Setelah sepi beberapa tahun dari ingar-bingar, hasrat para wakil rakyat membangun gedung DPR/MPR yang megah dan mewah muncul lagi lengkap dengan berbagai alasan mereka.
Sebaiknya dana pembangunan gedung DPR/MPR yang baru ini dialihkan untuk membangun atau memperbaiki sekolah dan rumah sakit. Para wakil rakyat dipastikan tak melihat bagaimana kondisi sekolah di perdesaan.
Rumah sakit? Di RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru, saja terdapat gedung berlantai enam yang sudah lama terbengkalai. Tiang-tiang dan lantainya sebagian sudah berlumut.
DPR dua dekade ke depan tetaplah berkantor di gedung yang sekarang. Kalau memang mau tulus bekerja untuk rakyat, di alun-alun juga bisa dipasang tenda.
SYAIFUL PANDU, JL NILA, PERUMAHAN CENDANA, PEKANBARU
Warga Liar
Saya merasa prihatin atas tragedi Kampung Pulo, 20 Agustus 2015, akibat penggusuran warga Kampung Pulo sebagai upaya mengurangi banjir, bahkan juga kemacetan lalu lintas kota Jakarta. Namun, saya merasa lebih prihatin lagi atas penggunaan sebutan atau istilah warga liar yang ditimpakan bagi warga yang dianggap tidak sah untuk bermukim di Kampung Pulo.
Kata sifat liar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna antara lain tidak ada yang memelihara; binatang yang tidak dipiara orang; binatang yang belum jinak maka buas dan ganas; tidak teratur; tidak menurut aturan/hukum; belum beradab.
Pada prinsipnya kata liar lebih layak digunakan untuk hewan alias binatang ketimbang manusia. Namun, ketika sehari setelah tragedi Kampung Pulo, saya berkunjung ke Kampung Pulo untuk berjumpa langsung dengan para warga setempat. Ternyata mereka adalah sesama warga negara dan bangsa Indonesia yang kebetulan bermukim di kawasan Kampung Pulo yang sebenarnya merupakan bagian dari kota Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia yang sudah diproklamasikan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945.
Saya melihat dengan kepala sendiri bahwa warga Kampung Pulo sama sekali tidak berperilaku seperti binatang yang tidak dipiara orang atau binatang yang belum jinak maka buas dan ganas. Bahkan, mereka tidak layak dianggap belum beradab karena terbukti selalu berusaha patuh membayar retribusi dan berbagai pungutan biaya yang diwajibkan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Hanya kebetulan sejumlah warga memang hidup dalam suasana kemiskinan.
Meskipun demikian, sebenarnya tidak ada alasan apa pun bagi siapa pun juga untuk menyebut warga negara dan bangsa Indonesia itu sebagai warga liar. Maka, melalui rubrik Surat PembacaKompas, meski dengan risiko dicemooh, dicaci maki, dihujat, di-bully oleh para penggusur dan pendukungnya, saya dengan penuh kerendahan hati memberanikan diri memohon dengan hormat kepada pihak yang berkuasa maka berwenang melakukan penggusuran terhadap sesama warga bangsa dan negara Indonesia demi kepentingan umum agar berkenan berbelas kasihan untuk tidak menggunakan sebutan atau istilah warga liar bagi segenap warga bangsa dan negara Indonesia yang telah 70 tahun merdeka ini.
Dengan penuh kerendahan hati saya juga memohon agar teman-teman sebangsa dan setanah-air-dan-udara di bantaran Kali Ciliwung ataupun di mana pun juga dari Sabang sampai Merauke, terutama justru yang masih hidup dalam suasana kemiskinan, untuk tidak diperlakukan seolah-olah mereka adalah musuh negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Salam terima kasih dan hormat dari saya yang kebetulan tidak bermukim di Kampung Pulo, tetapi dapat merasakan derita lahir batin para warga Kampung Pulo yang ibarat sudah jatuh masih tertimpa tangga akibat sudah digusur masih disebut sebagai warga liar.
JAYA SUPRANA, JAKARTA SELATAN
Administrasi PLN Tidak Wajar
Pada Senin (10/8) lalu saya membayar listrik PLN di BRI Unit Malaka, Perumnas Klender, Jakarta Timur, sebesar Rp 98.349. Saya dikenai biaya administrasi bank sampai Rp 15.000 yang, menurut saya, tidak wajar.
Saya minta penjelasan, tetapi jawaban PLN: "Sudah begitu dari pusat." Jawaban itu tidak memuaskan.
R HERYANTO, JL TERATAI PUTIH II/4/47, RT 0015 RW 004 MALAKA SARI, DUREN SAWIT, JAKARTA TIMUR
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar