Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 Januari 2016

Mengelola Kebebasan (R KRISTIAWAN)

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengagendakan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang sampai Desember lalu telah memakan korban sekitar 120 orang terkriminalisasi lantaran menyatakan pendapatnya di berbagai forum daring.

Revisi itu terutama pada Pasal 27 yang dipandang tidak sesuai dengan semangat kebebasan yang diakui konstitusi kita.

Namun, revisi yang seharusnya selesai 2015 terancam gagal karena hingga saat ini naskah revisi pemerintah belum disampaikan kepada DPR. Pun jika revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan tahun 2015 sesuai rencana, pengesahan itu berpotensi terjadi tanpa partisipasi publik karena cenderung dipaksakan.

Selain revisi itu belum disampaikan kepada DPR, pemerintah tampaknya juga hanya akan mengubah aturan tentang ancaman masa tahanan dari 6 tahun menjadi 4 tahun penjara tanpa menghilangkan paradigma kriminalisasi yang ada di dalam UU ITE itu. Dengan demikian, yang terjadi hanyalah menghindarkan korban kriminalisasi dari penahanan langsung. Masalah yang patut dibahas di sini adalah mengapa kebebasan yang menjadi hak konstitusional warga justru tersandera oleh pemerintah yang seharusnya menjaminnya. Pemerintah juga berencana merevisi UU Penyiaran dan membuat UU baru khusus untuk penyiaran publik (UU RTRI).

Ada paradoks terkait pengelolaan kebebasan di negeri ini. Semangat liberasi sesudah proklamasi 1945 secara politik telah menjamin hak warga negara untuk menyatakan pikirannya, termasuk mengkritik jalannya roda pemerintahan. Akan tetapi, semangat pembebasan itu ternyata tidak dibarengi penyediaan payung hukum yang kuat karena aturan hukum pidana (KUHP) buatan kolonial Belanda masih dipakai, sementara Belanda sendiri sekarang sudah mengubah aturan pencemaran nama baik ke dalam ranah perdata dengan sanksi denda. Justru negara bekas jajahan Belanda masih memenjarakan rakyatnya karena rakyat menyatakan pikirannya.

Perulangan sejarah

Refleksi positif dari situasi ini adalah bahwa yang penting merdeka dulu. Regulasi bisa diatur sesudahnya. Kemerdekaan politik dipandang lebih penting sambil membenahi agar aturan hukum sesuai dengan semangat kemerdekaan. Namun, pembenahan itu tidak pernah terjadi dan justru KUHP dijadikan sumber legitimasi produksi hukum setingkat UU, termasuk produksi UU No 11/2008.

Setiap perubahan politik selalu menjanjikan perubahan aturan mengenai hidup bersama. Janji itu belum tentu terpenuhi baik karena kapasitas teknis maupun karena penguasa yang memerdekakan bangsanya telah bersalin rupa menjadi tiran baru. Suasana itu terasa sesudah Reformasi 1998. Beberapa aturan baru dikeluarkan untuk memperbaiki sejarah otoritarianisme Orde Baru, seperti UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 40/1999 tentang Pers. Namun, pemerintah yang semakin konsolidatif sesudah 2005 telah menggeser arah regulasi ruang publik menjadi lebih represif setidaknya melalui UU No 11/2008 dan UU No 33/2009 tentang Perfilman.

Walaupun hidup dalam teknologi baru, UU ITE pengelola teknologi itu adalah paradigma hukum lama. Alih-alih menghapus mekanisme sensor, UU Perfilman justru melanggengkannya dan menafikan sistem klasifikasi, padahal sistem klasifikasi ini dipakai Korea Selatan yang, dalam ranah industri ekonomi kreatif, sering kita puji-puji. Konsolidasi negatif pemerintah ini juga dibarengi pelemahan gerakan masyarakat sipil pada sisi lain. Isu-isu seperti kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi bukan lagi agenda penting bagi masyarakat sipil sesudah 2005. Gerakan masyarakat sipil bergeser pada isu keterbukaan informasi publik hingga disahkannya UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang lebih bercorak transparansi tata kelola badan publik.

Reformasi tidak serta-merta mampu mengubah pola-pola pengelolaan kebebasan di ruang publik. Sejarah seperti berulang ketika rezim politik baru tidak sepenuhnya mampu menciptakan regulasi berdasarkan nilai-nilai baru, tetapi malah melestarikan nilai-nilai lama. Hal ini sama seperti ketidakmampuan RI menjabarkan nilai-nilai liberasi secara hukum sesudah kemerdekaan 1945 dengan tetap memakai KUHP buatan kolonial hingga saat ini. Nilai-nilai dan semangat politik liberasi belum mampu mengelola sampai level tatanan hukum.

Contoh mutakhir

Contoh mutakhir ancaman kebebasan ruang publik muncul adalah draf RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan tahun 2015 yang sangat mengancam kebebasan pers. Ancaman itu berupa pidana jika ada pihak yang memberitakan proses peradilan dan dinilai memengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan. Ancaman pidananya pun lebih berat dibandingkan dengan UU ITE: 10 tahun penjara atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar (Pasal 24).

Sebelumnya muncul Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 290/2015 tentang Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Permen ini melanggar hak menyatakan pendapat dan mendapatkan informasi yang dijamin UUD 1945 Pasal 28F dan ICCPR Pasal 19 yang sudah diratifikasi Indonesia. Seharusnya isu seperti ini diatur regulasi setingkat UU.

Niat baik pemerintah untuk merevisi beberapa UU terkait ruang publik tak dibarengi dengan konsistensi dan pengelolaan legislasi yang efektif. Sampai awal Desember 2015, tak satu UU pun yang selesai direvisi. UU RTRI yang substansial tak melibatkan perbedaan kepentingan berbagai pihak pun belum selesai. Yang layak dicatat adalah debat tentang pidana dalam UU ITE yang seharusnya tak perlu jika merujuk pada semangat konstitusi.

Pengelolaan kebebasan di ruang publik kita bergerak dalam pendulum nilai-nilai kebebasan di satu sisi dan kontrol pada sisi lain. Keduanya pernah ada dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Nilai kebebasan muncul dalam episode perjuangan kemerdekaan dan reformasi, sementara kontrol muncul dalam periode kerajaan, penjajahan, dan Orde Baru. Dalam konteks historis ini perspektif pemerintah tentang kebebasan di ruang publik diuji dalam meluluskan regulasi-regulasi terkait ruang publik saat ini. Jika gagal, paradoks historis akan berulang lagi.

R Kristiawan

Manajer Program Media dan Informasi Yayasan Tifa Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Mengelola Kebebasan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger