Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyebut angka 1.006.000 orang masuk Eropa melalui darat dan laut. Sumber lain menyebutkan, jumlah orang yang masuk ke Eropa sepanjang tahun 2015, baik sebagai pengungsi maupun migran, mencapai 1,83 juta orang.
Jerman, hingga Oktober lalu, menjadi negara yang paling banyak menerima mereka, lebih dari 315.000 orang. Namun, Jerman menyatakan sudah menerima lebih dari satu juta orang. Pujian banyak dialamatkan kepada Kanselir Jerman Angela Merkel yang memberlakukan kebijakan terbuka, menerima para pengungsi, meskipun awal tahun ini menuai banyak protes karena tindak kekerasan seksual yang dilakukan sejumlah pengungsi.
Negara-negara Uni Eropa secara jelas membagi mereka ke dalam dua kategori: migran dan pengungsi. Yang dimaksud migran adalah orang yang meninggalkan rumahnya untuk mencari penghidupan baru di wilayah atau nagara lain. Mereka ini termasuk orang yang meninggalkan negerinya lewat jalur resmi ataupun tidak resmi.
Sementara yang dimaksud pengungsi adalah seseorang yang meninggalkan negerinya karena alasan perang, penganiayaan, atau bencana alam. Orang yang menyatakan diri dalam status seperti itu dapat meminta suaka. Namun, tidak setiap pencari suaka akan diakui sebagai pengungsi, tetapi setiap pengungsi pada awalnya adalah pencari suaka. Perlakuan terhadap mereka yang digolongkan sebagai migran dan pengungsi berbeda.
Meskipun ada penggolongan seperti itu, alasan atau motivasi mereka meninggalkan negerinya dengan risiko hidupnya terancam untuk mencapai Eropa dapat dikatakan sama. Alasan pertama dan utama adalah untuk menyelamatkan hidup mereka. Ratusan ribu orang meninggalkan negeri mereka yang dilanda konflik dan penganiayaan. Misalnya, mereka yang berasal dari Afganistan, Eritrea, Suriah, Irak, Nigeria, Pakistan, dan Libya.
Banjir pengungsi ini, yang kini menjadi persoalan besar bagi negara-negara Eropa, baik karena alasan ekonomi maupun keamanan. Hingga kini belum ada kesatuan sikap dan kebijakan di antara negara-negara anggota Uni Eropa untuk menangani masalah pengungsi. Sementara persoalan yang melibatkan negara asal pengungsi belum selesai sehingga ada kemungkinan arus pengungsian masih dari negara-negara yang bermasalah itu akan terus terjadi.
Harus ada tindakan yang komprehensif, saling berkait, baik di negara asal maupun penerima. Bila konflik Suriah, misalnya, tidak segera selesai, arus pengungsi akan terus terjadi. Dengan demikian, negara-negara Eropa harus juga membantu penyelesaian konflik di Suriah, misalnya, agar mereka tidak terus-menerus kebanjiran pengungsi.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Eropa dan Krisis Pengungsi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar