Di sejumlah daerah, pemilihan kepala daerah harus ditunda karena hanya ada satu calon yang maju dalam pilkada. Namun, pembuat undang-undang tidak mengantisipasi kemungkinan calon tunggal, selain penafsiran jalan keluar bahwa pilkada ditunda ke tahun 2017.
Kegaduhan politik terbaru muncul dari Kota Surabaya setelah KPU Surabaya menggugurkan pasangan calon Rasiyo-Dhimam Abror karena dianggap tidak memenuhi syarat administratif! Pasangan itu diajukan Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN). KPU Surabaya menyatakan, surat rekomendasi DPP PAN yang ditunjukkan saat pendaftaran dan pada saat masa perbaikan tidak identik. Sementara itu, Abror dinyatakan tidak menyerahkan surat keterangan bebas tunggakan pajak.
Akibat keputusan KPU Surabaya itu, pasangan Tri Rismaharini-Wishnu Sakti Buana kembali menjadi calon tunggal. Karena itu, sesuai dengan UU Pilkada, Pilkada Kota Surabaya harus ditunda hingga tahun 2017. Dalam posisi demikian, Gubernur Jawa Timur Soekarwo akan menunjuk pelaksana tugas Wali Kota Surabaya.
Sejak awal, pelaksanaan tahapan Pilkada Wali Kota Surabaya terus diganggu. Pada pendaftaran awal tidak ada calon, selain pasangan petahana, yang mendaftar. Pada perpanjangan masa pendaftaran pertama 1-8 Agustus 2015, muncul pasangan Dhimam Abror-Haries Purwoko sebagai pasangan calon. Namun, pada saat-saat akhir, Haries menghilang saat pendaftaran di KPU Surabaya. Akibatnya, mereka tak jadi mendaftar. Ketika masa pendaftaran ditambah, pasangan Rasiyo-Dhimam Abror mendaftar lagi, tetapi digugurkan KPU karena urusan administratif.
Melihat peristiwa yang terjadi, bisa dipahami jika diduga ada siasat untuk sengaja menjegal Risma-Whisnu, pasangan yang populer dan kinerjanya terbukti nyata. Menggugurkan pasangan calon hanya karena urusan administratif dan sekaligus mengabaikan hak konstitusional rakyat memilih sangatlah disayangkan.
Cara pandang KPU Surabaya sangat teknis administratif. Tidak terlalu sulit bagi KPU Surabaya bertanya kepada Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan atau Sekjen PAN Eddy Suparno untuk mengonfirmasi ulang dukungan itu. Sangat mudah juga bagi KPU Surabaya untuk meminta Abror melengkapi syarat administratif yang sangat mudah didapat! Mengapa itu tidak dilakukan?
Kita pun berpendapat keputusan KPU Surabaya bukanlah hal final. Masih ada jalan bagi pasangan calon untuk membawa masalah itu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ataupun Badan Pengawas Pemilu. Kita berharap KPU Surabaya betul-betul mempertimbangkan rasionalitas dan rasa-perasaan warga Surabaya dalam melaksanakan hak mereka untuk memilih pemimpin mereka pada Desember 2015.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Demokrasi Sedang Diuji".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar