Jakarta, misalnya, kini telah "menyatu" dengan Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi ("Jabodetabek") dan membentuk sebuah "megapolitan". Demikian pula Semarang dengan "Kedungsepur" (Kendal, Demak, Ungaran, Semarang, Purwodadi), atau Surabaya dengan "Gerbang Kertasusila" (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan).
Menurut Cohen (2006), pada awal abad XX hanya ada 16 kota di dunia yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa, tetapi kini ada sekitar 400 kota di dunia yang berpenduduk satu juta jiwa atau lebih. Pertumbuhan kota-kota kecil yang menyatu jadi megaurban ini tampaknya belum mampu diatasi permasalahannya oleh pemerintah setempat.
Menurut Laquian (2008), masalah yang menonjol dalam memanajemeni kawasan megaurban, pertama, tak terselesaikannya masalah-masalah fisik seperti pembangunan jalan, saluran, perumahan, pembuangan sampah, dan drainase. Kedua, sedikitnya perencana dan perancang kota yang memiliki visi komprehensif yang dapat memadukan antara berbagai kepentingan sosial, ekonomi, lingkungan, untuk diformulasikan menjadi satu kesatuan dalam merancang dan merencana kota. Ketiga, perencanaan dan perancangan wilayah dan kota dipengaruhi oleh konsep yang masih mendikotomikan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Keempat, masih belum terkoordinasinya antarhierarki dan tingkatan institusi dan pemerintahan dalam membangun kota dan daerah, serta fragmentasi sektoral. Berbagai peraturan perundangan dan produk perencanaan tidak lintas sektoral dan lintas batas administratif. Sialnya, permasalahan kota yang demikian kompleks tersebut tidak diimbangi dengan kualitas wali kota yang cerdas dan jujur.
Keunggulan informasi
Gagasan kota cerdas diharapkan akan mampu ikut mengatasi gap persoalan tersebut. Konsep "kota cerdas" yang digagas ITB, PGN, dan
Konsep ini terdiri atas tiga area. Pertama, cerdas secara ekonomi. Maksudnya, kota ditopang oleh perekonomian yang baik dengan memaksimalkan sumber daya atau potensi kota, di antaranya adalah layanan teknologi informasi dan komunikasi, tata kelola, dan peran sumber daya manusia yang baik.
Kedua, masyarakat sosial cerdas yang memiliki keamanan, kemudahan, dan kenyamanan dalam melakukan interaksi sosial dengan sesama masyarakat ataupun dengan pemerintah.
Ketiga, masyarakat lingkungan cerdas. Maksudnya adalah masyarakat yang memiliki tempat tinggal layak huni, sehat, hemat energi, serta pengelolaan energi dengan dukungan layanan teknologi informasi dan komunikasi, pengelolaan, dan peran sumber daya manusia yang baik.
Konsep kota cerdas ini juga diamini oleh keunggulan dari sebuah kota yang tak hanya unggul aspek ekonomi sumber daya alam, tetapi justru keunggulan informasi yang jadi basisnya. Peter Hall dan Kathy Pain (2006) mengenalkan istilah
Partisipasi dan pemimpin
Kota cerdas tidak akan banyak berarti jika partisipasi masyarakat dan hadirnya pemimpin (wali kota) yang menggerakkan tidak ada. Banyak contoh kota gagal dibangun karena tidak dibarengi gerakan massal dari masyarakatnya. Akibatnya berbagai kekerasan melanda kota-kota besar di negeri ini. Demikian pula dalam hal menata para pedagang kaki lima atau berbagai penggusuran di kota-kota besar yang menyebabkan berbagai konflik horizontal ataupun vertikal. Kasus seperti ini mestinya menyadarkan pemerintah kota agar berendah hati untuk mengubah strategi pembangunan: dari yang sifatnya otoriter-birokratik menjadi partisipatif-humanis.
Ada beberapa alasan mengapa pendekatan terakhir ini dipilih. Selain soal hak asasi, juga berbagai fakta menunjukkan justru dengan perencanaan partisipatif pemerintah kota diuntungkan karena akan menghemat banyak biaya. Sebagai contoh, Kota Semarang menyerahkan sebagian urusan penanganan rob dan banjir dengan pompanisasi kepada warganya. Karena warga berkepentingan terhadap kenyamanan wilayahnya, mereka berusaha sekuat tenaga memelihara dan menjaga alat tersebut. Berbeda jika hal ini dilakukan oleh aparat birokrasi, sudah pasti hasilnya tidak maksimal.
Paul Davidoff juga mengusulkan perencanaan kota yang bersifat advokatif, bukan hanya serba mengatur atau menetapkan dari atas (regulatif). Perencanaan advokatif membuka peluang bagi kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini jarang didengar aspirasinya untuk menyampaikan pendapat atau usul sesuai dengan kepentingannya, untuk disenyawakan dengan kepentingan yang lain. Dengan kata lain, perencana kota bertindak bagaikan seorang "advokat", agar proses perencanaan kota tidak lagi bersifat otoriter, tetapi egaliter.
Demikian pula di Inggris sejak 1970-an telah dikembangkan gagasan perencanaan komunitas yang didukung para perencana kota dari kalangan perguruan tinggi. Tujuannya agar rencana kota dapat mengakomodasikan keinginan dan aspirasi kaum papa sekalipun.
Kecaman atas para perencana kota yang tak aspiratif umumnya karena seringnya penggunaan istilah yang
Contoh lain perencanaan kota partisipatif yang fenomenal adalah karya (alm) Mangunwijaya dalam memberdayakan masyarakat lembah Code di Yogyakarta. Masyarakat yang tinggal di bantaran kali diajak memperkuat tanggul sekaligus menghijaukannya, serta membuat bangunan- bangunan rumah sederhana yang indah dan sehat. Karya ini ternyata sukses, daerah Code menjadi bersih dan indah, sungai terawat baik, dan kehidupan sosial juga mulai berubah.
Kenyataannya, inovasi dan kreativitas malahan terbentuk dalam komunitas masyarakat kecil. Demikian pula dengan karya Hasan Poerbo dengan
SARATRI WILONOYUDHO
GURU BESAR ILMU KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN PERKOTAAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Kota Cerdas".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar