Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 26 Januari 2016

Ketahanan NIIS dan Teror Jakarta (IBNU BURDAH)

Satu setengah tahun lebih dikeroyok,  Negara Islam di Irak dan Suriah masih bertahan. Bahkan, pengikut negara teror ini diyakini semakin besar. Mereka baru-baru ini memang kalah di Ramadi dan mundur di sejumlah front di Irak dan Suriah, tetapi terus berkembang.

Setelah kekejian mereka di Paris-Perancis, Amerika Serikat, Tunisia, dan lainnya, aksi mereka di ibu kota Indonesia menjadi bukti baru kesimpulan itu. Indonesia adalah ujung tenggara dari dunia Islam yang dicita-citakan kelompok ini masuk dalam kesatuan wilayah mereka. Kendati terbilang gagal, aksi di Jakarta itu sudah menegaskan eksistensi NIIS di Indonesia.

Kekuatan NIIS di Indonesia mungkin sangat kecil, masih dalam bentuk sel, serupa kemungkinan di hampir semua negara Islam. Namun, mereka mencita-citakan kekuatan lebih besar dengan penguasaan teritorial terbatas yang disebut wilayat.

Wilayat (provinsi) yang mereka klaim di luar Irak-Suriah antara lain Sinai Mesir, Yaman, Libya, Tunisia, dan Teluk. Para teroris NIIS asal Indonesia tentu berupaya keras menegaskan eksistensi NIIS di Indonesia. Mereka juga berupaya meningkatkan status NIIS Indonesia bukan sekadar sel, tetapi wilayat.

Caranya adalah dengan aksi kekerasan semasif dan sekeji mungkin di tempat strategis, termasuk di Jakarta. Abdul Bari Athwan dalam bukunya (2015) menyebut, kombatan NIIS saat ini lebih dari 100.000 orang.

Semakin kuatnya serangan koalisi regional dan internasional tak melemahkan mereka. Mereka justru berkembang dengan sel-sel dan wilayat-wilayat baru. Mengapa demikian?

Pemimpin kuat

Pertama,  kepemimpinan dan visi al-Baghdadi dikenal sangat kuat. Ia berkarisma, menguasai ilmu agama, dan fasih menyampaikan agitasi dengan mengutip ayat-ayat Al Quran, hadis, dan pernyataan para sahabat.

Dalam sebuah khotbah Jumat di Masjid Mosul, penulis yang menyimak pidato itu dari beberapa stasiun televisi Arab, merasakan kuatnya karisma dan kefasihan tokoh ini. Ia menyitir kata-kata Abu Bakar al-Shidiq, nama yang ia jadikan gelar saat diangkat menjadi khalifah.

Tokoh bernama Ibrahim bin Awad bin Ibrahim ini ternyata juga pengatur strategi sekaligus manajer yang mampu mengelola pemerintahan terornya. Ia berhasil mengoptimalkan kemampuan orang-orang yang bergabung dengannya, baik itu eks elite militer Saddam, ilmuwan, maupun para kombatan. Ia juga aktif terlibat di lapangan, termasuk mengatur sel-sel yang jauh.

Ia juga mampu merancang visi yang berbeda dengan gerakan teror pendahulunya (Al Qaeda). Tokoh yang dikira tak ada apa-apanya oleh militer AS dan Irak ini  ternyata jauh lebih komplet daripada Osama bin Laden atau Ayman adz-Dzawahiri. Inilah salah satu kunci kekuatan NIIS bertahan.

Kedua, NIIS benar-benar telah nyata, diperintah dengan hukum Islam yang ekstrem tetapi dikelola secara modern, rapi, dan profesional, tak ubahnya struktur negara modern. Ada khalifah yang dipegang al-Baghdadi dengan wakilnya, Abu Muslim al-Turkmani (Fadhl Abdillah al-Hayali/eks pentolan intelijen Saddam Husein).

Setelah itu, ada kementerian-kementerian dan dewan-dewan khusus baik yang berfungsi sebagai legislatif maupun yudikatif. Ada gubernur di setiap provinsi dan seterusnya. Ada Majelis Militer.  Majelis ini diketuai Abu Ahmad al-'Ilwani. Ada juga Departemen Tahanan yang mengurus musuh yang ditangkap, diketuai oleh Abu Muhammad. Ada juga Departemen Jihad yang mengurus kedatangan para kombatan dan mengatur aksi bom bunuh diri (Athwan, 2015: 25-7).

Ketiga, situasi dunia yang tidak adil terhadap dunia ketiga mendorong banyak orang bergabung dengan NIIS. Di samping agitasi ideologi "wahabi"-jihadi-takfiri-, kekacauan di Timur Tengah turut serta membesarkan kelompok ini secara dramatis, terutama yang terjadi di Irak pasca invasi AS dan Suriah, serta pasca perang saudara.

Keempat, kekuatan-kekuatan kawasan dan internasional yang melawan NIIS terpecah, bahkan di antara mereka saling berperang. Misalnya, tentara Assad plus Hizbullah melawan oposisi dukungan Saudi-Turki-Qatar. Demikian pula antara Turki dan kelompok-kelompok Kurdi. Salah satu sebab perpecahan adalah permusuhan blok Iran versus blok Saudi dan tak adanya skenario yang jelas pasca hancurnya negara NIIS kelak.

Terus tebar kekejian

Hal yang lebih berat lagi adalah bahwa tak ada negara besar yang bersedia total menerjunkan kekuatan daratnya untuk bertempur di darat melawan NIIS.  Saat ini pasukan darat yang menjadi tumpuan masih kalah dengan pasukan NIIS  yang militan, siap mengorbankan apa saja, yang didukung dengan strategi dan kemampuan teknologi.

Hal ini mungkin disebabkan trauma pengalaman AS di Irak yang kesulitan untuk menarik diri kembali setelah masuk ke Irak. Akan tetapi, bisa juga karena sebab lain, misalnya dugaan NIIS memiliki senjata non-konvensional berbahaya.  

Gabungan faktor-faktor inilah yang membuat negara horor NIIS masih mampu bertahan dan terus menebar kekejian hingga negeri kita.

IBNU BURDAH

Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam; Koordinator Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Ketahanan NIIS dan Teror Jakarta".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger