Perintah Presiden itu disampaikan terbuka menanggapi penangkapan Novel oleh penyidik Polri Kamis tengah malam. Selain meminta agar proses hukum berjalan transparan dan adil, Presiden juga meminta Polri tidak lagi membuat kontroversi di tengah masyarakat.
Penangkapan Novel kembali memicu kegaduhan politik. Melalui berbagai media sosial, kita menangkap berita penangkapan Novel hanya akan memicu ketegangan antara Polri dan KPK. Ketegangan itu dikhawatirkan kian menekan kondisi ekonomi Indonesia, termasuk pasar saham, yang dalam sepekan terakhir tertekan. Ketegangan antara Polri dan KPK yang beberapa kali terjadi hanya akan menghambat pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sebagai kepala pemerintah dan kepala negara, perintah Presiden Jokowi bisa dipahami. Presiden tidak akan menghalangi proses hukum sejauh dilakukan secara transparan dan tidak menimbulkan kegaduhan. Sesuai UU Kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Posisi Polri berada langsung di bawah Presiden itu kini juga mulai sering dipersoalkan. Dalam UU Kepolisian juga disebutkan, Kepala Polri pun bertanggung jawab kepada Presiden. Dengan logika hukum itulah, perintah Presiden kepada Polri adalah perintah yang harus ditaati!
Kita menghargai sikap Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti yang akan mempercepat proses hukum Novel dalam jangka waktu 1 x 24 jam sehingga tidak akan lagi ada penahanan. Dalam sejumlah kesempatan, Badrodin menegaskan, "Komando Polri berada di tangan saya." Itu berarti tindakan anggota Polri yang bertentangan dengan perintah Kapolri dan Presiden sebagai pemimpin tertinggi kepolisian adalah tindakan insubordinasi.
Cerita Novel bukan cerita baru. Pada 5 November 2012, saat Novel memimpin penyelidikan kasus yang melibatkan Direktur Lalu Lintas Polri, sejumlah penyidik Polri mendatangi KPK untuk menjemput Novel. Ketegangan antara KPK dan Polri tahun 2012 itu diselesaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Khusus untuk kedatangan sejumlah polisi ke KPK pada 5 November 2012, Presiden Yudhoyono menegaskan, "Waktu dan penegakan hukum terhadap Novel tidaklah tepat!" Proses hukum itu pun kemudian berhenti dan muncul lagi April 2015.
Novel, yang pada tahun 2004 menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu, dijerat atas dugaan penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya warga 11 tahun lalu! Pada tahun 2004, Novel berpangkat inspektur satu. Kini, Novel adalah penyidik KPK. Memang menjadi pertanyaan, jika Novel punya masalah hukum tahun 2004, mengapa dia bisa naik pangkat menjadi komisaris. Pertanyaan publik itulah yang harus dijawab pimpinan Polri.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Perintah Presiden kepada Polri".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar