Pastilah alasan kedua yang jadi dasar ketika Indonesia (baca: kepemimpinan Joko Widodo) diulas lebih dari 3/4 halaman di kolom khusus internasional (
Berdasarkan data sensus US Agency for International Development (2010), hanya sekitar 29.000 imigran Indonesia yang berada di kawasan Southern California, tersebar di sejumlah kota, termasuk Los Angeles. Total 101.000 di seluruh AS dan tercatat sebagai imigran Asia terbesar ke-15, sangat kecil kemungkinan imigran Indonesia yang berada di kawasan Los Angeles sekalipun membaca harian
Karena itu, bisa disimpulkan: kelaikan nilai berita dari kepemimpinan Jokowi memang terbilang mengagetkan dalam perspektif Barat. Dalam nomenklatur Barat, gestur dan tampang Jokowi secara behavioristik tak meyakinkan sebagai pemimpin, apalagi dalam taraf nasional ataupun internasional. AS meragukan Jokowi sejak pelantikannya sebagai presiden (
Gaya Jokowi yang
Perangkap partikular
Secara literal, Jokowi memang terjebak. Sebetulnya tidak hanya Jokowi, setiap pemimpin yang sangat menginginkan perubahan dan pembaruan dalam arti yang otentik, pertama-tama harus berhadapan dengan labirin politik yang tidak saja berkaitan dengan person per person, tetapi sudah membadan secara sistemik dan sistematik.
Realitas keterbadanan (
Yang menarik dan jadi unsur kejutan adalah-sebagaimana
Pastilah yang disebut kepentingan nasional (dalam arti kebangsaan) ini masih sangat asing bagi para pemangku kekuasaan partikular. Untungnya, secara kebetulan, keterpecahan internal beberapa partai besar menjadi lonceng kematian untuk kepentingan eksklusif, baik pribadi tertentu maupun partai tertentu, mengacu pada politik bagi-bagi kekuasaan yang tidak lagi dapat diprediksi ataupun dibeli.
Secara leksikal, istilah
Visi meritokrasi yang dibawa Jokowi hendak melampaui kepentingan individual ataupun partikular yang notabene dalam sejarah selalu saja menjadi faktor tunggal pengeroposan sistem.
Apa yang kentara lemah dalam sistem Jokowi adalah ketiadaan simbol otoritas yang kuat sehingga tiap pihak bisa secara sistemik-struktural melampaui kepentingan eksklusif mereka untuk benar-benar berjuang demi visi, bukan demi kursi atau nasi. Tidak ada visi apa pun yang kompatibel dalam suatu pertarungan rebutan kursi atau nasi. Otot selalu lebih kuat daripada otak.
Inilah yang jadi dosa asal stagnasi perjalanan kebangsaan Indonesia, sumber-sumbernya, ya, banalitas politik eksklusif partikular. Ketiadaan respek pada otoritas memang pertama-tama harus kultural untuk kemudian masuk sebagai budaya politik.
TULUS SUDARTO
Rohaniwan; Persiapan Doktoral di Universitas Georgetown, Washington, AS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar