Kegaduhan memang mewarnai perjalanan tahun 2015. Beruntung, kegaduhan yang banyak diproduksi dalam tubuh kabinet atau diinisiasi partai pendukung pemerintah masih bisa dikendalikan. Ada yang menganggap kegaduhan wajar dipandang dari sudut pandang demokrasi. Pemerintahan demokratis tidak menganut kesamaan pandangan. Itu salah satu argumen. Namun, ada pula yang memandang perbedaan pandangan antarmenteri yang diumbar kepada publik tidak patut dalam sebuah pemerintahan, di mana Presiden adalah penanggung jawab pemerintahan.
Pemerintah punya tugas meredam kegaduhan dan bukan malah memproduksi kegaduhan. Pelajaran itulah yang seharusnya dipetik dari tahun 2015 yang baru saja berlalu. Kohesivitas kabinet perlu dibangun untuk mengantisipasi era baru: Masyarakat Ekonomi ASEAN 2016 yang sudah kita jejaki. Itu semua tanggung jawab Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Namun, terlepas dari kegaduhan, tahun 2015 mengajarkan kita tradisi politik baru, budaya mundur. Tradisi politik itu telah dilakukan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito yang mengundurkan diri karena gagal memenuhi target penerimaan pajak. Direktur Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono menyusul mundur karena merasa gagal mengantisipasi kemacetan lalu lintas pada saat libur panjang. "Sebagai bentuk pertanggungjawaban saya, dengan ini saya menyatakan berhenti," kata Djoko dalam konferensi pers. Meskipun ada analisis atau spekulasi lain soal mundurnya dua pejabat itu, kita hargai tradisi mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban jabatan mereka.
Dalam konteks politik berbeda, tahun 2015 ditandai dengan mundurnya Ketua DPR Setya Novanto. Namun, mundurnya Novanto lebih karena situasi mendesak. Sebelum vonis Mahkamah Kehormatan Dewan dijatuhkan, Novanto mengirim surat pengunduran diri sebagai langkah penyelamatan. Kisah Novanto masih akan panjang, termasuk posisi baru sebagai ketua fraksi dan Ketua DPR. Pejabat lain yang diberhentikan adalah Dirut Pelindo II RJ Lino setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Lino diberhentikan oleh pemegang saham Pelindo II. Kisah Lino juga masih akan panjang karena akan berlanjut dalam meja persidangan.
Keputusan Sigit dan Djoko inilah yang patut dihargai, mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tugas yang diamanatkan kepada mereka. Jabatan bukanlah segala-galanya. Pengabdian untuk negeri bisa di mana saja.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Belajar dari Tahun 2015".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar