Rencana tersebut tentunya sangat mengejutkan masyarakat. Pertama
Kedua
Jika dilihat, posisi utang Indonesia terus bertambah signifikan. Tahun 2013, jumlah utang pemerintah Rp 2.371,39 triliun. Dalam setahun di 2013, utang pemerintah berarti naik Rp 393,68 triliun dibandingkan dengan posisi akhir 2012 sebesar Rp 1.977,71 triliun. Pada Januari 2015, utang pemerintah Rp 2.702,29 triliun. Pada posisi terakhir, utang Indonesia didominasi surat berharga yang mencapai Rp 2021,02 triliun atau 74,8 persen total utang negara. Sisanya, Rp 681,27 triliun atau 25,2 persen, merupakan utang luar negeri. Utang luar negeri memiliki dua sumber utama: bilateral dan multilateral. Utang bilateral didominasi Jepang, Perancis, dan Jerman. Utang multilateral berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Pembangunan Islam.
Istilah mitigasi sengaja diambil sebagai judul tulisan ini. Pada umumnya, istilah mitigasi digunakan dalam penanganan kebencanaan. Mitigasi bencana berarti serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana. Dalam konteks ini, mitigasi utang negara merupakan upaya mengurangi risiko utang negara. Semakin tinggi jumlah utang, akan berpotensi menimbulkan berbagai konsekuensi dan risiko terhadap Indonesia. Pada jangka pendek, utang dapat memberikan kontribusi cukup berarti bagi pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Namun, risikonya, pada jangka panjang akumulasi dari utang pemerintah ini harus dibayar melalui APBN.
Dampak negatif ke pertumbuhan
Analisis dari
Meningkatnya utang pemerintah berarti juga semakin memberatkan posisi APBN karena utang itu harus dibayar beserta bunganya. Penarikan pinjaman luar negeri baru akan berdampak pada meningkatnya stok pinjaman luar negeri. Peningkatan stok pinjaman luar negeri akan berdampak pada beban bunga dan cicilan pinjaman luar negeri. Ironisnya, semasa krisis ekonomi, utang luar negeri itu harus dibayar dengan menggunakan bantuan dana dari luar negeri, yang artinya sama saja dengan utang baru.
Persoalan lain yang tak dapat dihindari adalah motivasi negara donor dalam memberikan pinjaman pada sebuah skim utang luar negeri. Pada setiap aliran dana yang diberikan pastilah melekat agenda tertentu. Setidaknya ada dua hal penting yang memotivasi dan melandasi mengalirnya bantuan luar negeri ke negara-negara debitor, yakni motivasi politik dan motivasi ekonomi. Keduanya punya kaitan sangat erat satu sama lain. Motivasi politik tentunya akan memasung kebijakan-kebijakan strategis pemerintah, sedangkan motivasi ekonomi banyak berdampak pada eksplorasi sumber daya alam nasional.
Beberapa riset menunjukkan, utang luar negeri juga membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Rana dan Dowling (1988) menyimpulkan, pengaruh bantuan luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi adalah negatif di sembilan negara Asia, yakni Myanmar, Tiongkok, India, Korea Selatan, Nepal, Filipina, Singapura, Sri Lanka, dan Thailand.
Kesimpulan serupa juga diperoleh dari penelitian Karagol (1999) dengan metode 3SLS tentang
Agustin Kwasi Fosu (2001) dalam studinya menemukan beban utang yang semakin besar telah berkontribusi terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi, terutama di negara-negara Sub-Sahara Afrika. Hasil penelitian Sachcs (1993) juga menghasilkan kesimpulan yang sama.
Selain berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, utang luar negeri juga membawa dampak pada iklim investasi suatu negara. Penelitian Javed dan Sahinoz (2005) di Turki,
Berbagai risiko atas utang negara haruslah diantisipasi dengan baik. Jangan sampai utang pemerintah menjadi menumpuk tanpa prediksi dan berakibat pada terjadinya gelembung utang pemerintah (
Oleh karena itu, diperlukan mitigasi utang negara lewat tata kelola dan manajemen utang pemerintah. Dengan mitigasi ini dikaji apakah perencanaan utang seperti yang dilakukan tahun ini sudah tepat. Apakah nilainya yang mencapai Rp 451,8 triliun memang dibutuhkan. Demikian pula, apakah
Tak dikelola dengan baik
Mengingat sejarah penerbitan obligasi oleh pemerintah, terdapat beberapa jenis obligasi lama yang oleh sebagian kalangan dinilai tidak dikelola dengan baik. Beberapa jenis obligasi itu adalah Obligasi Republik Indonesia 1950, Obligasi Berhadiah 1959, Obligasi Konsolidasi 1959, dan Obligasi Pembangunan 1964. Sebagian kalangan menilai, pemerintah pada waktu itu tidak mampu membayar penarikan obligasi tersebut. Pemerintah Orde Lama dinilai
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sepertinya sudah menyadari urgensi dari mitigasi utang negara. Karena itu, pada 2007 dibentuk satu direktorat baru di Kementerian Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU). Direktorat ini memiliki tugas merumuskan kebijakan di bidang pengelolaan utang dan sebagai pelaksana kebijakan di bidang pengelolaan utang. Pada prinsipnya, DJPU memiliki peran penting dalam memitigasi utang negara, yaitu dalam hal mengatur besaran kemampuan bayar dan jadwal pembayaran agar tidak bertumpuk.
MOH ROZAQ ASYHARI, KANDIDAT DOKTOR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA; SEDANG MENELITI SURAT UTANG NEGARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar