Merayakan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015, harian "Kompas" bersama Lingkar Muda Indonesia menyelenggarakan Diskusi Panel Seri III Tahun 2015 bertajuk "Menyuburkan Kembali Rahim-rahim Kepemimpinan Nasional" pada 28 Desember 2015. Pembicara: Abd A'la (Rektor UIN Sunan Ampel), Mochtar Pabottingi (Profesor Riset LIPI 2000-2010), Fachry Ali (Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia), Ninok Leksono (Rektor Universitas Multimedia Nusantara), dan Margareta Astaman (praktisi bisnis daring). Hasil diskusi yang dirangkum Agus Sudibyo, Tamrin Amal Tomagola, dan Sri Palupi dari LMI.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas di pengujung 2012 terhadap 686 responden di 12 kota besar Indonesia mengungkapkan tentang ketiadaan sosok pemimpin yang dianggap mampu mengatasi persoalan bangsa.Dari 10 responden, enam responden tidak bisa menyebutkan nama tokoh pemimpin masa kini yang dinilai akan mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Bahkan sepertiga responden menegaskan, tidak ada satu pun sosok yang bisa memimpin bangsa melewati berbagai hambatan saat ini ataupun di masa depan. Ketiadaan sosok tersebut ditunjukkan oleh indikator rendahnya kinerja para pemimpin dalam mengelola konflik ataupun menuntaskan sejumlah persoalan dan maraknya korupsi.
Hasil jajak pendapat tersebut masih relevan. Indonesia masih terperangkap dalam tragedi lacuna atau kekosongan pemimpin. Semakin banyak yang berebut menjadi pemimpin, sementara uanglah yang dipakai untuk mengukur kelayakan. Siapa pun bisa menjadi pemimpin asal ada uang, tanpa peduli uang itu hasil perampokan. Akhirnya terjadi inflasi politisi tanpa visi dan partai-partai tanpa ideologi. Kondisi ini akan terus berlanjut sepanjang upaya kita menyintas dari tragedi lacuna kepemimpinan tidak berangkat dari pemahaman akan genealoginya.
Genealogi
Kondisi nyaris pailit kepemimpinan yang kita hadapi sekarang berakar pada penyalahgunaan kekuasaan yang berlangsung lama, mulai dari era demokrasi terpimpin yang dilakukan Bung Karno plus TNI dan kian buruk di era Orde Baru di bawah Pak Harto plus TNI. Penyalahgunaan kekuasaan ini berdampak langsung terhadap kemandulan demokrasi sebagai rahim mahabesar dan mahaluas dari penyemaian benih-benih pemimpin nasional.
Indonesia pernah menorehkan prestasi dalam berdemokrasi. Pada tahun 1950-an Indonesia memberikan contoh terbaik tentang demokrasi kepada dunia. Pemilu 1955 merupakan pemilu paling terpuji di seluruh dunia. Meski kampanyenya panjang dan menegangkan, tidak seorang pun yang jadi korban. Bandingkan dengan korban-korban yang jatuh pada pemilu pertama Orde Baru maupun pemilu pertama Reformasi.
Pada Pemilu 1955 yang terpilih menjadi wakil rakyat adalah mereka yang sungguh-sungguh kompeten, cerdas, dan cemerlang dari setiap daerah di seluruh Tanah Air. Karena proses demokrasinya bagus, yang naik menjadi pemimpin adalah orang- orang berkualitas yang memang pantas menjadi pemimpin. Pada masa Orde Baru hal sebaliknya yang terjadi. Selama 30 tahun kekuasaannya, Soeharto menciptakan mesin politik Orde Baru yang ditujukan untuk membuatnya tetap berkuasa. Ia membangun dukungan masif partai ciptaan negara (Golkar), mengontrol seluruh sumber daya ekonomi dan bertindak sebagai "pembagi kekayaan" pada orang atau golongan di bawah patronasenya, termasuk pengusaha.
Selain skenario mempertahankan kekuasaan, tak ada skenario apa pun yang dibuat Soeharto untuk menumbuhkan benih-benih kepemimpinan. Yang terjadi, Soeharto menjalankan sistem otoritarian untuk mematikan bibit-bibit pemimpin yang tersebar di Tanah Air. Partai-partai politik dikebiri hingga kehilangan daya untuk berkontribusi membangun demokrasi.
Ketika Soeharto tiba-tiba lengser setelah 30 tahun berkuasa, terjadi kevakuman pemimpin. Tak ayal, banyak orang dari berbagai kalangan berebut untuk jadi pemimpin, termasuk para pengusaha yang "disusui" Soeharto. Bagi para pengusaha ini, sistem politik demokrasi yang menggantikan sistem otoriter merupakan anugerah besar. Mereka eksodus ke dunia politik dan masuk ke jantung kekuasaan negara dengan watak instrumental yang mereka bawa sejak masa Orde Baru tetap melekat di dalam tingkah laku politiknya.
Sungguh, inilah kejahatan terburuk yang dilakukan Soeharto pada bangsanya, yaitu mematikan rahim-rahim persemaian benih-benih pemimpin. Padahal, pemimpin nasional tidaklah muncul secara tiba-tiba atau dalam waktu 1-3 tahun. Ia muncul dalam waktu setidaknya 10-15 tahun, dimulai dari pengamatan orang-orang lokal, dari hari ke hari dan tahun ke tahun oleh masyarakat di sekitarnya.
Mulai dari pemilihan tingkat terkecil sampai terbesar. Bertahun-tahun calon pemimpin diamati karakter, perilaku, kebijakannya dan diuji serta diasah oleh peristiwa-peristiwa nyata di segenap sisi kehidupan masyarakat. Apakah benar-benar jujur, amanah, tak pernah mengkhianati orang-orang di sekitarnya, menjunjung tinggi cita-cita bangsanya. Semua tak terjadi karena Soeharto menutup peluang munculnya para calon pemimpin.
Meskipun format politik Orde Baru sudah lama kedaluwarsa, Soeharto tetap mempertahankannya. Ketika Orde Baru runtuh, runtuh pula segala sesuatu yang mengatur dan menata negara ini. Sementara tak ada skenario yang dipersiapkan untuk menjalankan negara setelah Orde Baru runtuh. Ini menciptakan kondisi salah urus/korupsi dan penumpukan berbagai hal buruk yang menyebarkan irasionalitas, kerancuan dan kebingungan sosial politik dan sosial budaya ke dalam mental bangsa, dan membuat berbagai solusi untuk mengatasi permasalahan besar bangsa setelah runtuhnya Orde Baru menjadi bersifat simalakama.
Dalam hal otonomi daerah (otda), misalnya, ketika Orde Baru runtuh, kita berpikir bahwa keruntuhan merupakan momen tepat menerapkan otda. Padahal, otda seharusnya sudah disiapkan dan dilaksanakan jauh sebelum Orde Baru runtuh. Kini otda menjadi simalakama. Bagaimana bisa otda kalau seluruh perangkat hukum di negara ini menjadi tak berdaya dan alat-alat negara yang mestinya menertibkan juga tak berdaya.
Meskipun rezim Orde Baru telah berganti dengan rezim Reformasi, sesungguhnya tidak ada pergantian rezim secara utuh. Orde Baru memang runtuh, tetapi rezim negara Orde Baru masih menjadi mesin negara reformasi, juga pejabat dan pemimpin-pemimpinnya. Yang berganti hanyalah aturannya. Artinya, motif-motif buruk yang berasal dari sistem politik Orde Baru dimasukkan mentah-mentah ke dalam sistem negara reformasi tanpa ada koreksi, tanpa ada hukuman apa pun terhadap yang salah dan tidak ada pembenaran pada yang benar.
Inilah yang menciptakan kekaburan antara yang benar dan salah pada saat ini. Sebab, tidak ada landasan tentang yang benar dan yang salah. Koruptor besar bisa tersenyum terus di depan kamera dan tindakan ketua DPR meminta saham PT Freeport diperdebatkan etis tidaknya. Motif buruk "semua bisa diatur" dalam bentuk "adhokisasi" menjamur hampir di semua keputusan politik dan undang-undang.
Itu semua berdampak pada menipisnya kepercayaan, bukan hanya antarsesama kelompok bangsa, melainkan juga kepada hampir segala bentuk otoritas. Yang terburuk adalah hilangnya kepercayaan pada ideal-ideal tertinggi bangsa sendiri, yaitu Pancasila, dan memudarnya kesadaran dan kecintaan pada bangsa.
Menyintas dari tragedi
Berbagai persoalan yang dipaparkan di atas dapat menjadi pintu masuk untuk menyintas dari tragedi kekosongan pemimpin. Berbagai jalan dan pendekatan bisa ditempuh, salah satunya melalui parpol. Berbagai pembenahan berikut bisa dilakukan. Pertama, pembenahan parpol sebagai agen pencerahan. Banyak kewajiban partai politik yang diamanatkan undang-undang tidak dijalankan, di antaranya adalah kewajiban memberikan pendidikan demokrasi kepada masyarakat. Faktanya, partai-partai tidak menjalankan kewajiban karena mereka sendiri tidak tahu dan masih membutuhkan pencerahan mengenai esensi demokrasi dan simbiosis antara demokrasi dannation. Jika jalannya demokrasi bagus, maka serat-serat nation akan diperkuat dan jika nation itu bagus, maka tersedialah lahan subur bagi bertumbuhnya demokrasi.
Kedua, parpol membangun kembali ideologi karena partai-partai yang ada sekarang adalah partai bunglon. Politisi bisa dengan mudah pindah dari satu partai ke partai lain karena tidak ada ideologi. Ada partai yang berideologi Islam, tetapi di gedung DPR sibuk menonton film porno. Ada juga partai-partai yang mengaku kerakyatan dan nasionalis, tetapi getol menjual aset-aset bangsa.
Ketiga, kerja sinergis pers-penerbitan yang tercerahkan dengan partai-partai bagus. Selama ini kewajiban partai untuk memberikan pencerahan politik sebagian besar sudah dilaksanakan oleh pers dan penerbitan. Dalam hal ini pers dan penerbitan perlu bersinergi satu sama lain dan dengan partai yang bagus demi membangun demokrasi. Salah satu yang bisa dikerjakan, menerbitkan visi misi setiap partai.
Keempat, memberi ruang luas pada tumbuhnya partai-partai baru. Harapan kita akan tumbuhnya benih-benih kepemimpinan barangkali tidak pada partai-partai yang sekarang. Barangkali harapan kita justru terletak pada partai-partai yang akan muncul. Sistem multipartai memperluas peluang munculnya pemimpin yang mampu menangkap imajinasi bangsanya dan merebut suara. Kelima, menjadikan pilkada momen peremajaan dan penggalakan kreativitas akal budi untuk memilih dan melaksanakan agenda demokrasi yang semestinya. Pilkada memberi peluang ditemukannya benih-benih pemimpin nasional yang tumbuh dari bawah. Akhir kata, masih terbuka lebar jalan yang bisa ditempuh bangsa ini untuk bisa menyintas dari tragedi lacuna kepemimpinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar