Pada 13 Maret lalu ada satu berita positif. Satu kantor berita asing menulis bahwa Indonesia sudah tidak lagi masuk kategori negara "Fragile Five" (lima negara rentan). Sebelumnya, Indonesia bersama dengan India, Afrika Selatan, Brasil, dan Turki dikelompokkan dalam lima negara rapuh karena memiliki defisit transaksi berjalan cukup besar terhadap produk domestik bruto (PDB), yang berdampak terhadap rentannya nilai mata uang.
Namun, kini, India dan Indonesia berhasil lolos dari kategori tersebut. Beberapa kemajuan yang dilakukan di Indonesia, termasuk keinginan serius pemerintah untuk memperbaiki masalah struktural dan iklim investasi, mampu menjaga kepercayaan internasional. Paket kebijakan stabilisasi pemerintah juga patut diapresiasi.
Rupiah dinilai memiliki daya tahan lebih dalam menghadapi penguatan dollar AS. Hal itu terlihat dari perbandingan melemahnya real Brasil sekitar 18 persen, lira Turki sekitar 13 persen, sementara rupiah "hanya" sekitar 6 persen.
Tentu saja pelemahan rupiah perlu dicermati dengan hati-hati karena apabila pelemahan mata uang terjadi secara terus-menerus dan dalam level yang signifikan, pada ujungnya akan membebani kehidupan masyarakat, terutama yang memiliki kewajiban dan kebutuhan valuta asing.
Peluang menguat
Pertanyaan yang kerap muncul, sampai kapan rupiah tertekan? Dan, akankah rupiah kembali ke level, misalnya, di bawah Rp 10.000? Para pejabat kerap mengatakan bahwa rupiah bergerak sesuai kondisi fundamental ekonomi. Kita pun bertanya, apakah itu fundamental ekonomi?
Untuk menjelaskannya, kita perlu mengetahui apa yang membuat nilai mata uang suatu negara menguat atau melemah. Pada dasarnya, penguatan atau pelemahan suatu mata uang, termasuk rupiah, sangat dipengaruhi oleh daya saing perekonomian negara tersebut. Jika sebuah perekonomian memiliki daya saing tinggi, mata uangnya akan lebih stabil dan cenderung menguat. Demikian pula sebaliknya.
Cara paling mudah melihat daya saing adalah pada posisi neraca pembayaran, khususnya di bagian neraca transaksi berjalan (
Hal ini karena negara yang mengalami defisit transaksi berjalan mengalami kebutuhan valuta asing lebih besar dari persediaannya. Di sisi lain, bisa juga disebabkan oleh impornya yang lebih tinggi dari ekspor. Untuk menutupi defisit tersebut tentu dibutuhkan tambahan valuta asing. Dengan demikian, secara teori, nilai mata uang dari negara yang mengalami defisit transaksi berjalan cenderung melemah.
Negara bisa saja menarik investor asing agar menanamkan dana valuta asingnya di dalam negeri. Namun, apabila kepercayaan terhadap negara tersebut rendah, investor akan enggan menanamkan dananya. Cara lain adalah memanfaatkan cadangan devisa atau menerbitkan surat utang.
Saat ini, defisit transaksi berjalan Indonesia sekitar 2,95 persen dari PDB. Sementara Turki mengalami defisit transaksi berjalan sebesar 5 persen, atau hampir dua kali Indonesia. Brasil mengalami defisit neraca berjalan mencapai 8 persen. Melihat perbandingan tersebut, sewajarnya kalau mata uang Brasil dan Turki melemah lebih besar daripada rupiah.
Di sisi lain, peso Filipina dan baht Thailand relatif stabil dalam menghadapi tekanan. Hal itu dapat dijelaskan dari posisi neraca berjalan kedua negara tersebut yang mencatat surplus. Filipina mencatat surplus 3,5 persen dari PDB, sementara Thailand mencatat surplus sekitar 2,2 persen.
Modal dasar bertahan
Sebenarnya Indonesia memiliki modal dasar yang baik. Tekanan inflasi saat ini menurun, cadangan devisa relatif tinggi, Indeks Harga Saham Gabungan stabil, dan indikator risiko
Dengan modal itu, rupiah memiliki modal bertahan dari tekanan. Meski demikian, kita menyadari bahwa untuk menjadikan rupiah memiliki ketahanan yang berkelanjutan, tak ada cara singkat selain kita semua membulatkan tekad untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan.
Bagaimana caranya? Tentu bukan dengan saling menyalahkan karena kita semua memiliki peran dalam memperbaiki defisit. Pemerintah perlu meningkatkan ekspor, membangun infrastruktur, memperbaiki iklim investasi, dan menggalakkan penggunaan rupiah di dalam negeri.
Bank Indonesia perlu mengendalikan stabilitas, dengan fokus pada inflasi dan mencermati tingkat defisit transaksi berjalan. Kebijakan moneter berhati-hati diperlukan dalam mengawal stabilitas.
Sementara itu, dunia usaha dituntut untuk semakin kreatif mencari substitusi bahan baku impor, melakukan perhitungan cermat pada pinjaman luar negerinya, dan meningkatkan daya saing.
Anak muda Indonesia juga dituntut mampu menciptakan produk kreatif yang mampu bersaing di luar negeri. Di tingkat individu dan rumah tangga, kita semua dituntut untuk waspada dan mencoba mengurangi ketergantungan pada barang impor, termasuk makanan dan buah impor.
Sementara perbaikan dilakukan, rupiah saat ini bergerak sesuai dengan fundamentalnya. Perbaikan memang selalu membutuhkan proses, ketekunan, dan kesabaran. Namun, apabila itu dapat terwujud nanti, kita tak perlu menangisi rupiah lagi.
JUNANTO HERDIAWAN
Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Jangan Menangisiku, Rupiah!".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar