Keprihatinan yang sama baru-baru ini juga diartikulasikan oleh menteri keuangan yang baru, Bambang Brodjonegoro. Sayang, kedua menkeu tidak mengungkap lebih jauh identitas perusahaan yang tidak bayar pajak itu. Kalau serius mau mengembangkan tata kelola pemerintahan terbuka dan kebijakan pengampunan pajak (
Dengan dibukanya identitas perusahaan kepada publik, persoalannya akan bergeser, ia bukan lagi persoalan Kemenkeu atau lebih spesifik Ditjen Pajak semata, melainkan sudah menjadi persoalan publik. Publik-yang biasanya diwakili organisasi masyarakat sipil dan media-akan memberikan tekanan yang cukup dan efektif kepada anak perusahaan
Apakah tidak bayar pajak empat ribuan perusahaan itu semata terkait problem ketidakpatuhan fiskus ataukah lebih karena ketidakmampuan pemerintah memungut pajak? Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mengatasinya? Pertama, ini bukan melulu soal ketidakpatuhan fiskus atau ketidakmampuan pemerintah memungut pajak MNC. Lebih serius dari itu , kita sedang berhadapan dengan MNC yang mengembangkan strategi perencanaan pajak yang dikenal dengan istilah
Menyulap dan menggeser keuntungan
BEPS pada intinya menyangkut dua hal. Pertama, bagaimana perusahaan multinasional menyulap keuntungan sampai rendah atau "hilang" sama sekali sehingga luput dipajaki. Kedua, bagaimana menggeser keuntungan dari kawasan bertarif pajak tinggi ke kawasan yang bertarif pajak rendah atau bebas pajak sama sekali. Dua hal ini berakibat pada tergerusnya pendapatan negara dari pajak. Dari sisi perusahaan, BEPS terjadi karena motif MNC untuk mendapatkan profit maksimum. Dari sisi rezim pajak, kerangka kelembagaan, dan tarif pajak, misalnya, antarnegara memang berbeda-beda. Aturan pajak yang kedaluwarsa yang tidak bisa mengikuti perkembangan dan kemajuan ekonomi digital juga jadi penyebab BEPS.
Tarif pajak di Indonesia 25 persen dari pendapatan korporasi, di Brasil 15 persen, dan Kanada 15 persen. Kawasan sekretif, seperti Swiss, Luksemburg, Hongkong , dan Singapura, jauh lebih rendah, bahkan nol persen. Menyulap dan memindahkan keuntungan dilakukan dengan mencari kelemahan, kesenjangan, dan ketidaksinkronan regulasi perpajakan internasional dan nasional. Kelemahan, kesenjangan, dan ketidaksesuaian peraturan pajak ini yang kemudian dieksploitasi MNC.
Modus untuk menyulap dan memindahkan keuntungan MNC bisa melalui kombinasi cara ini:
Hilangnya sebagian pendapatan negara dari pajak dan berkurangnya kemampuan membiayai pembangunan merupakan salah satu dampak serius yang ditimbulkan BEPS. Dalam konteks kesenjangan ekonomi antarnegara atau antarkelompok masyarakat , fenomena ini makin memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Tahun 2013, Oxfam, pada Forum Ekonomi Dunia, meliris laporan yang menyebutkan 1 persen orang paling kaya di dunia menguasai sekitar 48 persen kekayaan dunia. Pada 2016 situasinya bisa lebih buruk, di mana penguasaan aset oleh 1 persen orang terkaya itu akan di atas 50 persen. Kontribusi dan kontrol MNC terhadap perekonomian dunia semakin besar dan kuat, bisa melampaui negara. Kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang juga kian lebar.
Tidak sepenuhnya tepat mengaitkan perilaku MNC dengan ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin, demikian juga antara negara kaya dan negara maju. Hal ini karena individu kaya, MNC, dan negara adalah tiga entitas dengan karakteristik dan kepentingan berbeda meski sering terlihat negara dijadikan kendaraan bagi MNC untuk menegakkan eksistensi dan ekspansinya di suatu negara. Umumnya, jika ada satu MNC yang diusik kepentingan dan eksistensinya, pemerintah di mana MNC itu bermarkas akan ikut campur tangan.
Namun, yang paling serius dan mengkhawatirkan adalah fenomena ini jelas menunjukkan hilang atau lemahnya kemampuan mempertahankan dan mengontrol kedaulatan ekonomi kita. Bagaimana mungkin empat ribuan entitas bisnis asing yang mencari dan mendapat untung dari wilayah dan sumber daya kita melenggang begitu saja tanpa bayar pajak ? Di mana letak kedaulatan ekonomi bangsa ini? Kita sudah menjadi anggota dan terlibat dalam skema kerja sama multilateral, seperti forum G-20 atau kerja sama antara forum G-20 dan OECD. Sejak 2013, OECD telah mengembangkan sebuah dokumen rencana aksi mengatasi BEPS. Dalam pertemuan G-20 di Brisbane, November 2014, rencana aksi itu diperluas menjadi Proyek BEPS OECD/G-20. Proyek ini merupakan 15 rencana aksi mengatasi BEPS secara kolektif.
Rencana aksi itu di antaranya menangani tantangan perpajakan terkait perkembangan ekonomi digital, menetralkan pengaruh HMA, memperkuat peraturan tentang perusahaan asing, membatasi tergerusnya pendapatan melalui pengurangan bunga dan pembayaran keuangan lain, mengembangkan metodologi untuk mengumpulkan dan menganalisis data BEPS dan tindakan mengatasinya, mewajibkan fiskus mempublikasikan rencana agresif pajaknya,
Mengembangkan Neo-Trisakti
Secara prinsip dan teknis kita bisa mengadopsi dan menerapkan langkah-langkah itu. Kualitas sumber daya manusia bisa ditingkatkan. Konsultan terbaik bisa direkrut. Seperti yang dilakukan Lee Kuan Yew yang merekrut ekonom Belanda, Dr Albert Winsenmius, yang jitu memberi resep untuk pengembangan ekonomi Singapura. Perangkat lunak bisa dibeli dan dibangun. Peraturan bisa diadakan. Secara parsial dan inkremental, sebagian rencana aksi OECD/G-20 sudah dikerjakan pemerintah saat ini. Misalnya, kita sudah memiliki aturan tentang TP, dokumentasi TP, dan pertukaran informasi.
Akan tetapi, jawaban yang dibutukan untuk mengatasi masalah ini bukan melulu pada tataran kerangka kelembagaan, kebijakan, prosedur, administrasi, dan perangkat lunak. Lebih dari itu, apa jawaban ideologis dan politis kita terhadap persoalan itu ? Secara tidak langsung pertanyaan itu menyangkut dua hal. Pertama, tentang eksistensi, ekspansi, dan pertumbuhan perusahaan multinasional. Kedua, bagaimana kita menyikapi hal tersebut.
Apakah kita tidak terlambat mencari jawaban politis dan ideologis persoalan itu di tengah matinya pertarungan ideologis, kepungan MNC yang menggurita di berbagai sektor, dan tumpukan utang luar negeri ribuan triliun rupiah? Jauh sebelum MNC berkembang seperti sekarang, hampir enam dekade lalu Presiden Soekarno sudah bicara tentang Trisakti untuk bangsa ini: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.
Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengusung konsepsi Trisakti dalam kampanye pemilihan presiden dan setelah kemenangannya. Konon, program pembangunan Nawacita turunan dari konsep Trisakti meski dalam praktiknya pemerintah memiliki keterbatasan dalam memahami, menafsirkan , dan menerjemahkan Trisakti Bung Karno ke dalam praksis pembangunan. Barangkali sudah saatnya mengembangkan proyek semacam Neo-Trisakti, pembaruan dan revitalisasi konsep dan praksis Trisakti.
Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Keputusan MK ini jelas merupakan aba-aba untuk pemulihan kedaulatan dan kontrol negara/pemerintah atas pengelolaan sumber daya air untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Ada MNC yang bergerak dalam usaha air minum terpengaruh oleh keputusan MK ini. Di sektor perikanan dan kelautan, Menteri Susi Pudjiastuti melakukan berbagai manuver, termasuk moratorium pemberian izin penangkapan ikan dan penenggelaman kapal pencuri ikan, untuk memulihkan kedaulatan dan kontrol kita atas perairan dan sumber dayanya.
Di sektor energi dan pertambangan, Kementerian ESDM memberikan hak pengelolaan Blok Gas Mahakam kepada Pertamina setelah puluhan tahun dipercayakan dan dikuasai perusahaan asing. Kita sedang menunggu gebrakan-gebrakan baru yang berani dan orisinal dari Kemenkeu untuk memulihkan kedaulatan dan kontrol kita atas MNC dan sumber daya ekonomi lain. Tentu langkah ini harus di dukung institusi lain, termasuk penegak hukum. Jangan sampai pengalaman Susi terulang, sudah lelah-lelah menangkap kapal pencuri ikan kelas kakap, ternyata pelakunya hanya dihukum ringan.
DEDI HARYADI
Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Pajak Korporasi Multinasional".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar