Salah satu faktor penting yang turut menyukseskan reformasi adalah kualitas manajemen hubungan pusat-daerah yang dikembangkan. Hubungan ini diatur terutama dalam UU yang mengatur pemerintahan daerah. Turunan UU ini, yang sangat penting dalam hubungan pusat- daerah, adalah persoalan pembagian urusan pemerintahan.
Pembagian urusan yang tak tepat niscaya membuat hubungan pusat-daerah tak efektif dan akhirnya berakibat pada gagalnya reformasi. Memasuki babak baru pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla bangsa Indonesia kembali memiliki UU baru yang mengatur pemda: UU Nomor 23 Tahun 2014 juncto UU No 9/2015. Sebagian keberhasilan reformasi NKRI, dengan demikian, amat bergantung pada UU ini. Patutlah kita mencermati materi ini, terutama dalam soal pembagian urusan pemerintahan.
Rawan penyalahgunaan
Dalam UU pemda yang baru, tersua materi mengenai wewenang yang dijalankan berbagai institusi yang bersinggungan dengan roda pemerintahan daerah. Bahkan, UU yang masih menganut model rincian sengaja memasukkan materi wewenang secara rinci dalam lampirannya. Penyalahgunaan kekuasaan dapat terjadi jika muncul peluang dari sistem yang tercipta.
Peluang yang tercipta sebagai basis penyalahgunaan kekuasaan dalam UU pemda itu terbagi dalam dua kelompok: sumber yang datang dari tingkat pusat; dan sumber yang datang dari dalam pemerintahan daerah itu sendiri. Pada sumber pertama terdapat dua hal. Pertama, dipicu oleh pengaturan sejumlah urusan pemerintah pusat yang dapat didekonsentrasikan ke gubernur sebagai wakil pemerintah (Pasal 1, 10, 19, dan 25) sebagai konsekuensi dianutnya sistem prefektur terintegrasi yang meliputi urusan pemerintahan umum (PUM), sektor konkuren, dan urusan yang mutlak milik peme- rintah pusat. Secara teoretis gubernur sebagai wakil pemerintah hanya menerima dekonsentrasi urusan PUM semata, bukan menyangkut urusan teknis-sektoral. Urusan PUM itu tak pula mencakup urusan teknis-sektoral.
Penyalahgunaan kekuasaan dapat terjadi dari kementerian teknis sendiri jika tak menggunakan instansi vertikalnya dalam mengemban urusan yang menjadi tanggung jawabnya, tetapi menggunakan gubernur/bupati/ wali kota (G/B/W). Kementerian teknis akan menganggap sumber daya daerah di bawah G/B/W adalah bagian dari organisasinya. Dalam praktik dapat terjadi "main suruh" kementerian teknis kepada aparatur daerah.
Penyalahgunaan kekuasaan di pusat juga terjadi di tubuh kementerian dalam negeri sendiri yang jadi bengkak karena mengurusi teknis-sektoral untuk memantau G/B/W yang ditugasi kementerian. Tampak dalam hal ini di pusat terjadi "bagi-bagi lapak" jika pasal ini dibiarkan dimanfaatkan antarkementerian.
Detail analisis di atas: urusannya dilimpahkan ke G/B/W, tetapi pusat tetap dapat pekerjaan lebih ringan dengan kontrol keuangan yang masih dipegang pusat. Dengan kata lain, masalah publik di tingkat lokal tak dita- ngani pihak yang bertanggung jawab dan bukan ahlinya. Di samping itu dapat dinilai pusat mau enak sendiri. Selama terjadi yang seperti itu, jangan harap soal publik di daerah yang jadi tanggung jawab pemerintah pusat dapat dijalankan dengan baik. Pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup dapat merosot.
Seyogianya PUM dijunjung tinggi melalui gubernur sebagai wakil pemerintah, sembari instansi vertikal dapat dibuka dan digunakan seoptimal mungkin sesuai dengan rincian urusan pemerintah konkuren atau absolut yang menjadi kewajiban pusat. Gubernur harus menjadi komandan instansi vertikal yang beroperasi di wilayahnya. Namanya wakil pemerintah di daerah, bukan wakil dari kementerian teknis. Jadi, instansi vertikallah yang dikoordinasi dan diintegrasikan gubernur (pemegang urusan PUM) itu.
Kedua, terjadi dalam tugas pembantuan (TP) yang tak diperhatikan apakah materinya tumpang tindih dengan materi urusan daerah otonom (Pasal 1, 19, dan 20). Jika urusan yang di-TP-kan adalah materi daerah otonom, dapat didorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, laporan keuangan daerah amat rentan disalahgunakan, seolah-olah tugas pusat. Sebetulnya dalam hal ini pemerintah pusat dapat memancing melalui dana hibah atau alokasi lain agar program daerah otonom dapat sejalan dengan arah kebijakan besar pusat,
TP diatur bertingkat-tingkat sampai desa. TP dari pusat ke provinsi dapat dilimpahkan ke kabupaten/kota dan seterusnya dapat dilimpahkan kembali ke desa. TP dari pusat ke kabupaten/kota dapat juga dilimpahkan kembali ke desa. Akhirnya desa dapat menjadi bulan-bulanan instansi atasannya.
Desa masih dianggap sebagian pakar bukan daerah otonom, seperti provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan UUD. Di masa Hindia Belanda desa tak pernah menerima TP dari pusat, apalagi atasannya. Dengan berlakunya UU desa yang baru, jika dapat dianggap sebagai daerah otonom, desa dapat menerima TP dari pu- sat, bukan daerah otonom atasannya. Dua sumber penyalahgunaan kekuasaan itu perlambang overdosisnya UU pemda baru membagi urusan pemerintahan.
Rekomendasi
Sedapat mungkin urusan konkuren pusat tak dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Jika dibutuhkan, instansi vertikal lebih tepat. Daerah tak hanya mengurusi soal teknis saja, tetapi strategis untuk urusan yang didesentralisasikan. Di sini letak otonomi: ada hak dan kewa- jiban mengatur dan mengurus.
Daerah akan bekerja teknis untuk soal yang menjadi urusan pusat jika melalui TP. Dalam TP disiapkan rincian program: dilaksanakan oleh pusat, daerah ikut membantu. Muncul dana TP setelah desain programnya jelas dan organisasi pelaksananya juga jelas.
Hindari TP kepada desa. Jangan biarkan daerah otonom melimpahkan TP kembali kepada daerah otonom di bawahnya. Urusan desa adalah urusan otonomi asli. Jika dapat difasilitasi, kembangkan TP yang memungkinkan daerah otonom dapat mengembangkan perangkat daerahnya yang menjangkau penjuru wilayahnya sehingga negara hadir di tengah masyarakat, tidak overdosis.
IRFAN RIDWAN MAKSUM, GURU BESAR TETAP FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Otonomi Overdosis 2016".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar