Wacana perombakan kabinet kini mulai bergulir, padahal pemerintahan hasil Pemilu 2014 baru berusia tujuh bulan. Seberapa penting perombakan kabinet? Apakah sudah waktunya dilakukan oleh Presiden Joko Widodo?
Seperti diamanatkan oleh Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945, menteri-menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Jadi, presiden memiliki otoritas penuh untuk mengangkat siapa saja yang dianggap layak dan memiliki kualifikasi di bidangnya sebagai pembantu presiden. Selain itu, presiden juga mempunyai kewenangan penuh untuk memberhentikan para menteri yang dianggap tidak layak dan berkinerja buruk.
Dengan demikian, perombakan kabinet adalah suatu "rutinitas" yang melekat pada otoritas seorang presiden dalam skema demokrasi presidensial. Artinya, presiden dapat mengangkat dan memberhentikan menteri negara kapan saja dan terhadap siapa saja yang bekerja tidak optimal, tanpa harus dibebani oleh berbagai intrik politik, baik di lingkar dalam maupun lingkar luar Istana.
Namun, problemnya, dalam kehidupan politik bangsa kita perombakan kabinet telanjur direspons, disikapi, dan dipersepsikan sedemikian rupa, seolah-olah memiliki makna simbolik tertentu, sehingga segenap jagat politik menunggu momen tersebut dengan harap-harap cemas. Pergunjingan publik biasanya bukan hanya terkait soal siapa dan menteri apa yang bakal didepak, dan siapa pula yang akan menggantikan, melainkan juga disertai rumor yang melatarbelakangi pilihan sang presiden. Intrik politik lebih keras dan bahkan cenderung vulgar acap kali berkembang di lingkungan partai-partai pengusung presiden dan wakil presiden.
Tidak mengherankan jika tensi politik di sekitar perombakan kabinet sering kali tidak kalah riuh dan gaduh dibandingkan dengan saat menjelang pembentukan kabinet.
Trauma perombakan kabinet
Pertanyaannya, mengapa perombakan kabinet menjadi isu politik yang begitu sensitif dalam kehidupan bangsa kita? Pertama, pada era Kabinet Persatuan (1999-2001), Presiden Abdurrahman Wahid begitu sering memberhentikan para menteri, tetapi tak jelas alasan pencopotannya. Hal ini menimbulkan kekecewaan parpol pendukung yang menterinya dicopot oleh almarhum Gus Dur.
Seperti diketahui, pemberhentian Presiden Gus Dur oleh MPR atas usul DPR hasil Pemilu 1999, antara lain, dipicu oleh perombakan kabinet yang tidak mengenal "aturan" ini. Perombakan kabinet ala Gus Dur ini akhirnya menjadi pengalaman traumatik bagi parpol pendukung pemerintah.
Kedua, kabinet-kabinet pada era reformasi, sejak pemerintahan Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada dasarnya adalah kabinet koalisi parpol pendukung presiden. Parpol pendukung berkepentingan agar memperoleh kompensasi politik yang layak dalam bentuk jatah menteri sesuai kontribusi dan "keringat" mereka dalam mendukung keterpilihan sang presiden (dan wakilnya). Karena itu, ketika ada momen perombakan kabinet, parpol pendukung berharap agar jatah menteri mereka bertambah atau minimal tidak berkurang dari sebelumnya.
Ketiga, berbeda dengan kepentingan parpol pendukung, publik dan berbagai elemen masyarakat sipil justru berharap agar presiden mengurangi jumlah menteri yang berasal dari parpol agar terbentuk kabinet profesional yang hanya loyal terhadap pemerintah dan negara serta mengabdi untuk bangsa kita. Kepentingan parpol, yang juga beragam, sering kali bertabrakan dengan kepentingan publik terkait isu perombakan kabinet. Kegaduhan politik acap kali muncul dari gesekan berbagai kepentingan yang kemudian turut "digoreng" oleh berbagai media yang lebih mencari sensasi ketimbang akurasi.
Keempat, meskipun berbagai pihak yang berbeda kepentingan sangat antusias dalam menyikapi perombakan kabinet, pengalaman selama ini memperlihatkan bahwa perombakan kabinet tidak pernah bisa memuaskan semua pihak. Perombakan kabinet pada era Gus Dur bahkan berujung kejatuhan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tiga periode tersebut dari jabatan presiden. Mungkin karena trauma dengan pengalaman Gus Dur, Presiden Megawati (2001-2004) menghindari perombakan kabinet. Karena itu, peristiwa menonjol pada era Megawati bukanlah perombakan kabinet, melainkan mundurnya Menko Polkam SBY dari Kabinet Gotong Royong pada 11 Maret 2014 sebagai akibat konfliknya dengan Megawati menyusul meningkatnya popularitas SBY sebagai calon presiden menjelang Pemilu 2004.
Atas dasar pengalaman Gus Dur dan Megawati, Presiden SBY (2004-2014) sangat hati-hati dalam melakukan perombakan kabinet. Dalam beberapa kali perombakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) periode pertama (2004-2009), para menteri yang diganti tidak sepenuhnya terkait kinerja mereka, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan keutuhan koalisi parpol pendukung SBY. Pada periode kedua (2009-2014), SBY bahkan lebih memilih mengorbankan pembantu terbaiknya, Menkeu Sri Mulyani, ketimbang "menghukum" Partai Golkar, yang bersama-sama dengan Partai Keadilan Sejahtera, mempermalukan pemerintah di DPR terkait skandal Bank Century.
Demi hubungan baik dengan Aburizal Bakrie (Golkar) dan harmoni semu sekretariat gabungan koalisi parpol pendukung pemerintah, SBY membiarkan menkeu terbaik se-Asia itu "mundur" dari kabinet dan menerima "tawaran" sebagai Direktur Eksekutif Bank Dunia. Pada perombakan kabinet berikutnya, akhir Oktober 2011, Presiden SBY bahkan hanya menambah formasi wakil menteri (wamen) dari semula enam orang menjadi 19 wamen.
Problem Joko Widodo
Persoalan hampir sama, bahkan sangat mungkin lebih pelik dan kompleks, akan dihadapi Presiden Jokowi terkait perombakan kabinet. Problem itu, pertama, Jokowi adalah presiden pertama pada era reformasi yang tidak menjabat pimpinan parpol.
Dalam sebutan kurang tepat yang dilontarkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, Jokowi tak lebih dari "petugas partai" yang tak berkuasa atas parpol yang dipimpin untuk keempat kalinya oleh putri Bung Karno itu. Sementara Gus Dur (PKB), Megawati (PDI Perjuangan), dan SBY (Demokrat) adalah ketua-ketua umum serta ketua dewan pembina parpol mereka masing-masing saat terpilih menjadi presiden.
Kedua, Jokowi tidak hanya tidak memiliki hubungan harmonis dengan PDI Perjuangan sebagai basis politiknya, tetapi juga mempunyai relasi cenderung konfliktual dengan Megawati dan jajaran partai banteng. Hubungan tidak harmonis ini berimbas pula dalam relasi dengan parpol-parpol lain yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Itu artinya, dalam soal perombakan kabinet, Jokowi tidak hanya harus melayani kepentingan PDI Perjuangan dan Megawati, tetapi juga Partai Nasdem, PKB, dan Partai Hanura. PDI Perjuangan, misalnya, sebagai parpol pengusung Jokowi-Kalla yang merasa paling "berkeringat", tentu berharap agar "jatah" menteri bagi mereka bertambah jika perombakan kabinet dilakukan Presiden Jokowi.
Ketiga, Presiden Jokowi sendiri sebenarnya tidak begitu puas dengan formasi Kabinet Kerja yang diumumkannya 26 Oktober 2014. Menurut informasi yang saya peroleh dari sumber di lingkungan Istana, hanya 50-60 persen dari 34 menteri kabinet tersebut yang benar-benar dipilih Jokowi. Selebihnya wakil-wakil dari parpol koalisi pengusung dan "titipan" dari Megawati dan Wapres Jusuf Kalla yang harus diakomadasi di dalam kabinet.
Keempat, Presiden Jokowi harus menghitung pula kompensasi politik bagi parpol yang mengalihkan dukungan politiknya ke Jokowi-Kalla, baik karena pergantian ketua umum parpol maupun perubahan haluan politik. Persoalannya, ketika PDI Perjuangan dan KIH tidak total mendukung pemerintahannya, Jokowi justru memperoleh dukungan politik dari parpol-parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), baik secara sendiri-sendiri maupun secara kelompok. Mengingat tidak ada makan siang gratis dalam politik, wajar saja jika ada parpol yang berharap agar Presiden Jokowi membuka peluang unsur KMP untuk bergabung ke dalam kabinetnya.
Penumpang gelap
Di luar semua faktor di atas, tantangan terberat Jokowi adalah melunakkan hati Sang Ibu, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati. Dalam pidato di Kongres Bali, Megawati menyinyalir adanya "penumpang gelap" dalam pemerintahan Jokowi, suatu sinyal politik yang memperlihatkan kekecewaan Mega atas orang-orang pilihan Jokowi di lingkar dalam Istana. Jika sinyalemen Mega itu benar, tentu tidak mudah bagi mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu mengocok ulang kabinet yang bisa memuaskan semua pihak.
Oleh karena itu, perombakan kabinet belum tentu bisa menjadi solusi bagi efektivitas dan produktivitas pemerintahan Jokowi-Kalla. Perombakan kabinet tidak mustahil akan menjadi sumber konflik dan kegaduhan politik baru yang tidak produktif bagi bangsa kita. Dalam kaitan itu, pilihan terbaik bagi Presiden Jokowi saat ini adalah mendorong para pembantunya agar lebih fokus, mengurangi pencitraan dan kontroversi, serta mempercepat penyerapan anggaran dan belanja pemerintah agar perekonomian yang kini lesu darah bisa segera bergairah, bangkit, dan pulih kembali.
Para menteri yang tidak fokus dan berkinerja buruk tentu harus diganti. Namun, momentum perombakan itu sebaiknya dilakukan setelah kabinet setahun bekerja pada Oktober 2015.
SYAMSUDDIN HARIS
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Problem Perombakan Kabinet".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar