi hakikat virus tadi—adalah fulus.

Pemimpin parpol cenderung dipercayakan kepada orang yang berduit atau—sama buruknya—pada keturunan seorang pemimpin karismatis "tempo doeloe". Tidak heran kalau sang pemimpin menganggap kegiatan berpolitik itu sebagai suatu investasi finansial atau kedinastian. Tidak heran apabila dia lalu menentang at all costs jika ada usaha menyingkirkannya dari mahligai kepemimpinan. Dia merasa diperlakukan sebagai tebu, habis manis sepah dibuang, lebih-lebih jika orang-orang yang berkomplot untuk menjatuhkannya adalah mereka yang pernah turut menikmati secara pribadi uang yang telah dia curahkan ke kas partai. Semua tokoh yang sedang berseteru dengan dalih apa pun lupa bahwa orang tidak bisa menggerakkan parpol dengan semata-mata berbasis bisnis. Ia bagai human, seharusnya berjiwa.

Sejujurnya semua parpol kita dan elite yang mereka sodorkan sebagai pemimpin di setiap jenjang dan bidang pemerintahan dibesarkan dalam term kefulusan. Sepak terjang mereka tidak lagi bersendikan idealisme dan semangat juang kemerdekaan nasional yang sejati. Mereka sekarang "berjuang" dengan pamrih pribadi, kalau bisa diusahakan sampai tujuh keturunan.

Mereka sudah terputus dengan sumber asli perjuangan bersama. Adapun gerak perjuangan kolektif yang sehat seharusnya mirip alur sungai: terus mengalir ke finalitas yang dicita-citakan, tidak pernah ia terpisah barang sedetik dari sumber awalnya, asal-usul eksistensinya.

Kita perlu merehabilitasi kesinambungan ideal yang terputus sebagai kesinambungan itu merupakan satu keniscayaan untuk membasmi virus penyebab peradangan politik. Bagaimana Indonesia bisa sehat kalau ia dikelola politika sakit-sakitan?

Orang Swiss yang selama 500 tahun hidup demokratis, penuh kedamaian, dan cinta sesama memproduksi jam burung-burungan (cuckoo clock), yang mengingatkan mereka sejak bayi tentang keberadaan "waktu", satu nilai yang sangat berguna bagi pengaturan hidup human. Orang Italia yang selama 30 tahun hidup di bawah rezim Borgias yang diwarnai dengan intrik, teror, pembunuhan, dan pertikaian berdarah masih mampu menghasilkan Michelangelo, Leonardo Da Vinci, dan Renaisans.

Jam karet
Rakyat Indonesia yang sudah mengalami hidup merdeka selama 69 tahun masih berpegang pada jam karet, masih hidup kacau terus-menerus karena disetir oleh politikus dan parpol yang keblinger. Maka, sudah saatnya kita membenahi kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan mencetuskan renaissance, here and now or never.

Renaisans berarti kelahiran kembali. Yang harus kita lahirkan kembali adalah nilai/kebijakan yang dipesankan aneka peristiwa politik yang dahulu meratakan jalan perjuangan melawan penjajah dan kini kita akui sebagai "tonggak-tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan nasional". Semua ini sudah didokumentasi relatif baik, termasuk pernyataan arif dari para pendiri NKRI.

Rakyat Indonesia perlu menggali pesan-pesan yang dikandung oleh semua peristiwa tadi, menghayati, dan menjadikannya sebagai pemandu yang mencerahkan (Aufklärung) dalam menyiasati jalannya kehidupan bersama. Usaha ini memang tidak gampang dan, karena itu, kaum intelektual dan pemikir independen diharapkan dapat menuntaskan mission sacrée ini. Politika adalah terlalu penting dan serius untuk dibiarkan semata-mata menjadi urusan politikus dan parpol dalam menempuh kehidupan bersama.

Kebersamaan ini adalah hak-milik suatu rakyat. Namun, rakyat ini bukanlah sembarang kumpulan human yang bergabung dengan cara-cara sembarangan. Rakyat adalah suatu konsentrasi sejumlah besar manusia yang berasosiasi dengan suatu kesepakatan mengenai keadilan dan kemitraan demi kebaikan bersama. Sebab, utama dari asosiasi seperti ini bukanlah kelemahan individual, melainkan suatu spirit sosial tertentu yang ditanamkan oleh alam dari diri manusia.

Renaisans Indonesia dan Eropa sama, tetapi tidak serupa. Kesamaannya adalah usaha sadar dan sengaja untuk membangkitkan batang terendam. Batang ini berupa nilai-nilai andalan. Yang tidak serupa adalah konsen dalam usaha itu.

Metafora renaisans Eropa berupa penolakan setiap privilese mengakses kebenaran yang berlaku pada Abad Tengah sekaligus membiasakan kembali kegiatan intelektual menurut model khas dari rasionalitas keilmuan modern, pemulihan pembelajaran semasa Yunani Purba, dan penerapannya di ranah seni, akademia, arsitektur, dan kesusastraan orang modern.

Konsen kita mewujudkan renaisans adalah mengoreksi gerakan politika yang semakin jauh melenceng dari cita-cita semula yang serba luhur dari perjuangan kemerdekaan. Harga dari realisasi cita-cita ini sangat mahal dan sudah dibayar oleh Angkatan 1945 dengan pengorbanan jiwa dan oleh angkatan-angkatan pejuang sebelumnya berupa pengasingan, pemerasan jasmani dan rohani oleh rezim kolonial.

Generasi pasca revolusi kemerdekaan harus menghargai rangkaian pengorbanan tadi. Kelompok intelegensianya pantang bersikap indifferent terhadap hal itu dan harus berinisiatif mengambil peran yang menentukan dalam gerakan renaisans yang mengoreksi kemelencengan berpikir dan berbuat dari elite politik yang selalu mengklaim terpanggil memimpin dan mengarahkan Ibu Pertiwi dengan cara-cara mereka sendiri. Apabila tak bertindak sesuai dengan yang diharapkan nurani kebangsaan itu, saya khawatir, sejarah kelak akan menarasikan era sekarang, bukan lagi sebagai zaman politik edan- edanan, melainkan zaman pengkhianatan intelektual-la trahison des intellectuels.

DAOED  JOESOEF
Alumnus. Université Pluradisciplinaires Panthéon-Sorbonne

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010556875
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger