Salah satu agenda besar proyek kebangsaan kita adalah mewujudkan tatanan masyarakat dengan persamaan hak privat, publik, dan politik bagi warga negara pria dan wanita. Pasal 27 UUD 1945 menyebutkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan". Kesetaraan jender nan komprehensif telah diperjuangkan kaum wanita sejak awal revolusi kemerdekaan. Kaum wanita terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan, baik individual maupun dalam organisasi pergerakan. Kaum wanita Indonesia telah berpartisipasi penuh pada pemilu pertama 1955.
Tak banyak negara yang menempatkan wanita dalam kedudukan terhormat di ruang publik dan politik segera setelah lahirnya negara seperti Indonesia. Wanita Amerika Serikat menempuh waktu lama untuk mengubah status inferiornya dalam masyarakat yang disebabkan doktrin keagamaan, hukum tertulis, dan kebiasaan sosial yang melekat dalam sistem negara kolonial model Eropa yang menempatkan wanita dalam posisi subordinat.
Lama setelah merdeka, pada 4 Juli 1776, wanita AS baru berhasil memperjuangkan hak pendidikan secara bertahap dan hak bekerja di beberapa bidang terbatas, seperti guru dan perawat, dengan gaji di bawah pria. Baru pada 26 Agustus 1920, atau 144 tahun setelah merdeka, melalui ratifikasi amendemen ke-19 Konstitusi AS, 17 juta wanita memperoleh hak berdemokrasi, hak memilih. Di Swiss, baru pada 1971 perempuan mendapat hak memilih.
Kemajuan penting
Sama seperti perjalanan menuju masyarakat adil dan makmur, perjalanan menuju kesetaraan jender pun berjalan berliku dan harus terus diperjuangkan. Di tahun-tahun awal kemerdekaan, struktur masyarakat Indonesia masih berciri tradisional, sedikit feodal. Dalam konteks ini, tak sedikit masyarakat dan pejabat negara berpoligami, beristri banyak. Presiden Soekarno beristri empat orang.
Di era Presiden Soeharto ada kemajuan penting dalam membangun kesetaraan jender yang komprehensif, sekaligus melindungi keluarga monogamis yang harmonis, keluarga kecil yang sejahtera, yang lebih sesuai dengan tuntutan modernisasi. Praktik poligami di kalangan pejabat negara dan PNS relatif dilarang. Soeharto berpandangan, jika tak mampu membangun keluarga harmonis, bagaimana mau menjadi pemimpin yang jadi panutan.
Sesuai dengan UU No 1/1974 tentang Perkawinan, PP No 9/1975, dan PP No 10/1983 jo PP No 45/1990, PNS diperbolehkan berpoligami dengan syarat berat, di antaranya persetujuan istri pertama melalui mekanisme pengadilan dan atasannya langsung, dengan kondisi istri pertama tak mampu memberi keturunan dan suami mampu berbuat adil dengan memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Itu pun dengan catatan pelaku poligami sulit naik jabatan. Yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenai sanksi, mulai dari penurunan pangkat dan golongan hingga pemecatan sebagai PNS.
Manakala ada komplain dari istri pertama, pemerintah berhak memberi sanksi kepada PNS yang berpoligami itu. Kebijakan di atas, yang mendorong bentuk keluarga monogamis, berdampak luas di masyarakat karena pejabat negara dan PNS adalah elite dan panutan masyarakat. Pada 1990, kebijakan itu diperkuat Pasal 4 Ayat (2) PP No 45/1990: PNS wanita dilarang menjadi istri poligami.
Setelah reformasi, semua presiden beristri satu dan ada satu presiden wanita (suaminya tak punya istri lain). Era reformasi menambah fondasi politik kukuhnya konsep keluarga monogamis yang harmonis berupa lahirnya UU No 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, menggantikan UU No 10/1992. Pasal 1 Ayat (10) menyebut, "Keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Tak diragukan, monogami adalah bentuk keluarga yang diyakini negara paling sesuai dengan era Indonesia modern.
Di tengah kemajuan wanita Indonesia dalam dunia politik—yang pada Pemilu Legislatif 2014 menghasilkan keterwakilan perempuan 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi (26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD provinsi serta 14 persen di DPRD kabupaten/kota—muncul fenomena yang tak sejalan dengan kesetaraan jender dan norma keluarga modern berupa berkembangnya praktik poligami. Praktik poligami juga dilakukan elite politik, pemimpin partai politik, gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, dan anggota DPRD. Uniknya, ada kepala daerah yang status poligaminya terungkap setelah seorang wanita yang tadinya tak diketahui publik sebagai istri muda gubernur ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Masyarakat yang dipimpinnya terenyak dan merasa tertipu karena selama ini diketahui ia beristri satu.
Di banyak negara maju, tokoh publik di- tuntut jujur kepada publik. Ada pula kepa- la daerah melakukan perkawinan siri dengan wanita berusia 18 tahun yang setelah dikecam berbagai kalangan, Kementerian Dalam Negeri meminta kepala daerah yang melakukan nikah siri itu mundur dari jabatannya. Ada pula wali kota berusia 56 tahun menikahi gadis berusia 19 tahun yang baru lulus SMA. Bagi siswi SMA itu, perkawinan pada Juni 2011 itu merupakan perkawinannya pertama, tetapi bagi sang wali kota perkawinan keempat.
Per Desember 2012, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat, 1 persen dari semua kepala daerah di Indonesia berpoligami. Meski jumlahnya sedikit, BKKBN meyakini, hal itu meresahkan masyarakat dan tak mendidik, ditambah kekhawatiran ada yang belum ketahuan. Dalam pandangan BKKBN, poligami akan berpengaruh terhadap ketahanan keluarga, ketahanan keluarga rapuh berpengaruh pada ketahanan masyarakat, lalu akan merapuhkan ketahanan nasional.
Fenomena poligami juga merambah PNS. Pada 2011, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyebutkan, ada 370 PNS yang berpoligami dan 200 PNS sudah mendapat sanksi: diturunkan pangkat, diberhentikan sementara, diberhentikan dengan hormat dan tidak hormat. Pada 2013, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memecat 30 PNS di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya, sebagian besar karena beristri lebih dari satu alias poligami tanpa izin.
Suara Sinta Wahid
Kegeraman pada poligami juga disuarakan gerakan publik, dengan motor mantan Ibu Negara Sinta Wahid, yang mengajak konsumen tak makan di Restoran Wong Solo milik Puspo Wardoyo yang beristri empat, ayah 15 anak, dan sponsor acara Poligamy Award. Ada pula organisasi politik yang elitenya terang-terangan berpoligami dengan banyak anak. Tentu secara sosiologis dapat dipertanyakan: bukankah hal itu asosial di tengah upaya negara mengendalikan pertambahan penduduk sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat?
Di Mesir, sejak akhir 1950-an, Presiden Gamal Abdel Nasser—dilanjutkan Presiden Anwar Sadat dan Presiden Hosni Mubarak—menekan Ikhwanul Muslimin yang didirikan pada 1928, yang berseberangan dengan kebijakan pemerintahannya. Ketika itu, organisasi Ikhwanul Muslimin masih sangat kecil. Pemimpin dan anggota organisasi ini ditengarai beristri banyak dan beranak banyak. Sesudah tumbangnya Presiden Mubarak, pada 2011, Ikhwanul Muslimin mendirikan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang memenangi pemilu parlemen 2012. Presiden Mursi dari FJP terpilih pada 2013 dan pada tahun sama digulingkan militer Mesir.
Banyak penulis menyatakan, Ikhwanul Muslimin menambah jumlah pengikutnya dengan metode pengikutnya beristri banyak dan beranak banyak. Jika itu benar, beristri banyak dan beranak banyak bisa menjadi motif politik berjangka panjang.
Fenomena poligami tidak hanya terjadi pada pemeluk Islam seperti dipahami banyak orang karena poligami adalah ciri umum masyarakat tradisional dan feodal. Di India, laporan dari National Family Health Survey 2006 menyebutkan, 2 persen wanita India melaporkan bahwa suaminya punya lebih dari satu istri. Survei lebih awal di India (1974) mengungkapkan, poligami dilakukan 5,7 persen komunitas Muslim, 5,8 persen komunitas Hindu, dan 15,25 persen komunitas suku terpencil.
Sepatutnya berbagai organisasi dan gerakan wanita tak diam dengan fenomena berkembang ini. Kemajuan pesat negara kita ke depan membutuhkan organisasi keluarga yang sesuai dengan tuntutan masyarakat modern yang produktif: keluarga monogamis. Di semua negara yang maju berkat sumber daya manusia yang tangguh, bentuk organisasi keluarganya adalah monogami. Begitulah sekarang RRT, Jepang, dan Korea yang elitenya dulu juga banyak mempraktikkan poligami.
Penduduk Indonesia saat ini diperkirakan 255,5 juta orang dengan laju pertumbuhan penduduk masih sangat tinggi, 1,49 persen per tahun, berkembang sangat cepat dari 118,4 juta jiwa pada 1971. Pertambahan penduduk Indonesia tertinggi mencapai 2,31 persen per tahun pada 1971-1980, lalu menurun drastis ke angka 1,45 persen pada 1990-2000 sebagai hasil kampanye Keluarga Berencana. Lalu, angka itu naik lagi ke 1,49 persen pada periode 2000-2010, menurun ke 1,38 persen pada periode 2010-2015, diharapkan menurun ke angka 1,19 pada periode 2015-2020, dan diproyeksikan menjadi 0,8 persen pada 2025-2030. Jika angka laju pertambahan penduduk sesuai target, pada 2035, penduduk Indonesia berjumlah 305,7 juta jiwa. Penurunan pertambahan penduduk akan efektif dengan pola keluarga monogami beranak sedikit yang sejahtera.
Sebagai suatu bangsa, kita mengejar kesejahteraan yang tinggi bagi setiap warga negara. Dengan pendapatan orangtua yang terbatas, keluarga kecil bahagia dan sejahtera lebih memberi makna positif pada negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi kurang berarti jika pertumbuhan penduduk juga tinggi. Keluarga adalah fondasi stabilitas sebuah masyarakat. Anak-anak berhak hidup dan dibesarkan kedua orangtuanya. Tentu ada kondisi pengecualian, tetapi itu tak boleh jadi norma sosial kita.
SISWONO YUDO HUSODO,
KETUA YAYASAN PEMBINA UNIVERSITAS PANCASILA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Keluarga dan Indonesia Modern".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar