Kami sekeluarga besar melakukan perjalanan dari Jakarta ke Tanjung Karang Kamis dini hari (24/12/2015) dengan tujuh kendaraan pribadi. Dalam rombongan ada dua orang berusia lanjut dan kakak sulung dalam kondisi sakit dan perawatan medis, tetapi sudah kami antisipasi.
Perjalanan sampai Serang lancar. Kemacetan mulai terjadi di Cilegon Barat, yang hampir 3 jam antre di gerbang tol. Polantas kemudian mengalihkan jalur. Beberapa kilometer lancar, tetapi akhirnya merayap dan berhenti total menjelang gerbang Pelabuhan Merak. Truk semua ukuran masih beroperasi, bercampur dengan mobil pribadi.
Saat kami sudah siap naik kapal pukul 08.45, musibah datang. Kakak tiba-tiba drop, awalnya hanya muntah- muntah dan bisa kami atasi, tetapi kemudian tidak sadarkan diri. Kami memutuskan keluar dari antrean, mencari rumah sakit terdekat. Di sinilah kami merasakan ketidaksiapan instansi terkait mengantisipasi lonjakan penumpang.
Kami tidak tahu apakah ada posko kesehatan, seperti saat mudik Lebaran. Memang ada mobil ambulans, namun fasilitas yang ada hanya tempat tidur. Tabung oksigen yang dipakai milik kami, bahkan sirene pun tidak berfungsi. Bagaimana harus menerobos kemacetan tanpa sirene?
Awalnya kami berencana ke RS besar di Cilegon yang fasilitasnya lengkap, namun karena kondisi kakak semakin menurun akhirnya kami ke puskemas terdekat. Untungnya di rombongan kami ada kakak yang perawat sehingga paham penanganan kondisi darurat.
Namun, lagi-lagi ia kecewa beberapa perlengkapan standar darurat tidak berfungsi. Bahkan dua tabung oksigen dan selang oksigen di dinding tidak bisa digunakan. Meski akhirnya kakak tidak tertolong dan kami mengikhlaskan kepergiannya, kami ingin berbagi pengalaman agar instansi terkait berbenah diri. Mulai dari Departemen Perhubungan, kepolisian, PT ASDP Indonesia Ferry, Departemen Kesehatan, hingga pemda, sehingga bisa memberikan pelayanan yang lebih baik lagi.
Kami sudah melihat ada upaya siaga dari semua instansi, tetapi masih belum cukup mengantisipasi efek yang timbul. Misalnya, dengan menyediakan rambu-rambu yang jelas, fasilitas kesehatan yang memadai, dan lain-lain.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu proses pertolongan sejak di pelabuhan, puskesmas hingga kembali ke rumah duka di Bogor.
ANDREY SEPTIANA KD
Mewakili Kel Eddy Haryono (Alm), Taman Yasmin, Bogor
Mobil Rusak Beroperasi
Saya adalah penumpang moda transportasi darat Daytrans (White Horse Group). Pada 17 Januari 2016 saya menggunakan Daytrans rute Cihampelas (Bandung)-Karet (Jakarta).
Mobil berangkat pukul 16.00. Awalnya, saat berangkat, sepertinya tidak ada masalah dengan minibus ELF tersebut. Pengemudi hanya kerap kesulitan mengoper persneling gigi.
Hingga akhirnya sampai di Km 90 Jalan Tol Purbaleunyi, saat jalan tol sedang macet parah, mobil mulai bau kopling. Pengemudi tidak berani mengemudi kencang dan menjaga kecepatan 60 kilometer/jam.
Di Gerbang Tol Karawang, ketika membayar tol, mobil mogok dan pengemudi kesulitan memindahkan gigi normal ke gigi 1. Sampai akhirnya pengemudi berhenti di pinggir jalan tol.
Pengemudi berusaha menghubungi pihak manajemen dan meminta mobil pengganti, namun sepertinya tidak ada mobil pengganti. Jika saya dengar dari pembicaraan pengemudi ke manajemen, sepertinya mobil sudah rusak dari sebelum berangkat.
Wajar saja kalau dari awal masuk jalan tol, pengemudi menjaga kecepatan di batas minimum kecepatan, 60 km/jam, dan selalu berada di lajur kiri.
Karena tidak ada mobil pengganti, pengemudi mencoba menyalakan mobil dan akhirnya mobil berjalan sampai Jakarta dengan gigi 3 dan terus berada di lajur kiri. Sampai Jakarta, pengemudi menghindari lampu merah karena takut jika mobil berhenti, maka mobil tidak dapat menyala kembali.
Saya heran dengan manajemen Daytrans. Sebagai penyedia moda transportasi yang cukup terkenal namanya, seharusnya keselamatan penumpang diutamakan dengan menggunakan mobil yang layak jalan.
PS ANTONIO
Jl Karet Sawah, Setiabudi, Jakarta Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar