Dalam pembantaian anak-anak sekolah di Pakistan, organisasi pelakunya mengklaim sebagai balas dendam. Begitu juga dalam penyanderaan dua warga Australia yang berakhir kematian. Dua contoh kebiasaan lumrah-manusiawi: balas-membalas dan bunuh-membunuh, pun atas nama keyakinan.
Yang lumrah-manusiawi itu dilihat sebagai hal yang wajar, bagian dari survival bertahan, sesuatu yang amat tipis batasnya dengan keserakahan dan ketamakan.
Melawan arus umum yang lumrah-manusiawi itu sesuatu yang luar biasa. AS yang jemawa sebagai "polisi dunia" merasa bertanggung jawab atas keselamatan dunia dari merebaknya terorisme, menempatkan balas dendam sebagai pilihan pertama. Begitu juga Pakistan menyusul kejadian di Peshawar, mungkin berbeda dengan Australia.
Apakah balas dendam merupakan jalan satu-satunya? Apakah kejahatan luar biasa (korupsi, terorisme, narkoba) harus diatasi (dibalas) dengan hukuman mati sebagai bentuk hukuman maksimal? Dalam etika keagamaan, dikatakan pemilik kehidupan adalah Sang Pencipta sehingga hukuman mati tidak bisa diselenggarakan. Petuah klasik, hadapi kebencian dengan empati dan kasih. Mengasihi musuh lebih sulit daripada mengasihi sahabat.
Sebaliknya dalam kondisi riil, penegakan hukum maksimal sebaiknya didasarkan atas semangat demi kehidupan bersama lebih beradab. Dengan semangat itu, terhadap kasus-kasus kejahatan luar biasa yang berdampak pada tergerusnya kehidupan yang beradab, bisa dilakukan eksekusi hukuman mati bagi terpidana mati yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Logika itu tidak diikuti semua negara dan bangsa. Di kita, masih ada pro dan kontra, apalagi ketika harus dilakukan eksekusi terhadap beberapa pelaku kejahatan narkoba akhir tahun ini. Asas keadilan—prosedural ataupun rasa keadilan publik—sebaiknya jadi penjuru keputusan setiap proses peradilan, jauh dari naluri balas dendam dan bunuh-membunuh.
Sosok Ibu Teresa (1910-1997) dari Kalkutta contoh klasik melawan arus umum balas-membalas dan bunuh-membunuh. Yang dilakukannya adalah luapan kasih-Nya, penghargaan atas kehidupan, sehingga minimal setiap orang bisa mempersiapkan kematiannya dengan lebih baik. Semua atas dasar kasih, dan Ibu Teresa merasa dirinya hanya sebagai "pensil" Tuhan. Ibu Teresa mempertemukan berbagai kepentingan atas dasar kasih kehidupan.
Kelahiran Yesus dari Nasareth 2014 tahun yang lalu merupakan peristiwa iman bagi seluruh umat Kristiani. Selalu bisa ditemukan aktualitasnya dalam tataran aktual dan kontekstual. Atas dasar kasih, kita becermin pada Beata (Yang Berbahagia) Ibu Teresa: Kasih itu segalanya!
Selamat Hari Natal 2014!
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010852490
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar