Rekomendasi ini berlaku untuk Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sengketanya tengah ditangani pengadilan. Dengan begitu, kubu mana pun yang gugatannya dikabulkan bisa ditetapkan sebagai pihak yang berhak mengajukan pencalonan dalam pilkada serentak gelombang pertama, 9 Desember 2015.
Namun, cukup amankah mengikuti rekomendasi itu? Sebab, putusan pengadilan yang dijadikan acuan bisa jadi bukan putusan yang berkekuatan hukum tetap (final). Putusan ini masih sangat mungkin diajukan banding sehingga putusannya bisa berubah. Oleh karena itu, putusan ini secara hukum dianggap berisiko, juga secara politik bisa menimbulkan polemik dan konflik yang berkepanjangan.
Sengketa partai
Komisi pemilihan sebaiknya tetap berpedoman pada putusan akhir sehingga tidak ada lagi upaya hukum yang digunakan pihak bersengketa. Dalam sengketa partai politik, jalur sengketa sendiri sudah ditentukan, sekaligus dengan limitasi waktunya. Seperti yang sudah dijalankan Golkar dan PPP, Mahkamah Partai menjadi pilihan pertama sebelum masuk lembaga peradilan. Langkah ini seperti mekanisme arbitrase sehingga jika belum diupayakan mekanisme internal, gugatan yang diajukan bisa dinyatakan prematur atau paling tidak diperintahkan kembali ke mekanisme Mahkamah Partai, seperti yang terjadi pada Golkar dan PPP.
Putusan Mahkamah Partai ini sifatnya final dan mengikat, kecuali jika perselisihan masih terus berlangsung. Oleh karena itu, masing-masing bisa menggugatnya ke pengadilan negeri. Tidak berhenti di situ, putusan pengadilan negeri pun bisa diajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang putusannya final dan mengikat. Agar proses penyelesaian tidak berkepanjangan dan memenuhi kepastian proses, Undang-Undang Partai Politik memberikan batasan waktu, yakni 60 hari di pengadilan negeri dan 30 hari di Mahkamah Agung.
Jalur ini yang mestinya ditempuh Golkar dan PPP dalam penyelesaian sengketa partai. UU Partai Politik juga tidak menyebut sama sekali soal Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai mekanisme penyelesaian sengketa kepengurusan. Namun, dalam konteks Golkar dan PPP, memang Menteri Hukum dan HAM tidak cukup bijaksana mengambil keputusan menggunakan kewenangannya dalam Pasal 23 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2011, yakni menetapkan keputusan menteri dalam waktu 7 hari.
Mestinya Menteri Hukum dan HAM tidak mengambil langkah politis, tetapi menunggu putusan hukum terlebih dulu. Bahwa, penetapan kepengurusan melalui keputusan menteri diambil dalam kondisi normal, saat tidak ada sengketa kepengurusan. Kalaupun ada sengketa, Menteri Hukum dan HAM harus menunggu selesainya mekanisme hukum dalam penyelesaian sengketa partai politik, yakni menunggu putusan pengadilan negeri dan Mahkamah Agung terlebih dulu.
Oleh karena itu, gugatan administrasi memang tidak bisa dihindarkan akibat keputusan politik Menteri Hukum dan HAM. Jadi, mekanismenya tidak lagi penyelesaian sengketa partai, tetapi sengketa administrasi.
Dalam konteks sengketa Golkar, misalnya, Hakim Tata Usaha Negara sebaiknya mengembalikan pada mekanisme dan jalur penyelesaian sengketa partai politik. Keputusan administrasi pengesahan partainya bisa dibatalkan karena terburu-buru diambil sebelum mekanisme sengketa partai diselesaikan. Hakim juga bisa memerintahkan untuk menerbitkan keputusan baru setelah semua proses sengketa usai. Sebab, sesungguhnya, keputusan Menteri Hukum dan HAM sebatas administrasi pengesahan.
Pelajaran KPU
Keputusan politik Menteri Hukum dan HAM mestinya menjadi pelajaran bagi Komisi Pemilihan Umum dalam menentukan kepesertaan partai dalam pilkada serentak. Komisi pemilihan hendaknya tidak masuk dalam konflik partai politik. Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum sebaiknya bersandar pada mekanisme hukum yang berlaku. Artinya, sepanjang belum ada putusan akhir (final) terkait kepengurusan partai politik, belum bisa dikatakan bahwa PPP dan Golkar memiliki kepengurusan yang sah. Oleh karena itu, tidak bisa diikutkan sebagai peserta dalam pilkada nanti.
Sebab, jika Komisi Pemilihan Umum memberlakukan putusan pengadilan yang belum final, ibarat menyiramkan minyak dalam api sehingga sengketa bisa semakin memanas dan tak kunjung reda. Putusan pencalonan oleh Komisi Pemilihan Umum sangat mudah dipersoalkan karena putusan yang dijadikan dasar dipersoalkan di tingkat yang lebih tinggi.
Kalaupun dipaksakan, ada risiko hukum yang harus ditanggung Komisi Pemilihan Umum. Peraturan Komisi Pemilihan Umum itu sangat mungkin dipersoalkan di Mahkamah Agung dalam ruang pengujian peraturan di bawah undang-undang sehingga prosesnya akan panjang dan konflik semakin memanas. Bahkan, seperti kasus-kasus pemilu lalu, materi ini juga yang dibawa ke hadapan Mahkamah Konstitusi dalam ruang perselisihan hasil pemilu.
Belum lagi risiko konflik yang akan muncul di pencalonan yang akan dihadapi Komisi Pemilihan Umum provinsi dan kabupaten/kota. Setiap kubu, dengan dalil kebenarannya sendiri, bisa mengajukan calon yang berujung pada sengketa berkepanjangan. Kalaupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum dianggap sah sampai ada pembatalan oleh Mahkamah Agung, toh, aturan ini tidak bisa meredam sengketa dalam pencalonan.
Oleh karena itu, lagi-lagi Komisi Pemilihan Umum harus mempertimbangkan untuk tidak melaksanakan rekomendasi DPR dalam kasus ini. Komisi Pemilihan Umum bisa menimbang, kebijakan mana yang bisa mengambil dua manfaat sekaligus, konflik internal partai bisa diredam, juga aman bagi pelaksanaan tahapan pilkada serentak.
Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum hendaknya menunggu sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai dasar pendaftaran bakal calon kepala daerah. Jadi, sepanjang belum ada putusan berkekuatan hukum tetap, Komisi Pemilihan Umum tidak mengikutkan partai berkepengurusan ganda sebagai peserta pilkada.
Dengan begitu, kedua kubu tidak ada pilihan lain selain mengambil jalan damai. Jika keduanya ingin menjadi peserta pilkada, pilihan islah kedua kubu tidak bisa ditolak. Jalan tengah bisa diambil dan partai diurus oleh semua kelompok dan kubu yang ada. Kedua kubu memang harus menahan diri hingga proses pilkada usai. Sebab, urusan politik sebaiknya diselesaikan secara politik, bukan melalui jalur hukum yang mungkin berkepanjangan. Bak pepatah Minang,
Bagi Komisi Pemilihan Umum, untuk kali ini memang harus belajar dari sikap Menteri Hukum dan HAM yang telah mengambil sikap politis dalam kasus ini. Satu keputusan, menimbulkan kegaduhan panjang. Bukannya menyelesaikan persoalan, justru semakin memanaskan situasi dan konflik internal partai politik.
VERI JUNAIDIKETUA KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KODE) INISIATIF
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Pilkada Minus Konflik Parpol".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar