Menurut saya, kebijakan tersebut tidak salah, dengan dua alasan. Pertama, pemerintah harus menghentikan "kegilaan" subsidi BBM pada 2014 yang, jika dibiarkan, angkanya sudah tidak masuk akal: sekitar Rp 250 triliun. Kenaikan harga BBM bersubsidi seharusnya sudah bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya, misalnya pada pertengahan 2014. Menaikkan harga pada November 2014 sesungguhnya sangat terlambat karena pada titik tersebut subsidi sudah mencapai Rp 220 triliun. Ini juga merupakan "kerusakan" ekonomi.
Angka ini sulit ditoleransi sehingga menimbulkan persepsi negatif oleh pasar, yang terekspresikan melalui pelemahan rupiah. Kalau pemerintah membiarkan kondisi ini berlarut-larut, kepercayaan pasar terhadap kondisi fiskal dan kredibilitas pemerintah bakal runyam. Dampaknya bisa berupa pelarian modal, terutama ke Amerika Serikat (
Kedua, meski harga minyak dunia sudah meluncur jatuh dari 105 dollar AS per barrel (Juni 2014) ke 80 dollar AS per barrel (Oktober 2014), sulit membayangkan penurunan harga masih terus berlanjut. Bahkan, sekarang pada level yang tak terbayangkan, 55 dollar AS per barrel. Saat pemerintah menaikkan harga BBM pada 18 November 2014, masih ada keyakinan kuat harga minyak dunia bakal kembali ke level "normal", yakni 90 dollar AS per barrel atau setidaknya 80 dollar AS per barrel.
Pasalnya, dunia kelebihan pasokan minyak 2 juta barrel per hari. Apalagi, ditemukan cadangan minyak nonkonvensional di AS berupa
Oleh karena itu, saya setuju jika pemerintah "hanya" berani memproyeksikan harga minyak dunia 70 dollar AS per barrel pada APBN 2015. Proyeksi ini tergolong logis dan aman. Berdasarkan asumsi itu, diperoleh harga premium Rp 7.600 per liter. Jika saja pemerintah lebih "berani" mempertajam asumsi, misalnya harga minyak dunia diproyeksikan 60 dollar AS per barrel, bisa jadi harga eceran BBM premium maksimal Rp 7.000 per liter. Dengan kata lain, dengan harga minyak sekarang 55 dollar AS per barrel, sesungguhnya pemerintah mendapatkan laba minimal Rp 600 per liter.
Salahkah pemerintah dalam posisi sekarang "menarik laba"? Tidak apa-apa karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa harga minyak dunia 55 dollar AS per barrel bakal bertahan lama. Selalu ada kemungkinan harga kembali naik meski tampaknya sulit menembus 80 dollar AS per barrel. Silakan saja pemerintah kini "menabung" dari laba penjualan BBM premium, tetapi uangnya kelak dialokasikan untuk menyubsidi BBM premium jika harga minyak dunia tiba-tiba naik, misalnya di atas 70 dollar AS per barrel.
Selagi mendapat momentum harga minyak dunia rendah, serta prospek ke depan juga tampaknya bakal rendah, pemerintah memang sebaiknya melepas subsidi BBM. Subsidi terpaksa dilakukan jika, misalnya, harga keekonomian mencapai Rp 8.000 per liter atau jika harga minyak dunia melampaui 80 dollar AS per barrel.
Saat ini, masyarakat mulai paham dan bisa menerima harga eceran BBM, misalnya, mencapai Rp 8.000 per liter. Yang penting, pemerintah segera mengembalikan dana penghematan Rp 270 triliun kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan infrastruktur, fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta proteksi terhadap penduduk miskin berupa transfer tunai langsung. Semua hal itu akan menjadi stimulus yang bisa menggerakkan angka pengganda perekonomian Indonesia.
Tambahan belanja infrastruktur oleh pemerintah setidaknya Rp 150 triliun, sebagai penambah alokasi sebelumnya Rp 200 triliun, sehingga total Rp 350 triliun benar-benar akan menjadi motor penggerak perekonomian yang signifikan pada 2015. Tugas pemerintah agar dana sebesar itu benar-benar dapat diserap secara efektif.
Sementara itu, meski inflasi tahunan kini 8,36 persen, Bank Indonesia jangan serta-merta menaikkan suku bunga acuan BI Rate. Pelaku pasar kini menatap inflasi ke depan (
Tidak ada komentar:
Posting Komentar