Setidaknya hal itu ditengarai sebagai bukan karakter HMI. Keprihatinan itu antara lain disampaikan Harry Tjan Silalahi, tokoh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang sangat mengenal HMI sejak 1950-an. Ia menilai HMI sebagai wadah kaum intelektual muda Islam yang berdiri di tengah, yang tidak mudah ditarik ke kanan atau ke kiri. Dengan alasan itulah ia membela HMI ketika HMI terancam tuntutan pembubaran menjelang kudeta G30S.
Namun, HMI memang tidak mungkin terpisah dari perjalanan bangsanya. Ketika kita merasakanmeredupnya jati diri bangsa, mampukah HMI melepaskan diri dari kenyataan itu? Bahwa kegaduhan, bahkan gonjang-ganjing, kehidupan kemasyarakatankita nyaris tiada berhenti. Perpolitikan kita terbelah. Konflik antarkelompok masyarakat; kekerasan antarwarga bangsa, antarkampung; dan juga di kalangan pelajar/mahasiswa telah menjadi berita sehari-hari di mediacetak, media elektronik, dan media sosial.
Demikian juga pelecehan seksual, termasuk pada anak-anak, yang semua itu menandaikrisis moral. Selanjutnya rasa kebersamaan kita, kegotongroyongan kita, nyaris hilang dari keseharian kita. Kehidupan kita yang diwarnai saling peduli sosial, toleran, dan bineka nyaris hanya jadi impian.
Terlepas dari semua itu, kalau dunia intelektual kita, antara lain HMI, terimbas semua itu, seperti ditemukannya senjata tajam di arena penginapan peserta kongres—meskipun belum digunakan—menjadi wajar kalau kita semua harus prihatin.Sedikitnya timbul pertanyaan: untuk apa senjata tajam itu kalau tidak untuk tindak kekerasan?
Untunglah masih ada sebagian masyarakat kita yang prihatin dengan kondisi seperti itu. Kalau kelompok intelektual kita—termasuk HMI—yang dikaruniai berpikir kritissudah ikut hanyut dengan kondisi sekarang, kepada siapa kita berharap?Masa depan bangsa ini bisa kelabu, bahkan gelap. Kekerasan, radikalisme, intoleransi, bahkan aksi terorisme akan semakin marak sebab tujuan akan menghalalkan cara.
Kehilangan momentum
Etika, bahkan ajaran agama, hanya menjadi buah bibir, tidak diamalkan. Di sinilah relevansi gagasan revolusi mental bahwa kita—bangsa ini—harus segera mengubah kondisi mentalnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, secara revolusioner, bukan evolusioner. Kalau tidak, kita akan kehilangan momentum untuk memperbaiki diri.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita telah mencanangkan untuk kembali ke semangat Trisakti: mandiri dalam politik, ekonomi, dan berkepribadian nasional. Dalam sistem ketatanegaraan, MPR telah mempersiapkan diri dengan membentuk Lembaga Pengkajian MPR, yang (antara lain)akan mengkaji sistem ketatanegaraan kita. Bahwa sistem ketatanegaraan kita itu selayaknya sesuai dengan cita-cita buat apa negara ini didirikan, tanpa mengurangi realitas perkembangan zaman. Singkatnya, harus kembali ke khitah. Demikian juga HMI!
Sejak HMI berdiri pada 1947, para pendiri HMI, Lafran Pane dan kawan-kawan, telah mencanangkan bahwa HMI adalah kader umat dan bangsa, independen, nonpolitik praktis, dan berkehidupan yang seimbang antara jasmani dan rohani. Atas dasar itu, JenderalBesar Soedirman memperkenalkan singkatan HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia.
Dengan prinsip independen, HMI tidak boleh terombang-ambing dalam menyikapi perbedaan di kalangan umat Islam, termasuk dari kalangan alumninya yang telah memiliki kepentingan masing-masing. Ketika kita mengenal empat partai politik Islam (Masyumi, NU, PSII, dan Perti) di era 1950-1960-an, HMI berdiri tegak mengatakan bukan sebagaionderbouw salah satu partai Islam. HMI justru mencanangkan slogan "persatuan umat".
Ketika bangsa ini dilanda pergolakan politik yang hebat, yang ditandai dengan persaingan antarkekuatan politik yang ada di era 1960-1965,HMI tegak sebagai kader umat dan bangsa yang mendahulukan kepentingan nasional. Karena itu, HMI dapat lolos dari ancaman pembubaran oleh CGMI/PKI.
Demikian juga di awal kemerdekaan. HMI membentuk Korps Mahasiswa yang berjuangmempertahankan kemerdekaan RI, bergerilya di sekitar Yogyakarta.
Mari membandingkan kongres HMI di Pekanbaru dengan kongres HMI pada 1963. Yang disebut terakhir diselenggarakan di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, dengan peserta kongres tidur di kemah-kemah di sekitar masjid, bantuan Kodam V Jaya. Pada saat itu beberapa menteri dan Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia ikut memberikan sambutan pembukaanyang dibacakan oleh Roeslan Abdulgani, bertempat di Aula UI Salemba 4.
Kongres HMI pada 1966 diselengarakan di Solo, dibuka di Balai Kota Solo dengan sambutan Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera yang dibacakan oleh Soerono, Pangdam IV Diponegoro. Peserta kongres bermalam di rumah-rumah penduduk yang secara sukarela membantu kongres.
Di kedua kongres itu segalanya diselenggarakan secara mandiri. Tidak ada APBD yang dikucurkan, selain bantuan masyarakat, alumni, dan kemampuan organisasi.
Dengan gambaran sebagaimana dikemukakan di atas, apa yang terjadi di Kongres Ke-29 HMI di Pekanbaru sekadar merupakan refleksi kondisi bangsa dan negara dewasa ini. Kalau bangsa ini memerlukan revolusi mental, tidak terkecuali semua organisasi kemasyarakatan dan warga bangsa pada umumnya,termasuk HMI. Temanya: kembali ke khitah, buat apa negara ini didirikan, buat apa kita berorganisasi.
Semoga catatan ini dapat menjadi bahan perenungan kembali bagi para peserta kongres HMI yang tentu saat ini sudah pulang kembali ke tempat masing-masing agarkita tidak kehilangan momentum untukmemperbaiki diri demi masa depan yang lebih baik.
SULASTOMO, KETUA UMUM PB HMI 1963-1966
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Desember 2015, di halaman 7 dengan judul "Kembali ke Khitah".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar